Chapter 20 - 1

2 2 0
                                    

Bulan memancarkan cahayanya dan cahaya sihir memaparkan lorong rahasia yang menguarkan aroma karat besi.

Ayna mengangkat kepala. Segala pemandangan buram kecuali Candramaya yang berdiri di depannya.

"Ke mana saja kamu pergi? Aku mencarimu tapi tidak dapat menemukanmu." Cahaya sihir masih berkelap-kelip di sekitar kakinya. Ayna berada dalam wujud laba-laba yang tergantung di sudut atas lorong.

Candramaya memperhatikan perubahan wujud Ayna sedikit demi sedikit menjadi anak gadis.

Ayna berkata lagi, "Aku melihatmu berjalan melewati koridor namun tak kunjung kembali. Aku sangat mengantuk hingga tertidur."

Ketika mengatakannya, tubuh Ayna yang bergantung di sarang laba-laba terguling jatuh. Candramaya dengan segera mengulurkan tangan untuk menangkapnya.

"Aku bermimpi tentang masa lalu yang telah kulupakan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Alma, dia di mana ...."

Dia tidak melanjutkan saat Candramaya membawanya keluar dari lorong, menuju hutan yang luas, tak jauh dari taman belakang rumah Ny. Amaranta.

"Aku tidak bisa ke sana," celetuk Ayna di depan sebuah pembatas yang tinggi dan digulung rantai.

Penghalang sihir yang sebelumnya tidak pernah disadari Candramaya, kini terpampang jelas seiring rasa denyut di kaki kiri yang memunculkan simbol laba-laba. Dia menurunkan Ayna dari punggungnya dan mendekati pembatas itu sendirian. Sihir penghalang berkedip menanggapi kekuatan sihir yang dikeluarkan Candramaya, cahaya kuning keemasan berbaur bersama simbol sihir yang mengguncang rantai. Dugaannya semakin terbukti saat dia melihat apa yang dimimpikan oleh Ayna.

Kekuatan laba-laba yang berada dalam diri Ayna adalah bagian dari laba-laba raksasa yang Candramaya segel dengan sihir di hutan.

"Kita kembali," kata Candramaya sembari membawa Ayna kembali masuk ke rumah.

Dia tidak menyangka akan menemukan Ayna sekaligus rahasia yang disembunyikan rumah itu sejak lama. Batu hitam dalam genggaman berkedip menanggapi. Penghalang itu persis seperti bentuk lonceng antik milik Ny. Amaranta yang seringkali digunakan untuk memanggil pelayan. Tanpa kecurigaan hari itu, Candramaya tidak akan pernah tahu bahwa lonceng antik itulah perangkat sihir yang mengendalikan jiwa laba-laba.

Candramaya kembali ke kamarnya dan membiarkan Ayna menghilang di dalam kegelapan. Seseorang mengetuk pintu dan menumpahkan minyak lilin saat masuk.

"Dari mana saja kamu?" Pelayan yang muncul langsung memulai perdebatan dengan Candramaya.

Saat itu juga dia menyadari hal yang tidak beres. Orang pada umumnya akan tercengang dengan aura raksasa di ruang kamar. Tapi tidak dengan pelayan di depannya yang langsung masuk dan menginterogasi. Seolah kegelapan adalah hal yang biasa bagi dia.

"Aku selalu di sini." Candramaya menjawab dengan datar, hendak melangkah keluar kamar.

Namun minyak yang ditumpahkan pelayan tadi menyala dan seketika membakar kakinya seakan mengaktifkan semacam kutukan.

"Siapa kau sebenarnya?"

Pertanyaan Candramaya dijawab dengan wajah pelayan yang berubah jadi ganas. Urat-urat di pelipisnya muncul dan dia menerjang ke arah Candramaya, mengangkat pisau perak yang dihujamkan ke arah jantung.

Candramaya menyebutkan mantra dan dengan sigap menghindar.

Meskipun pisau perak tidak dapat melukainya yang saat ini memiliki kekuatan sihir, dia tidak ingin merasakan sakit. Matanya yang menyipit memikirkan jalan keluar lantas melotot saat pelayan itu kembali menyerangnya dengan senyum cengir yang lebar.

"Malam ini, kau harus mati agar kamu bisa tenang!" Suaara yang dingin dan ketus itu sama dengan suara Nindi yang terus mengganggu dia beberapa waktu lalu.

Candramaya masih tidak memahami bagaimana arwah Nindi dapat terlepas dari jeratan mantera batu hitam dan terus-menerus muncul seolah menguji kekuatannya.

"Kegelapan," Candramaya memejamkan mata, melafalkan mantra dengan tenang, "datanglah padaku dan terseraplah!"

Batu hitam yang disembunyikan Candramaya seketika bercahaya dan arwah Nindi yang bersembunyi di dalam tubuh pelayan melayang keluar. Terjerat tanpa asa ke dalam batu hitam dengan jerit yang berdenging.

Gadis pelayan yang dirasukinya jatuh tidak sadarkan diri. Sehingga Candramaya harus membopong dan mengantarnya kembali ke kamar pelayan lain.

Saat mengangkat pelayan itu, Candramaya menemukan kunci kamar pelayan yang hanya dimiliki oleh Nyonya Amaranta dan memeriksa detailnya dengan curiga.

Simbol kebangsawanan di kunci itu persis seperti ukiran yang dia lihat pada lonceng antik. Cahaya batu hitam berputar seolah-olah memintanya bergegas.

Candramaya melirik pelayan yang bersandar di depan pintu, masih tidak sadarkan diri. Dia meninggalkannya dan mengikuti semburat sinar yang berpindah menyerupai cahaya, masuk ke dalam kamar Ny. Amaranta yang sedang berbaring nyenyak di ranjang.

Dengan segera, wujud Candramaya muncul di balik tirai dan membuka laci, membawa keluar lonceng antik yang diiritari rantai kecil.

Setelah melepas rantai-rantai itu, Candramaya melapalkan mantra untuk membatalkan kekuatan. Lonceng antik berdentang kencang hingga Amaranta membelalakkan mata dan segera beranjak, melotot ke arah Candramaya yang memegang lonceng dengan mata merah.

"Apa yang dilakukan pelayan rendahan di sini! Letakkan barangku dan keluar!" bentak Amaranta.

Dia bangun tanpa kesulitan seakan dia bukan wanita renta dan lemah yang selalu dia tunjukkan. Tetapi dia terlambat. Lonceng antik terbelah dua dan menjatuhkan sebuah batu hitam yang berputar-putar dalam lingkaran mantera, lalu kehilangan keajaibannya.

Candramaya menyimpan batu itu dengan cepat dan berdiri untuk menahan Amaranta yang menerjang ke arahnya.

"Pelayan terkutuk!" maki Amaranta sambil menghujamkan pisau dengan ukiran laba-laba pada gagangnya. Energi sihir gelap terpencar di ujung. "Kau harus mati!"

Saat jarak di antara mereka terbatas, sesosok arwah hitam terbang keluar dari lonceng yang terbelah dan merasuk ke dalam tubuh Amaranta.

Amaranta terjatuh ke tepi ranjang dan tertidur. Dari dinding di belakang Candramaya, Ayna keluar dan menunjukkan wujud laba-labanya.

"Apa yang terjadi dengan Nyonya?"

Ayna memperhatikan lonceng antik yang pecah dan menoleh kembali Amaranta yang terbaring. Dia berubah ke wujud anak kecil dan menarik sebagian tubuh Amaranta agar wanita itu dapat beristirahat dengan benar.

"Aku merasakan jiwa Alma beberapa saat yang lalu. Apakah lonceng itu yang menahannya selama ini?" tanya Ayna, meminta konfirmasi.

Tangan dinginnya menggenggam tangan Amaranta dengan penuh perhatian.

Candramaya mengangguk dan berujar, "Perangkap sihir yang memenjarakan telah hancur." Dia mengulurkan tangan dan sedikit binar ambisius terlibat di mata cokelatnya yang gelap. "Kamu dapat mengikutiku atau meninggalkan tempat ini."

Ayna bergeming. Itu adalah hal yang tidak pernah dia pikirkan sejak bekerja sebagai pelayan.

Tanpa melepaskan tangan Amaranta, dia menjawab, "Aku tidak dapat meninggalkan Alma sendirian."

Candramaya melangkah keluar. Setelah mendapatkan barang yang dicari oleh batu hitam, dia tahu bahwa janjinya dengan penunggu hutan telah terpenuhi.

Namun kondisi Amaranta saat ini tidak pasti. Dia tidak mungkin meninggalkannya begitu saja dan kembali ke Negeri Sihir seolah tidak ada apa pun yang terjadi.

Dia menghela napas dan melanjutkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Karena dari firasatnya, jiwa Ny. Amaranta tidak dapat bertahan lebih lama. Tubuh manusia memiliki waktu hidup yang lebih singkat dibanding para penyihir.

Cahaya lilin ditiup. Malam itu berlalu dengan Ayna yang tidak keluar sama sekali dari kamar Ny. Amaranta.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang