Chapter 8 - 1

3 3 0
                                    

Nyanyian asap zefir
Mengalun sejauh desir dari mereka yang mahir memantrakan sihir

~^*-*^~

Kabut membentang sejauh sepuluh kaki di luar hutan. Matahari menyinari rintik hujan yang mengguyur lebih jauh disapu angin sesudah malam.

Setelah tidur lelap, Candramaya bangun lebih awal untuk menemukan petunjuk atas keraguannya. Dia menyelundup keluar dari kamar yang terkunci dan memasuki ruangan yang dia duga ruang baca.

Candramaya terus membolak-balik buku yang membosankan sampai ia menemukan daftar pelayan dari keluarga bangsawan Ny. Amaranta lima puluh tahun yang lalu. Di sana terdapat potret anak gadis jelmaan siluman laba-laba yang dia temui.

Dalam daftar itu tertulis, Ayna merupakan nama pemberian dari Nyonya Tua Amarilis karena usianya sama dengan cucunya Amaranta. Walau masih sangat muda, Ayna telah menjadi pelayan yang sangat terampil. Kadang kala dia menjadi teman sepermainan Amaranta yang kesehariannya hampir tidak dapat beranjak dari tempat tidur. Kondisi fisik yang lemah sejak lahir pun membuat Amaranta hanya dapat menghabiskan waktu di sekitar rumah.

Informasi yang tertulis hanya sebatas itu. Namun Candramaya telah mendapat banyak dugaan. Dia kembali ke kamar, mengembalikan kunci pintu ke keadaan semua dan mulai melihat sekeliling. Jika dia tidak salah menebak, kamar ini haruslah kamar Ayna. Bagaimana pelayan kecil itu bisa menjadi siluman laba-laba, Candramaya perlu mengkonfirmasi secara langsung.

Hingga matahari terbit, siluman laba-laba tak mau menunjukkan diri. Sampai sekarang, siluman laba-laba hanya bersembunyi di balik pintu seolah takut bertemu seseorang.

"Apakah sarapannya sudah siap?"

Teriakan dari dalam rumah menyadarkan Candramaya yang sedang membereskan daun kering di halaman belakang. Ia seketika mengerti bahwa yang ditakuti siluman laba-laba mungkin saja lelaki itu. Suaranya lebih mengganggu dibandingkan jeritan orang yang bertemu hantu.

Candramaya menepikan sapu dan mulai menyiapkan sarapan. Ketika dia tiba di sana, ia perhatikan Prasetyo mendorong Ny. Amaranta yang tampak menahan kantuk. Segera matanya melirik angka enam dengan tak percaya. Dari sudut pandang Candramaya, Prasetyo tampak seperti keponakan jahat yang sedang memaksa orang tua bangun dini hari.

Sorot mata Candramaya membuat Prasetyo merasa diperhatikan. Ia membalas dengan tatapan menantang.

"Apa yang kamu lihat! Selesaikan pekerjaanmu dan segera enyah dari sini!" marah Prasetyo keras.

Sejak awal, Prasetyo tidak segan menunjukkan ketidaksukaannya pada Candramaya dan kian menjadi-jadi setelah beberapa kejadian aneh ia temukan di tempat ini.

Candramaya mengabaikan peringatan itu dan kembali ke dapur dengan membawa nampan. Sempat mendengar teguran Amaranta agar lelaki di sampingnya tidak terlalu keras hingga menakuti pelayan.

Bagaimanapun, zaman telah berubah. Bangsawan bukan lagi seseorang yang dipuja-puja bak dewa di masa lalu. Amaranta teringat ketika dia pergi ke ibu kota dan tidak sengaja menabrak seseorang sampai buah-buahan di keranjang pikulnya terjatuh. Orang itu meminta maaf dan segera lari setelah mendapat maaf dari Amaranta.

"Nyonya, saya akan berangkat kembali ke ibu kota. Apakah Nyonya menginginkan hal lain jika saya datang lagi nanti?" tanya Prasetyo santun.

Nyonya Amaranta menggeleng. Dia mungkin tidak mengatakan apa pun. Namun Prasetyo tampaknya teringat sesuatu. Dia bangkit dengan terburu-buru dan mengejar ke arah dapur. Candramaya yang sedang mengelap piring pun dibuat terkejut.

"Apa kamu melihat seseorang masuk ke sini?"

Candramaya terdiam. Bukan karena dia enggan menjawab, melainkan anak kecil yang bersembunyi di dalam lemari sedang memberi tatapan mengancam.

"Tidak," jawab Candramaya singkat. Dia kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan mengabaikan Prasetyo yang mendengus sebelum keluar.

"Berapa lama kamu ingin sembunyi di sana? Cepatlah keluar. Dia akan kembali ke kota hari ini," bujuk Candramaya. Dalam hati ia heran bagaimana wujud anak kecil itu dapat terlihat oleh Prasetyo yang seorang manusia biasa.

Anak kecil itu menggeleng. Dia enggan keluar sebelum Prasetyo pergi dari rumah.

Candramaya mengabaikan anak itu dan menghampiri Nyonya Amaranta yang hampir selesai dengan sarapan. Wanita itu menoleh sekilas ke arah Candramaya yang tengah termenung memandangi jendela.

"Kalau tidak ada pekerjaan lain lagi, kamu bisa ikut dia kembali ke ibu kota. Ingatlah untuk kembali sebelum malam."

Ucapan Amaranta hampir memicu luapan kekesalan Prasetyo. Dia tidak akan mengatakan secara langsung. Tapi lelaki itu pasti memikirkan deretan kalimat untuk menolak Candramaya.

Seolah sengaja, Candramaya menawarkan diri. "Apakah saya benar-benar boleh ikut ke kota? Saya sangat merindukan Bu Siti dan teman-teman di sana."

Prasetyo geram. Dia tidak mengatakan apa pun ketika keluar dan naik ke kereta kuda sendirian. Candramaya setelah berpamitan dengan Ny. Amaranta pun turut naik sembari mengabaikan kedua mata Prasetyo yang hampir melotot.

Dengan kusir berpengalaman yang menarik kereta kuda, perjalanan mereka menjadi singkat. Tidak terasa, Candramaya sudah memasuki pasar di pusat kota. Takkan jauh lagi untuk mencapai area yayasan yang dekat dengan kantor wali kota.

"Kamu turun di sini sekarang juga!" Prasetyo memerintah sambil menahan keras suaranya.

Candramaya dengan malas melompat turun dari kereta kuda. Tidak menyangka laki-laki itu sungguh akan mengusirnya di tengah jalan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Candramaya berjalan lurus ke arah yayasan.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang