Chapter 8 - 2

4 3 0
                                    

Siti sedang memijit kepala ketika dia tiba. Raut cemas yang tercetak jelas bagi Candramaya, membuat gadis itu bertanya-tanya akan hal apa yang mengusik Siti. Tanpa ragu, ia mendekat.

"Bu Siti, ada apa?"

Candramaya baru menyadari adanya orang lain di sana ketika dia tiba. Pemuda berkacamata yang memandang aneh ke arahnya.

"Kamu pelayan yang dikirim ke rumah batas kota 'kan?" tanya pemuda itu.

Candramaya belum sempat mengangguk ketika pemuda itu menerjangnya dan menarik kerah seragamnya. Dia tetap tenang saat Siti mendekat untuk memisahkan mereka.

"Kenapa dia bisa baik-baik saja tapi saudariku justru hilang entah ke mana!"

Keduanya saling bertatap dengan pikiran berbeda. Yang satu kebingungan, sementara lainnya marah tanpa akal.

Setelah tiba ke kota, Candramaya tidak tahu bila cuaca bisa begitu menyengat. Dia berlindung di bawah atap setelah terlibat perkelahian dengan pemuda di depan.

Candramaya tidak pernah terjun dalam perkelahian. Dia tahu bahwa tak mungkin melawan atau menggunakan pusaka tanpa sihir. Karena itu, ia hanya dapat menghindar dan membiarkan pemuda yang dikuasai amarah memukulnya hingga orang-orang yang dipanggil Siti keluar.

Siti meringis saat mengobati luka di sudut bibir Candramaya dan meminta dia masuk ke ruangan. Tidak ada pendingin yang dapat memberinya angin sejuk. Namun Candramaya tak lagi merasakan hawa panas yang dia rasakan di luar, seolah hal yang dia takuti adalah cahaya matahari.

Menoleh dan menyadari raut Candramaya yang tiba-tiba pucat pasi seakan kesakitan. Siti segera meminta maaf dan mulai menjelaskan dengan tergesa.

Beberapa hari yang lalu setelah Candramaya berangkat ke tepi kota. Sebuah rumor menyeruak serta sempat menjadi perbincangan yang tabu di kota. Saat ini masih menunggu klarifikasi.

"Hei, apa kalian dengar apa yang dikatakan wanita gila di balai pengobatan?" ujar seorang pegawai pada suatu siang di pasar yang sepi.

Siti yang kebetulan lewat pun penasaran dan mendekat untuk mendengar lebih jelas.

"Katanya kemarin wanita itu tiba-tiba menggila sambil berkata kalau Pak Wali Kota menjalankan ritual terlarang di rumah majikannya!"

Mendengarkan kalimat itu, orang-orang pun pergi dengan kecewa seolah mereka baru saja mendengar lelucon yang tidak lucu. Namun bagi Siti, mungkin wanita gila yang dibicarakan itu dapat menjadi petunjuk dari segala kerisauannya.

Sejak mengirim Jingga bekerja di rumah tepi kota, ia terus menerus dihantui rasa bersalah yang membuat ia mengalami insomnia setiap malam.

Sehingga saat petugas balai pengobatan menahan wanita itu pun, Siti tetap bersikukuh untuk menemui pasien di ujung koridor yang dapat membahayakan para pengunjung.

Siti turut masuk ke dalam kamar tahanan, bertanya tentang Prasetyo di bawah pengawasan dua petugas yang bertubuh kekar. Dia mendekat tanpa takut dan bertanya dengan jelas.

Wanita yang sedang duduk di lantai pun menengadah dan menatapnya dengan datar, seolah tidak terlihat pasien yang kehilangan kewarasan.

Seperti dugaan, pasien itu memulai cerita tentang kisah cinta yang ternyata hanya perasaan sepihak. Karena Prasetyo telah memiliki keluarga, tidak mungkin menoleh pada pelayan yang jarang ia temui. Tetapi Prasetyo jugalah alasan pelayan itu sukarela bekerja di rumah Ny. Amaranta yang berada di tepi kota. Walau tempat itu sangat menakutkan dengan pencahayaan lilin di mana-mana dan hanya ada sedikit pelayan, wanita itu tidak menyesal karena pria itu akhirnya membalas perasaan.

Siti dapat melihat binar cinta di mata wanita itu saat menceritakan percintaan mereka. Di bawah pohon taman belakang, hanya rembulan yang menjadi saksi.

Sampai suatu ketika, satu per satu pelayan pergi tanpa jejak. Dia menjadi satu-satunya pelayan di sana. Hal mistik dan tidak logis mulai mengganggu. Setiap malam bergulir, ia seolah mendengar pelayan-pelayan memanggilnya bahkan mengutuk dengan tidak sopan.

Hampir tidak tahan dengan apa yang menghantuinya, wanita itu pergi ke koridor malam itu untuk memberitahu kekasih gelapnya agar segera membawa ia pergi. Tetapi malam itu juga, orang yang menjadi harapan terbesarnya justru menenggelamkan wanita itu dalam keputusasaan.

Rasa sakit di sekujur tubuhnya cukup untuk meluluh-lantakkan cinta yang dia ukir untuk Prasetyo. Teriakannya tak lagi dapat didengar hingga orang lain akan mengira dia meninggal. Dalam keadaan sekarat setelah kekerasan fisik yang dia terima, ia diseret ke ruangan yang tak pernah dia lihat. Serta menyaksikan bagaimana Prasetyo menyeret mayat-mayat pelayan lain ke depan sebuah altar dan memujanya dengan mantra-mantra yang sama sekali tidak wanita itu mengerti.

Ketika Prasetyo berada dalam keadaan yang paling terfokus dalam ritualnya, wanita itu mengambil kesempatan untuk melarikan diri.

Wanita itu melewati hutan yang seolah memisahkan jalan antara kota dan perbatasan. Ia menjerit ketakutan bersama suara Prasetyo yang mengejar penuh amarah dari belakang. Kegelapan datang bersama sesuatu yang teramat mengerikan.

Saat tersadar, ia tidak tahu apa yang dia lihat terakhir kali hingga ia berteriak sekeras itu. Namun ia masih menjerit ketakutan saat membayangkan Prasetyo menggunakan mayat para pelayan sebagai bagian dari ritual.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang