Chapter 15 - 1

3 3 0
                                    

"Ketika saturasi mencapai titik terendah. Maka cahaya sekecil apa pun. Walau bintang penyendiri maupun kunang-kunang malam akan menjadi alasan mengulurkan tangan."

Wanita berjubah kerajaan itu memijak anak tangga yang bersinar seiring pijakannya. Kegelapan dari menara pun menghilang sedikit demi sedikit. Bebatuan dinding saling memancarkan sinar rembulan yang menembus atap kaca menara. Sebelum sampai di puncak, dia berbalik dan menggenggam tangan kecil putrinya.

"Putriku, mulai saat ini, kamu akan dikenal sebagai Putri Candramaya. Kekuatanmu akan bergantung pada cahaya bulan. Oleh karena itu, jangan pernah sekalipun kamu berpaling dan menggunakan sihir gelap."

Peringatan itu menggema di pikiran Candramaya, menyadarkannya yang terbaring di atas kasur nan dingin. Orang di luar rumah mengumumkan bahwa besok malam, pernikahan akan diadakan. Dia beranjak dari tepi ranjang dan merasakan panas matahari yang menyusup dari rongga-rongga jendela. Satu hari dan dua malam berlalu dengan dirinya yang terkendali oleh sihir gelap.

"Perantara Jodoh," panggil seseorang dari depan pintu, "Ritual pemberkatan harus dilakukan sehari sebelum pernikahan. Namun karena masalah kemarin, Pak Heru tidak mengizinkan Calon Pengantin ditemui. Jadi Kepala Desa menyarankan agar pemberkatan cukup dilakukan pada perhiasan yang akan dikenakan Calon Pengantin."

Pintu rumah terbuka dan seorang wanita masuk dengan membawa kotak perhiasan, meletakkannya di depan Candramaya, memperhatikan gelagat wanita itu dengan tenang. Karena ritual pemberkatan dilakukan secara tertutup, wanita itu keluar dan membiarkan Candramaya yang sedang membetulkan dandanannya sendirian.

Jingga akan segera dinikahkan dan dia akan ikut dikubur setelahnya. Namun Candramaya sendiri tidak memiliki kekuatan sihir untuk melawan mantra dari penyihir gelap yang tampaknya telah mencapai tingkat ke empat. Tanpa pengguna sihir kelima, mustahil untuk mengalahkan Lana.

"Bagaimana caranya menggagalkan pernikahan." Candramaya bergumam bingung.

Dia memilah satu per satu perhiasan emas dan menelitinya dengan jelas di bawah cahaya yang tegas. Sebuah batu permata berkilauan dan langsung menarik perhatian Candramaya. Dia teringat lagi ucapan ibunya dulu.

"Sebagai seorang Putri, kamu tidak perlu menunjukkan kekuatanmu pada setiap penyihir. Mereka tidak akan berani menantangmu karena darah keturunan murni dalam dirimu berasal dari aku dan ayahmu yang menjadi Raja saat ini."

Candramaya mengeluarkan tusuk konde di antara perhiasan kepala yang paling tajam, menggoreskannya pada telapak tangan dengan cepat. Cairan merah menetes dari ujung tusuk konde. Beberapa tetes darah jatuh ke lantai yang segera hilang di bawah gelap bayangan. Candramaya meremas telapak tangannya di atas perhiasan sambil menggigit bibir. Tetes demi tetes jatuh mengenai perhiasan emas dalam kotak dan menghilang seakan terserap olehnya. Setelah dirasa cukup, Candramaya mengambil kain untuk membalut luka dan menyembunyikan tangan di balik tudung jingga.

"Penyihir gelap paling takut dengan darah dari keturunan langsung." Candramaya mengingat kalimat itu dalam hati.

Wanita yang menunggu di luar rumah pun masuk setelah meminta izin untuk mengambil perhiasan tanpa tahu apa yang baru saja dilakukan perantara jodoh. Dia membawa dan menyerahkan perhiasan itu kepada calon pengantin yang duduk diam di balik tirai peraduan, sedikit pun tidak memedulikan kehadirannya.

Sementara di tempat lain, gundukan tanah digali semakin tinggi. Beberapa batu bukit berjatuhan dari arah cahaya menembus. Lelaki itu meninggalkan cangkulnya dan menerobos lapisan tanah yang keras hingga jatuh. Akhirnya dia sampai pada jalan keluar dengan tangan gemetar. Sebuah mulut gua yang pernah dia lewati beberapa tahun lalu ketika seorang anak laki-laki seumurannya membawa dia keluar.

Willy menarik keluar kertas bergambar peta dari saku celana dan memaparkan di bawah cahaya. Goresan pena dan nama-nama tempat yang ditulis di atas kertas tidak jauh berbeda dengan peta yang dia gambar sepuluh tahun lalu. Dia mengambil gulungan tali, mengikatkan satu sisi pada pinggang dan bersiap melempar ujung lain ke puncak.

Pemberat di sisi lain jatuh. Sebuah batu yang terguling bersamanya hampir mengenai kaki Willy.

"Jangan bercanda!" berang Willy. Dia mengayunkan tali dan melempar ke atas sekali lagi sembari menyengir marah. "Baru dua hari sejak aku pergi ke luar kota. Kamu berjanji akan menunggu jawabanku. Bagaimana bisa aku biarkan kamu dijodohkan!"

Willy tahu dia tidak dapat memaksa jika perasaan Jingga telah berpaling darinya. Hanya untuk memastikan perasaan yang sebenarnya, dia rela kembali ke desa yang telah menjadi mimpi buruknya sejak lama.

"Kena juga kau!" seru Willy sambil menarik tali yang ujungnya terikat erat.

Dia mendaki dari tepi mulut gua ke dataran yang lebih tinggi. Ketika satu per satu ilusi menghilang, Willy menemukan hamparan hutan di bawah bukit bebatuan yang akrab. Menuruni jalan bebatuan yang sepi, menimbulkan kecurigaan yang tak terelakkan di mana sosok tak terduga muncul di hadapannya pada saat ini.

"Ibu?"

Willy mengikuti siluet wanita berkain jingga dengan langkah ringan seolah ia layangan yang digerakkan oleh angin.

Siluet wanita itu menari di sekitar sumur dan membelakangi Willy yang tak henti-hentinya mengejar, tanpa berani mendekati sumur yang memancarkan asap hitam. Angin meniupkan dedaunan dan hujan tiba-tiba turun dengan gerimis.

Willy dapat melihat lebih jelas siluet kain jingga di hadapannya dan segera tercengang.

"Kamu bukan ibuku!" geram Willy berteriak, "Siapa kamu!"

Candramaya menyingkap tabir wajah, mengarahkan telapak tangan ke arah sumur sambil menyebutkan mantera. Lalu mengalihkan tatapan kembali pada Willy yang tidak bergeming sedikit pun dari posisinya.

"Apalagi yang kamu tunggu," bisikannya menggema di antara bulir-bulir hujan yang sejuk.

Asap hitam dalam sumur terbang ke arah Willy, menunjukkan wujudnya yang duduk di pinggiran sumur dengan kaki terikat rantai besi dari bawah tanah.

"Putraku, kemarilah. Biarkan ibu melihatmu yang telah dewasa."

Willy melangkah mundur meski pikirannya berteriak bahwa dia harus maju. Wanita yang duduk di pinggiran sumur itu adalah Ibunya. Perantara jodoh yang dilemparkan hidup-hidup ke dalam sumur. Kematian yang penuh penyesalan membuatnya tidak dapat meninggalkan dunia, terperangkap di dunia ini sebagai arwah hitam.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang