Chapter 21 - 1

3 2 0
                                    

Desir dedaun yang dihalau angin memanggilnya keluar dari kegelapan. Candramaya beranjak di antara rerumputan dengan bunga-bunga putih. Kelap-kerlip memapar pemandangan danau nan luas serta pancaran tawa dua anak yang sedang bermain di tepian.

Dia dengan cepat mengenali anak yang sedang duduk di bebatuan. Hendak mendekat untuk bertanya. Tetapi anak itu menoleh lebih dulu.

Bertatapan langsung dengan Candramaya yang helaian rambutnya bertaut dedaunan, Owen membulatkan mata.

"Ma-mayat hidup!" jerit Owen yang melompat ke danau dan segera memeluk saudaranya.

Orlen berbalik tanpa melepaskan dekapan sang adik, menengadah langsung pada Candramaya yang lebih tinggi dari mereka. Kemudian menggenggam lembut tangan adiknya, berkata, "Bukan mayat hidup. Sakitnya sudah sembuh, jadi dia bangun."

Candramaya memperhatikan Orlen yang sedang membujuk Owen. Mereka adalah dua anak kecil yang membantunya saat dia jatuh ke rawa. Setelah pertemuan di hutan perbatasan itu, dia mengira tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka.

"Bagaimana ...." Suara Candramaya menghilang terbawa embusan angin danau.

Aroma pepohonan merasuk indra penciuman. Dia berbalik dan memperhatikan kawasan hutan yang mulai dijamah bayangan. Saat Candramaya menoleh kembali, kedua anak itu tidak lagi berada di danau. Hilang bersama suara tetesan air yang jatuh, menyisakan riak pada tepi kolam di mana sisa cahaya matahari memudar.

Hutan yang sebelumnya cerah, menjadi suram di bawah lingkup reranting yang menyerupai jemari. Beberapa batang pohon bahkan tampak memiliki bentuk manusia yang menjerit. Biar pun malam ini bulan hanya berwujud sabit, Candramaya tidak ragu untuk menjangkau ke arah kegelapan. Melangkah kembali dalam keheningan, meninjak rerumputan berbunga putih yang menyembunyikan duri setiap sulurnya.

Angin meniup jatuh rambut yang menutupi tengkuk Candramaya dan tanda penyihir bersinar di antara kegelapan. Kumpulan cahaya yang lebih kecil dari kunang-kunang mengejar di pergelangan kaki. Simbol laba-laba yang disegel mulai merambah rasa sakit. Kekuatan sihir yang tidak seimbang membuat dia bertekuk, jatuh dengan ekspresi bingung. Cahaya berpendar lambat dan kembali menyatu seiring dia berusaha beranjak. Tanda penyihir hitam yang terkait pada tengkuk Candramaya kian jelas.

Kegelapan menutupi sepasang mata yang terpaku sendirian di sana. Dia ingin tahu apa yang telah terjadi sejak dia tidak sadarkan diri. Bagaimana dia dapat muncul di hutan dan bertemu kedua anak itu. Candramaya bangkit, mengabaikan rasa perih di telapak kaki. Rerumputan yang terasa halus telah berganti tajam bebatuan. Tanpa alas kaki, dia merasakan sudut tajam yang menggores berulang kali. Hingga dia berhenti untuk menengadah ke langit yang juga gelap.

Sinar bulan kian menjauh, seolah jatuh di antara awan-gemawan mendung. Sebersit kilau petir menyambar dan cahayanya meluas hingga membutakan sementara penglihatan Candramaya. Dia tidak mengerti berapa lama matanya tertutup sehingga ketika mereka terbuka, hutan telah berpaling ke sisi terang. Pepohonan hijau, rerumputan berbunga serta bebatuan yang berlumut. Perasaan rindang itu seolah mimpi.

Dengan enggan mengabaikan rasa perih di kaki dan mengejar ke arah hutan yang lebih terang. Suara air kembali terdengar dan menegaskan bahwa dia baru saja berjalan kembali atau tanpa sadar telah melewati sihir teleportasi.

Candramaya mendekati kolam, melihat cerminan dirinya di permukaan yang membuat dia sendiri terpana. Air di kolam itu begitu jernih hingga bebatuan di bawah tampak mengkilap. Dia membenamkan wajah, merasakan sejuk yang menjalar hingga sebuah tangan kecil menepuknya.

"Apa yang kamu lakukan!" sorak Orlen ketika Candramaya menoleh.

Ditatapnya wajah rumit yang menunjukkan kepolosan anak kecil bersama tawa anak lain dari belakang.

Owen meraih ranting dan menunjuk Candramaya. "Aku sudah tahu kalau kamu bukan hantu. Jadi tidak bisa menakutiku lagi!"

Ucapan Owen membuat Orlen melongo. Sebelumnya, demi menenangkan sang adik. Dia terus memeluk Owen sepanjang perjalanan dan setelah malam berlalu, adiknya baru berani mengajaknya kembali ke sini. Tidak menduga mereka akan segera bertemu dengan perempuan itu di tepi kolam.

Candramaya berbalik dan ingin mengungkapkan pertanyaan. Namun tetap hening. Dia tak dapat bersuara selagi kekacauan dalam inti sihirnya belum mereda. Pada akhirnya hanya mengangguk dalam diam.

"Kakak, apakah dia bisu?" celetuk Owen dengan polos.

Aroma hutan nan segar menguar saat dia mendekati Candramaya dan menarik rambutnya. Sekuntum bunga kelopak putih digenggam Owen dengan hati-hati dan menghanyutkannya di kolam seperti anak kecil yang bermain kapal kertas.

Detik berikutnya, Owen menunduk dan membacakan mantra doa yang tidak dimengerti Candramaya. Sementara Orlen hanya memperhatikan dengan wajah sendu dan sesekali melirik waspada ke arahnya.

"Apa kamu sungguh bisu?" tanya Orlen memecah perhatian adiknya yang sedang bermain air di danau sejak beberapa menit lalu.

Candramaya membalas tatapannya dan menggeleng. Dia meraih ranting yang sempat dimainkan Owen dan menulis sesuatu di tanah.

Orlen memperhatikan apa yang ditulis Candramaya dengan cepat. Wajahnya berubah menjadi lebih runyam dari tadi. "Kamu tidak ingat kenapa bisa ada di sini?"

Anggukan perempuan di depannya tidak mengubah raut Orlen sedikit pun. Seolah gambaran yang muncul di benaknya kini menjadi semakin buruk.

"Aku juga tidak tahu kenapa kamu bisa masuk ke sini," ucap Orlen memutar mata, beralih dengan senyuman saat melihat Owen yang berlari ke arahnya. Tanpa menunggu, dia merentangkan tangan. "Hati-hati! Jangan berlarian di sana!"

Owen jatuh dalam dekapan tangan kecil Orlen dan tertawa mendengar omelan kakaknya yang cerewet.

"Tidak apa-apa. Jika aku jatuh, ada kakak yang akan menolongku," celetuk Owen sembari beranjak. Dia turut memperhatikan goresan di tanah dan menunjuk salah satu kata di atasnya. "Kak, aku tahu huruf yang ini. Ini huruf yang sama dengan kalimat matahar-."

Orlen tidak membiarkan Owen melanjutkan kalimat itu di depan Candramaya. Bagaimana pun, perempuan misterius di hadapan mereka itu bisa saja menyakiti adiknya.

"Ingat apa yang kita sepakati tadi. Jangan terlalu dekat dengan dia," bisik Orlen yang melepas bekapannya dan dijawab anggukan.

Candramaya mengalihkan pandangan ke arah hutan temaram. Dalam benak terngiang sebuah syair yang dia dengar di suatu malam purnama. Untaian kalimat yang secara misterius telah mengusik inti sihirnya.

"Matahari menerangkan jalan yang kulalui di tanah pertiwi."

Sejak mengucapkan mantra itu dalam benaknya. Candramaya merasakan aura gelap yang datang dari arah hutan, terus bertambah seiring kekuatan sihir dalam dirinya bergejolak.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang