Chapter 10 - 2

3 3 0
                                    

Siti yang berada di kota dan tengah menikmati terpaan angin di jendela, seketika cemas saat melihat kembang api di arah perbatasan sebagai orang yang telah memberikan suar. Siti tahu bila bahaya sedang mengincar keponakannya. Ia segera mengajak warga untuk berbondong-bondong menuju perbatasan dengan berjalan kaki. Ada pula yang mengendarai kereta kuda.

Ketika Candramaya tiba di rumah, bangunan temaram itu sangat sunyi, seolah membenarkan apa yang dicurigai olehnya. Perlahan ia masuk dan mencari keberadaan Ny. Amaranta yang tengah terlelap di kamar. Suara gemeresik dedaunan sontak menyita perhatian. Candramaya membiarkan Ny. Amaranta tetap tenang dalam tidurnya dan menuju sumber suara.

Di dapur, ia menemukan jejak darah yang mengarah pada tempat cuci piring. Prasetyo sedang berdiri di sana dengan tangan yang berlumuran darah dan menggenggam pisau.

Melihat pelayan yang sendirian, memberinya keberanian untuk mengangkat kembali pisau dan hendak menghujam pelayan di hadapannya. Namun sebelum itu benar-benar terjadi, seseorang telah melemparkan batu yang mengalihkan perhatian Prasetyo.

Warga di pusat kota yang dipenuhi amarah pun segera memasuki dapur dan menangkap Prasetyo yang pernah mereka percayai sebagai pemimpin terbaik.

Mata Prasetyo tak berhenti tertuju pada Candramaya ketika ia dibawa melewati gadis yang berdiri diam menatapnya.

"Wanita penyihir. Seharusnya kau tidak ikut campur," ungkap Prasetyo dengan gerakan bibir yang hanya terlihat oleh Candramaya.

Candramaya tertegun dengan senyum yang diperlihatkan Prasetyo sebelum lelaki itu hilang dari pandangan.

Belum setengah jam, seseorang berteriak bahwa ia menemukan mayat Lila di taman belakang rumah. Sebuah cangkul yang masih meneteskan darah bersebelahan dengannya.

Orang pertama yang mendekat segera mundur, menyadari kalau Lila yang separuh tubuhnya terkubur di tanah itu masih hidup. Tetapi mereka tidak melakukan apa pun selain membiarkannya mati kehabisan napas perlahan, seolah mereka tak memiliki keberanian untuk menariknya keluar dari tanah.

Candramaya tiba di sana saat Lila tak lagi bernyawa. Mereka menjelaskan apa yang terjadi dan tak berani menolong karena seekor laba-laba raksasa sempat muncul di hadapan mereka dan sedang memakan Lila sedikit demi sedikit.

Candramaya tidak melihat apa yang terlihat di mata orang-orang itu kecuali seekor laba-laba yang menyerupai Ayna di balik gubuk dan mengintip keluar. Siluman itu sedang bersembunyi dan menghilang ketika Candramaya mendekat.

Siti yang datang bersama warga, menepuk pelan pundak Candramaya, mengajaknya berbicara.

"Apa kamu akan pulang sekarang? Mereka merindukanmu," ungkap Siti, menyiratkan keluarga yang ditinggalkan Jingga saat ia kabur ke kota.

Sedangkan Candramaya menduga mereka ialah orang-orang di yayasan. Tanpa tahu bahwa Siti telah menerima surat peringatan dari saudaranya di kampung seberang yang membenarkan dugaan akan keponakannya telah kabur dari pernikahan yang ditetapkan.

"Saya berharap dapat tetap di sini untuk sementara waktu. Nyonya tidak bisa ditinggalkan sendirian," jawab Candramaya. Ia masih ingin menyelidiki sesuatu sebelum menyelesaikan urusannya di sana.

Siti memahami penjelasan Candramaya, mengira gadis itu akan mempertimbangkan keputusan untuk kembali ke keluarganya.

Sebelum mereka meninggalkan perbatasan kota, Siti menoleh sesaat dan berkata, "Pernikahan tak seburuk apa yang kamu pikirkan. Keluargamu merindukanmu."

Candramaya yang terusik, hampir mengungkapkan identitas asli tatkala sosok berjubah hitam yang berdiri di balik pintu rumah Ny. Amaranta mengalihkan perhatian. Dia juga menyadari batu sihir yang ia sembunyikan sedang berkedip, seolah mengincar sosok misterius itu.

"Ada apa, Jingga?" Siti mengikuti arah pandangnya dan tak menemukan apa pun.

Candramaya menggeleng, enggan memberitahu.

Orang-orang pergi tanpa menoleh kembali, meninggalkan Candramaya yang seorang diri masuk ke rumah, menyalakan lilin dan menjenguk ke kamar Nyonya Amaranta.

"Dia telah ditangkap."

Ucapan itu membuat Candramaya yang berdiri di depan pintu kamar terpaku menahan panas tumpahan minyak lilin. Bertanya-tanya siapa yang berada di dalam.

"Ini kesalahanku tidak mengajarinya dengan benar." Terdengar suara Nyonya Amaranta yang menghela napas berat.

"Tidak ada yang perlu disesalkan. Lagipula kemampuan senior seperti kita juga terbatas. Anak-anak berbuat salah adalah hal yang wajar."

"Kesalahannya sudah tidak bisa ditoleransi. Bagaimana mereka akan menghukumnya?"

Saat menguping pembicaraan di kamar Ny. Amaranta, Candramaya terkejut dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. Di depannya seorang wanita tinggi tegap dan berkacamata berbalik melirik pelayan yang memegang lilin.

"Dia akan diadili berdasarkan hukum yang berlaku," ucap wanita itu sambil berjalan melewati Candramaya yang menunduk.

Nyonya Amaranta memperhatikan wanita itu hingga ketukan sepatu tingginya tak lagi terdengar. Seolah membaca pertanyaan Candramaya, dia berkata, "Itu adalah Pemilik Yayasan di tempat kerjamu. Dia mendengar kabar yang beredar dan datang kemari bersama orang-orang kota."

Candramaya tertegun akan sikap tenang yang dimiliki Ny. Amaranta setelah mengetahui kematian keponakannnya.

"Nyonya sudah tahu?"

Pertanyaannya menerima anggukan dan pintu ditutup oleh Nyonya Amaranta yang tak ingin membicarakan apapun.

Malam itu, dia membawa lilin kembali ke kamar, mendengarkan nyanyian arwah-arwah hitam yang senang karena satu orang lagi mati di tempat mereka.

Hati manusia begitu sulit ditebak.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang