Chapter 11 - 1

3 3 0
                                    

Malam dingin
Mengikuti arah angin
Melangkah ke mana ingin

Mantra bermain
Menjaga kekuatan batin
Mencari takdir yang terjalin

~/*\~

Sebuah layang-layang mendarat di atas rerumputan basah. Embun kemudian menyelamkannya dalam genangan yang pecah riak ketika kaki kuda berpijak dari luar kota.

Dentuman singkat itu menghasilkan pembicaraan lain dari dalam kereta. Belatik mengangkat tirai dan menunjuk ke sebuah bangunan, berbicara kepada kusir kuda untuk bersinggah di dalam yayasan.

Kereta kuda berhenti seiring usir menarik tali kekang, Candramaya melompat turun setelah menyampaikan salam. Dia tidak berhenti meskipun lirikan mata sang kusir mengingatkannya pada seseorang.

"Barusan hanya perasaanku saja atau ...." Candramaya berbalik dan bertemu tatap dengan mata yang memicing sesaat, kemudian menoleh ke jalan raya.

Tatapan sesaat itu memberinya sebuah peringatan melalui kekuatan yang tidak Candramaya pahami. Seakan berkata dengan isyarat bahwa dia sudah harus pergi.

Candramaya mengabaikan kusir itu dan berpamitan kepada Belatik. Suasana di dalam yayasan tampak sedang sangat sibuk dengan Siti yang berjalan ke sana kemari. Setelah melihat keponakannya, barulah ia berhenti sebentar dan menghampiri.

"Jingga, akhirnya kamu bersedia kembali. Apakah ada yang akan menjemputmu pulang? Tante baru saja mendapatkan kabar kalau ada acara besar di desa seberang. Tanpa orang dari desa yang membawa masuk, kamu tidak bisa masuk," ujar Siti, masih tampak terburu-buru. Pandangannya diarahkan pada sekitar di mana orang-orang sibuk mengemas barang.

"Tante jangan khawatir. Karena ayah yang menyuruhku pulang, pasti telah menyiapkan orang untuk menjemput." Candramaya berbohong. Sekalipun benar ada yang menjemput, tentu bukan dirinya. Melainkan Jingga yang asli. "Mengapa Tante tampak sibuk sekali, apakah ada acara juga di tempat ini?"

Siti bersyukur dan mempercayai ucapan Candramaya. Namun pertanyaan Candramaya membuat kerutan di wajahnya muncul.

"Tidak, tidak ada acara," sangkal Siti. "Kamu tahu anak muda yang waktu itu memukulimu? Dia pergi tanpa izin dan meninggalkan banyak tugas yang belum diurus. Tante terpaksa harus mengurusnya sendiri dan tidak bisa menghadiri acara pernikahanmu nanti."

"Jadi dia," gumam Candramaya.

Senyuman kecil tampak di ujung bibirnya tatkala dia teringat rasa sakit yang diberikan pemuda itu, lebih tepatnya dari seorang gadis.

Saat Candramaya akan memasuki pintu yayasan. Dia merasakan suatu firasat aneh yang membuat punggungnya gemetar. Setelah menenangkan diri, akhirnya menerima pemahaman yang lebih pasti. Dia terlebih dahulu berpamitan kepada Siti, menunjukkan keinginannya untuk segera pulang ke kampung halaman.

Ketika menaiki kereta kuda, Candramaya justru meminta kusir untuk membawanya ke dalam kota, menuju arah penjara. Dia ingin mengetahui lebih banyak dari Prasetyo. Namun belum sampai di pintu penjara, seseorang berteriak bahwa dia sudah meninggalkan pusat kota. Candramaya berbalik dan menuju perbatasan di sisi hutan yang rindang.

Pohon tumbuh di sepanjang jalan tanpa adanya semak. Persis sama seperti pertama kali Candramaya melaluinya. Angin akan menerbangkan dari satu arah dan Candramaya berjalan melawan embusan. Helaian rambutnya terbang menyerupai hiasan permadani. Manik matanya tak sehitam sosok putri yang pernah mengagumkan di bawah cahaya rembulan. Dia semakin mirip dengan manusia walaupun sebenarnya dia bukan salah satu dari mereka.

Batu yang bersinar membuktikan identitasnya. Candramaya mengikuti arah yang ditunjuk batu, melangkah kaki tanpa peduli ke mana dia dituju. Perjanjian yang dia sanggupi untuk mendapatkan kembali kekuatannya adalah mengumpulkan arwah-arwah hitam yang telah berdiam lama di dunia manusia. Batu Kyanite hitam dalam genggaman akan menjadi kompas, dia laksana pemburu. Adakalanya, pemburu terperangkap dan dia harus bergegas.

Awan menutupi cahaya matahari sore yang lemah. Sedikit demi sedikit menutupi langit hingga cahaya senja dari ujung barat menyebar cepat. Candramaya menutupi pandangannya dari perubahan yang mendadak sampai tidak tahu seseorang berlari ke arahnya.

Seorang wanita dalam balutan gaun dan kain jingga menabrak Candramaya yang sedang berdiri diam. Dia segera bangkit dan hampir menjatuhkan perhiasan emas yang melingkari pergelangan tangan. Raut wajahnya pucat ketika melihat orang yang dia tabrak adalah seseorang yang memiliki rupa menawan. Wanita itu segera berlutut.

"Aku tidak mau kembali. Biarkan aku pergi dari desa ini," mohon Wanita itu sembari melepaskan kain jingga yang menutupi wajahnya.

Dari kejauhan terdengar langkah kaki yang mengejar kemari. Wanita itu segera beranjak dan melemparkan kain jingga kepada Candramaya yang terdiam karena batu di tangannya bersinar, menandakan dia telah tiba di tempat yang tepat.

Hutan itu masih sama seperti yang dilalui Candramaya sebelumnya. Angin bertiup di balik pohon dan dua orang muncul dari belantara seakan mereka telah mengejar kemari sejak tadi. Candramaya memperhatikan kedua orang itu dari balik kain jingga. Mereka menghampirinya dan hendak menarik tangan Candramaya yang segera mengelak.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang