Chapter 7 - 3

3 3 0
                                    

Setelah sarapan pagi Ny. Amaranta siap, wanita itu menyuruh Candramaya pergi membantu Prasetyo yang tampak sibuk sedari tadi di taman belakang.

Prasetyo sedang menggali ketika Candramaya tiba. Ia mengelap keringat dengan handuk dan lanjut menggali lubang yang cukup besar, hampir seukuran manusia. Lalu kembali menimbun lubang kosong dengan tanah yang dia angkut dari sudut taman lain.

"Adakah yang bisa saya bantu?"

Prasetyo terkejut ketika Candramaya berbicara di belakangnya. Dia hampir jatuh ke lubang yang sedang ditimbun. Mendengus dengan marah, ia mendorong Candramaya sampai terjungkal.

"Pergi! Jangan usik atau kukubur kau hidup-hidup!" ancam Prasetyo.

Candramaya bangun dan menepuk tanah di ujung rok. Titik-titik darah merembes dari mata kaki yang tergores pisau di sana. Bukan merasakan sakit, ia justru tersenyum karena menemukan petunjuk dari misteri yang dia cari. Dia memberanikan diri untuk kembali mendekat, lalu berkata, "Saya diminta oleh Nyonya untuk membantu Anda."

Prasetyo terdiam sejenak, hendak meraih sesuatu namun tak jadi. Pria itu meremas gagang cangkul, mengangkat dan menancapkan ke tanah yang baru ia gali.

"Apa hal kecil seperti ini pun perlu ditolong oleh pelayan sepertimu? Enyah dari sini sebelum cangkul ini sungguh-sungguh menguburmu!" bentak Prasetyo.

Candramaya mengalah, meninggalkan taman belakang. Bukan karena takut pada ancaman dari Prasetyo, melainkan untuk menyembunyikan potongan kain berdarah yang dia temukan saat terjatuh.

"Belum tahu siapa yang terkubur di situ," batin Candramaya.

Angin bertiup amat perlahan. Matahari yang bebas bersinar di langit kembali memeras keringat dari Prasetyo yang mencangkul tanah hingga menjelang sore. Lelaki itu menyelesaikan pekerjaan dan membersihkan diri, hendak memohon pamit kepada Ny. Amaranta sebelum berangkat kembali ke kota.

Pada saat yang sama, Candramaya berjaga di depan pintu dan menanyakan ke mana perginya pelayan yang datang bersama dengan Prasetyo.

Pria itu tidak menyembunyikan kebenciannya. Dia enggan menjawab pertanyataan Candramaya dan hanya mendengus pergi. Setelah keluar dari pintu, dia sama sekali tidak memandang kembali.

"Pelayan itu sudah kembali ke kota lebih dulu," ujar Ny. Amaranta. Dia perhatikan raut Candramaya yang tak biasa, seakan tengah menyimpan sesuatu dalam hati. "Jika kamu merasa kesepian, kamu boleh menyalakan lilin ini di kamarmu." Ny. Amaranta memberikan sebuah lilin putih yang biasanya dipakai untuk perjamuan makan bangsawan.

Candramaya menerima lilin itu dan menyimpannya.

Saat malam tiba, rumah megah tanpa cahaya lampu itu kembali memberi perasaan ngeri yang menusuk tulang. Malam yang teramat tenang, setelah mendengar suara kursi roda mendekat, Candramaya menyalakan lilin di kamar dan mengikat perban di kaki yang terluka.

Seusai Ny. Amaranta memeriksa keberadaan Candramaya di dalam kamar, ia lantas mengunci pintu dari luar.

Yakin bila Ny. Amaranta tak lagi berada di sekitar kamar pelayan, Candramaya melepaskan perban dan beranjak. Namun belum berjalan sampai ke ujung pintu, angin kencang yang bertiup dalam kamar tanpa jendela telah mematikan nyala lilin dan suasana seketika mencekam.

Satu per satu arwah yang sengsara mendekat dan mengelilingi Candramaya, mencoba untuk merasuki. Setelah gagal, mereka bahkan menarik dan mencekik Candramaya dengan seluruh kekuatan mereka hingga manusia di depannya memberontak. Sampai laba-laba raksasa muncul dan membubarkan rombongan arwah penuh rasa iri yang terus berteriak, mengutuk Candramaya mati seperti mereka.

"Aku menolongmu dari arwah-arwah jahat itu. Tapi kamu harus setia dan menjaga Nyonya dari siapa pun. Jangan berpikir untuk melakukan perbuatan yang menyakiti Nyonya," ungkap Laba-laba . Sekilas tampak wajah manusia yang memudar dan kembali ke wujud kepala laba-laba.

Ucapan laba-laba itu meninggalkan kesan bagi Candramaya. Dia berbalik serta menantang tatapan dengan keberanian yang entah dari mana. Bahkan arwah-arwah di belakang pun mundur terintimidasi. Sesuatu yang tersembunyi dalam diri Candramaya lebih menakutkan dari hal yang merenggut nyawa mereka. Hanya siluman laba-laba yang cukup tegar untuk tetap berdiri di sana, melirik sekitar yang luas ketika semua arwah itu mundur, meniadakan alasannya untuk mengancam Candramaya.

Belum sempat laba-laba itu beranjak, Candramaya menahannya hingga tak berkutik.

"Berapa banyak nyawa manusia yang telah kau makan?"

Wajah manusia yang sempat terlihat olehnya pun tampak dan menunjukkan paras anak gadis, bahkan tubuh laba-laba pun perlahan berubah menjadi tubuh anak kecil berbusana pelayan.

"Jangan bicara sembarangan! Aku juga manusia! Mana mungkin akan makan manusia!" marah Laba-Laba yang kini telah mewujud anak gadis.

Dalam teriakan itu, Candramaya mendengar suara lain yang mendekat seperti kursi roda berputar, menyadari seseorang yang tak terduga akan datang mengusik rencananya.

Candramaya tidak sempat menghentikan anak gadis yang melarikan diri ketika merasakan perasaan akrab, ketukan di pintu kamar membuat ia terhenti. Suara kunci pintu yang diputar, berbarengan dengan pintu kamar yang terbuka.

Dari balik pintu, Ny. Amaranta membawa lentera dan berusaha melihat ke dalam kamar Candramaya yang gelap. Cahaya lenteranya menyoroti Candramaya yang tengah terlelap hingga gadis itu terbangun dan menyadari Prasetyo juga berada di belakang Ny. Amaranta.

"Apakah Nyonya membutuhkan bantuan saya?" tanya Candramaya sembari mengusap mata, menahan kantuk.

"Kamu barusan bicara dengan siapa?" tanya Ny. Amaranta dipenuhi rasa curiga.

Candramaya melirik dengan bingung, lalu balas bertanya, "Apakah saya mengigau saat tidur?" dengan tatapan tak tahu-menahu.

Nyonya Amaranta yakin bahwa dia mendengar orang lain berbicara dari kamar ini walau Prasetyo terus mengatakan hal sebaliknya. Sayangnya dia tidak bisa membuktikan hal itu. Tidak ada jendela dan hanya satu pintu yang dikunci dari luar. Orang yang masuk, tidak mungkin bisa kabur atau sembunyi di dalam kamar.

"Semakin lama, pelayan yang di sini semakin tidak berguna," kata Prasetyo tiba-tiba.

Bukan Candramaya yang tersinggung, justru laba-laba yang ketakutan dan tampak marah akan ucapan Prasetyo, seakan kalimat itu ditujukan padanya.

Sikap laba-laba itu semakin membuat Candramaya penasaran akan rahasia yang tersembunyi. Walau rencananya untuk menyusup malam ini gagal, dia tak ambil pusing dan terlelap tanpa mimpi yang mencemaskan.

Keesokan hari, langit belum begitu cerah. Tetapi cahaya yang melewati reranting dedaunan bagai saling menyilang dengan bayangan. Candramaya berdiri di bawah pohon, menyapu daun-daun kuning yang berjatuhan bak musim gugur.

Tidak ada hujan dan musim semi belum berlalu. Satu-satunya jawaban logis untuk rontoknya dedaunan, mungkin karena Prasetyo menggali di dekat pohon dan akar tak lagi menjangkau tanah. Biar bagaimanapun, jejak galian masih terlihat begitu jelas meski Candramaya berusaha menutupinya dengan daun-daun yang ia sapu.

Candramaya terus melanjutkan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh tukang kebun. Karena dia merupakan pelayan tunggal di sana, pekerjaannya merangkap.

"Bagaimana?" pertanyaan dari suara yang tegas dan penuh wibawa itu membalikkan perhatian Candramaya.

Di teras belakang rumah, Prasetyo tampak sedang sibuk menelepon seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan di sana. Dalam hati, Candramaya mencibir. Lelaki itu sedang bermain-main di sini dan membiarkan bawahannya di sana bekerja keras untuk kepentingan pribadi.

Seakan musuh yang saling bersitegang, Prasetyo melotot pada Candramaya dan menduga pelayan itu sedang berujar hal tidak bagus tentangnya.

"Selesaikan tugasmu sebelum Nyonya bangun untuk sarapan!" kecam Prasetyo.

Lelaki itu benar-benar tahu bagaimana untuk membuat Candramaya tertawa. Lain hal dengan siluman laba-laba di balik pintu yang memandang iri pada Candramaya.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang