Chapter 4 - 1

3 3 0
                                    

Angguk bulan purnama
Andaian melalang buana
Anggap jalan serupa
Asas hanya sebuah nama

'~*~'

Bulan bagai pecah berkeping-keping saat Dares membenamkan diri di danau, menyingkap dedaunan yang menggambar bayang-bayang pada separuh wajah. Napas Dares tercekat setiap kali dia menyebutkan nama putri yang telah membohonginya.

"Tuanku, Ketua bertanya apakah Tuan telah menemukan tersangka di balik kematian saudarinya?" Prajurit yang tengah menunduk di tepi kolam menengadah setelah Dares mengacuhkannya lama.

"Di mana dia?" Dares tidak beranjak sedikit pun dari kolam yang dingin.

Seorang prajurit yang tampak gagah muncul dari belakang pohon. Lingkaran sihir memudar begitu ia melangkah keluar.

"Aku sudah di sini." Prajurit itu berdiri tegap, berhadapan dengan Dares yang bersandar lelah. "Siapa pun yang telah menyakiti saudariku, aku tidak akan mengampuninya," tegasnya penuh dendam.

Dares melirik prajurit itu dengan mata lesuh, memalingkan wajah. Dengan sarkas ia berkata, "Takutnya kamu yang tak punya nyali untuk jawaban ini."

Prajurit itu tertegun. Dia memandang sekilas luka bekas belati di punggung Dares saat pria itu beranjak dari kolam dan meraih jubahnya. Saat mendengar bahwa Dares telah kembali, ia segera meninggalkan ibu kota dan bergegas menuju perbatasan untuk mendapatkan informasi dari Dares. Akan tetapi, ia sendiri meragukan keingintahuannya. Bukan tentang memiliki keberanian, namun tidak tahu apakah dia sanggup menuntaskan dendam yang terlanjur mengobar.

Sebelum pergi, Dares mendengar Prajurit gagah itu meraung dengan pilu, berulang kali membenturkan tinju ke tanah seakan dunia ini telah menindas kasih sayang persaudaraan mereka sedemikian rupa. Hatinya terguncang oleh lolongan dari ketidakberdayaan.

Sehelai daun gugur terbang dan sebuah tangan diulurkan untuk mengambilnya, lalu diletakkan di ranting yang tak mengenal, daun itu kembali jatuh dari ketinggian yang lain.

"Seseorang harus membayar untuk perbuatannya. Tidak hanya peringatan bagi dia, tetapi bagi kita semua."

Raja memperhatikan ucapan dari Pria yang berdiri di sisi gelap jendela. Angin meniup helaian rambut panjangnya tanpa menjadikan mereka kusut.

"Apakah Peramal Istana telah kehilangan kekuatan dan melakukan kesalahan?" Raja meminta kehadiran Pria itu untuk mengonfirmasi dugaannya.

Sementara lawan bicara justru mengejek dengan sorot meremehkan. Sengaja ia menunjukkan pikirannya.

"Tidak, Yang Mulia. Andalah yang kehilangan keyakinan."

Tangan kiri Raja mengepal, mengubur emosi yang dalam setelah membiarkan penyusup meloloskan diri dari wilayah kekuasaannya.

"Ramalan itu pasti salah." Raja enggan menerima kenyataan.

Sebelum malam menghantuinya dengan dugaan dan kecemasan akan kemunculan pengkhianat. Langit saat itu masih cerah seperti biasa. Demi membiarkan putrinya dapat mengendalikan kekuatan sihir dengan tenang di ruang perenungan, Raja memanggil semua menteri dan pejabat berkemampuan tinggi untuk mendengarkan takdir kerajaan sihir bersama-sama di menara Peramal.

Niat awal Raja hanya untuk hiburan belaka. Sebab dia sendiri sudah tahu akan bagaimana masa depan kerajaan sihir sejak lama.

"Bulan akan menyembunyikan Penerus Takhta, matahari bersinar tanpa terhalang saat waktunya tiba. Gerhana telah membuktikan bahwa penguasa akan berganti. Bintang yang akan menjadi Raja Sihir baru memiliki kekuatan sihir tingkat lima dan bersinar di arah seberang kita."

Deretan kalimat itu menarik keseriusan Raja. Pikiran tanpa beban dengan cepat berlalu. Dia belum menemukan untaian kata yang tepat untuk mengaburkan ucapan sang Peramal Istana ketika salah satu menteri berlutut dan memuja dengan lantang terhadap bintang yang bersinar terang.

"Bintang itu bersinar di sana! Tepat di atas ruang perenungan dimana Tuan Putri sedang berada dalam pertapaan. Sang Putri pastilah penerus Kerajaan Sihir yang telah ditakdirkan!"

Opini itu dengan cepat merambah masuk dalam akal sehat semua orang di sana. Satu per satu berlutut dan memohon agar Raja segera menobatkan Putri Candramaya sebagai Putri Mahkota.

Raja terlalu heran, tidak dapat mengatakan sepatah kata pun sampai cahaya dari bintang memudar, langit kembali ke warna yang sama seperti sebelumnya. Mereka menuruni menara dengan sihir teleportasi dan sesingkat itu pula, Raja mencetuskan sebuah alasan agar para menteri bersedia menunda penobatan putri mahkota. Mereka yang berada di dalam istana pun tidak tahu apa yang Raja sembunyikan.

Raja kembali pada kenyataan, memandang ke arah pria di hadapannya dengan sorot menilai. Raja menyatakan bahwa putrinya masih terlalu muda untuk dinobatkan menjadi putri mahkota. Dia berharap putrinya dapat memiliki pasangan terlebih dahulu. Maksud hati Raja sebenarnya adalah putrinya menemukan rumah baru bersama orang yang dicintai. Dengan demikian, ia akan tetap bertahta sebagai Raja sihir hingga akhir hayatnya.

Namun menyaksikan bagaimana putrinya membela serta melindungi penyusup yang mungkin berkhianat padanya, Raja semakin diliputi keresahan.

"Demi mempertahankan kekuasaan, Anda sampai merelakan Pengawal Rahasia terbaik walau tahu akan berakhir dengan kegagalan. Penerus tahta kerajaan sihir tidak mungkin mati sebelum waktunya. Anda tahu benar akan hal demikian."

Mendengar apa yang dikatakan Pria itu, Raja menoleh dengan penasaran.

"Bagaimana keadaan anak itu? Apakah masih bisa diselamatkan?" Raja sangat menyayangkan kegagalan Penjaga Rahasia yang dikirim untuk menjebak Dares.

"Anak itu pada dasarnya permata tersembunyi. Penyihir tingkat empat yang jarang menunjukkan bakat. Selain itu, ia juga cerdik dan pernah menjadi Murid Penerus bagi Peramal Istana. Mantra darah tidak bisa membunuhnya. Dia mati karena perasaan cinta yang konyol. Raja memintaku menyelamatkan jiwa yang ingin mati, juga termasuk memaksaku menambahkan daftar lelucon."

Raja memijit kepalanya, sedikit depresi menghadapi makhluk tanpa rasa kasihan.

"Seandainya Peramal Istana tidak mengetahui takdir anak itu. Maka dia tidak akan pernah diusir dari menara Peramal, menjadi Penjaga Rahasia dengan fisik yang lemah."

Raja teringat akan anak laki-laki yang berlatih keras dengan peralatan sihir untuk menutupi kelemahannya sebagai penyihir diagram. Luka pelatihan yang tak seberapa bagi penyihir pemburu lain, sangat menyakitkan bagi anak itu. Pada akhirnya, dia masih mengikuti arus takdir dan mati seperti yang diramalkan.

"Bukan salah satu di antara kita yang melihat ramalan. Anak itu sendiri yang dengan naif memberitahu Peramal Istana sampai diusir pun masih tidak mengerti alasan di baliknya."

Ramalan menjadi kenyataan secara bertahap. Raja tenggelam dalam renungannya ketika ia tiba-tiba membuka mata, memandang antusias ke arah pria yang terkejut dengan perubahan sikap Raja Sihir.

Isi hati orang lain, dia tidak mengerti. Barulah ia menggunakan percikan kecil kekuatan untuk merasakan apakah raja dirasuki sesuatu. Namun sedikit kekuatan itu justru beresonansi dengan aura di ruang perenungan yang kosong dan menjauh dari pemiliknya. Hal kecil itu dia abaikan seperti biasa.

"Raja ini sedang berpikir untuk menemukan rumah bagi putrinya di luar wilayah Kerajaan Sihir," ujar Raja sembari mengelus jenggotnya.

Pria di depan kehilangan minat, membuka jendela dan siap untuk melompat sebelum menoleh kembali, dengan jelas berbicara kepada Raja yang menunggu jawaban.

"Pergilah ke Neraka dan tanya apakah ayahku menginginkan istri muda. Panggil aku kembali jika mau mengawal tandu pengantin ibu tiriku."

Lompatan itu menjatuhkan ekspektasi Raja yang berharap memiliki menantu bijak.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang