Chapter 24 - 2

2 2 0
                                    

Pada ruang rahasia di dalam istana utama, beberapa prajurit yang membawa tahanan muncul dalam lingkaran teleportasi.

Mereka membawa tahanan yang kekuatan sihirnya telah disegel dengan perangkat khusus milik Raja Sihir.

Masuk ke salah satu ruang berjeruji besi, merantai tahanan tak berdaya yang kehilangan niatnya untuk memberontak setelah mengetahui dalang di balik penangkapannya.

Tahanan itu duduk bertumpu pada kasur kayu nan rapuh, menengadah ke langit-langit penjara yang usang, mengeluh.

"Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa mereka tega menuduhku seperti ini?"

Kalimat yang digumamkannya dua-tiga kali itu semakin keras hingga prajurit yang berganti tugas jaga di luar lorong terpana mendengarnya.

Prajurit muda itu melangkah ke depan jeruji, berdiri terpaku memperhatikan tahanan yang tidak memedulikan keberadaannya.

"Seseorang pasti mencelakaiku!" kata tahanan yang tiba-tiba berdiri dan mendekati jeruji, menggenggam batang besi dengan penuh tenaga seolah dapat mematahkannya. Tetapi tidak mungkin untuk melakukan apapun tanpa kekuatan sihir.

Dia telah hidup selama beberapa dekade, mengandalkan kekuatan sihir tingkat kelima yang setara dengan Raja. Kekuatan fisiknya lebih lemah dibandingkan manusia biasa, terlebih dengan usianya yang telah menua.

Keadaan yang menyedihkan saat ini membuatnya mengasihani diri sendiri, menyerah untuk bersandar pada tiang jeruji sampai sepasang kaki bersepatu bot ungu tampak.

Tahanan itu menoleh, berusaha menebak siapa yang sedang berdiri di depannya dengan punggung tegak, menatap dia seperti seorang penagih utang.

"Berani-beraninya prajurit biasa sepertimu menyombongkan diri di hadapanku!" marahnya lantang.

Egonya tidak dapat menerima sikap angkuh prajurit yang kekuatan sihirnya bahkan tidak mencapai tingkat ke empat.

"Apa kau tidak tahu siapa aku!" Aku adalah orang kedua yang berkuasa setelah Raja!" racaunya.

Prajurit yang hanya mematung diam itu menunduk, menyamakan posisi kepala dengan tahanan yang semakin beringas.

"Aku tahu. Aku adalah Lio," ucapnya perlahan. Dalam nada suaranya tersirat harapan agar dapat dikenali.

Sayangnya Peramal Istana yang dipenuhi amarah, tidak mendengarkannya sama sekali.

"Aku tidak peduli siapa dirimu! Apakah identitasmu yang tak seberapa itu layak dibandingkan denganku!" raung Peramal Istana. Tidak kuat menahan gejolak emosinya, dia batuk berulang kali.

Lingkaran perangkap sihir yang berada di bawah lantai penjara bersinar redup saat dia memaksakan inti sihirnya untuk melepaskan belenggu.

Prajurit yang tidak tahan melihat kenekatan sang Peramal, memutuskan berbalik dan kembali.

Melalui jalan setapak yang remang di luar istana utama, dia memandangi menara sihir yang menjulang tinggi, hampir menghalangi bulan yang bersinar lembut di langit.

Pandangannya kosong untuk waktu yang lama, terbayang kembali pada masa lalu hidupnya yang hampa.

Beberapa tahun lalu, sebelum Lio menjadi penjaga penjara rahasia. Dia adalah murid unggulan menara sihir yang menjadi salah satu kandidat penerus gelar Peramal Istana.

Bersama sahabat sekaligus saingan terbesarnya, Neo. Sebagai sesama bangsawan yang kehilangan kedua orang tua mereka saat masih kecil, mereka berbagi tumpuan satu sama lain.

Keduanya selalu bertanding secara adil. Saling membantu dalam menjadi yang terbaik di menara peramal.

Adakalanya Lio tidak dapat menahan rasa iri pada sahabatnya, merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh Peramal Istana yang lebih mementingkan pelatihan Neo daripada dirinya. Namun semua iri hati itu tidak pernah bertahan cukup lama. Karena Neo tak segan merangkulnya dalam kesulitan meskipun harus menerima akibat yang rumit.

Sejak saat itu, Lio terus merenungkan pemikirannya. Dia menyadari caranya dalam memandang Neo hanya membuat dia semakin tertinggal. Meskipun keduanya adalah saingan dalam posisi Peramal Istana, Neo tidak pernah memperlakukan dia seperti musuh maupun saingan.

Dengan penyesalan yang haru, Lio menemui Neo pada malam itu. Bulan tatkala itu pun hampir tertutupi oleh menara sihir yang menjulang tinggi.

Lio menemukan Neo yang sedang melatih kekuatan di tengah aula menara sihir sendirian. Cahaya putih keperakan berpendar dengan keindahan yang halus di bawah naungan rembulan.

Saat menyadari kedatangan Lio, Neo sedang tertegun dengan ramalan yang baru saja dia lihat, segera menyembunyikan kesedihannya di balik senyum tipis, menyambut sahabatnya dengan sukacita.

"Lio! Apa yang membuat pemalas sepertimu datang di tengah malam begini?" canda Neo sembari membetulkan jubahnya.

Sebenarnya dia sendiri pun tampak terburu-buru saat melihat cahaya ramalan di menara peramal dan hampir keluar dengan piyama hijau.

Lio mengabaikan penampilan Neo dan berjalan memutari aula, seolah mengamati.

Dalam sekejap, sihir yang memancarkan cahaya ungu lembayung berpendar. Dia muncul di hadapan Neo yang sangat terkejut dengan tepukan di bahunya hingga terkecoh.

"Aku segera kemari saat tahu kau ada di sini. Siapa tahu, aku bisa menangkap kecurangan yang sedang kamu lakukan," ancam Lio bergurau.

Dia tahu Neo tidak akan melakukan perbuatan buruk. Baginya yang mengenal Neo sejak dulu, tidak akan percaya jika seseorang mengatakannya telah membunuh raksasa.

Walaupun memiliki kemampuan untuk melakukannya, anak itu seperti ditakdirkan untuk tidak pernah menumpahkan darah.

Sebegitu kagum Lio pada saingannya, dia masih tidak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi terkejut Neo yang tak biasa.

"Aku," Neo berdehem saat menyadari kegugupan dari suaranya. "Itu tidak mungkin. Tanpa berbuat curang pun, kamu bukanlah tandinganku!" balas Neo, mengingatkan Lio kembali pada tujuannya.

Dia melepaskan bahu Neo dan duduk di tepi aula menara, menengadah pada hiasan bintang-bintang di langit-langit kaca yang ramai, berkilauan dengan megah.

Neo mengikuti arah pandangan Lio dan akan menjawab saat Lio memotongnya dengan satu penggilan tegas.

"Neo."

Merasakan suasana menjadi serius, Neo duduk di samping Lio, memperhatikan dengan cermat.

Lio lantas melanjutkan, "Jika kamu menjadi Peramal Istana kelak, biarkan aku menjadi ajudanmu yang paling dekat."

"Apa?" Neo terlalu kaget mendengar pernyataan Lio. Hampir mengira bahwa Lio telah melihat masa depannya.

Namun tersadar untuk tidak mengungkapkan rahasia yang baru saja dia lihat, Neo tertawa keras hingga Lio menoleh dengan jengkel, menganggap ucapannya tidak serius.

"Bagaimana jika kamulah yang ditunjuk sebagai Peramal Istana?" Neo bertanya balik, menularkan senyumnya pada Lio.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang