Chapter 17 - 3

2 2 0
                                    

Belatik, ketua yayasan yang memiliki rasa hormat dari ketiga pelayan, tengah tertawa sembari menunjukkan kalung permata yang baru dibelinya kepada Ny. Amaranta. Sebaliknya, dia mendapatkan komentar bahwa desain permata itu tidak cocok untuk dikenakan dalam acara resmi.

Ketika Belatik ingin menunjukkan perhiaan lain, pandangannya beralih pada Candramaya yang mengantar makanan ringan ke atas meja.

"Oh, bukankah ini Jingga? Anak gadis desa seberang yang pulang menikah?" celetuk Belatik tiba-tiba.

Candramaya tak menyangka Belatik akan mengetahui tentang perjodohan itu.

Melihat sikap Candramaya yang diam, Belatik tanpa sungkan menebak, "Apakah perjodohan itu gagal? Baguslah. Akan sangat disayangkan jika pelayan sepertimu berhenti bekerja dan menetap di sana."

Jingga yang sebenarnya sedang dalam perjalanan ke ibukota kerajaan bersama Willy. Candramaya berpikir tidak akan ada masalah untuk sementara menggunakan identitas Jingga.

Memberi senyum tipis, Candramaya yang menggunakan nama Jingga, mengiyakan, "Nyonya benar."

Belatik kembali tertawa hingga menutupi wajahnya dengan kipas. Dia memandang Ny. Amaranta yang sedang menyicip makanan ringan. "Saya iri kepada Nyonya yang memiliki pelayan sebaik ini."

Nyonya Amaranta mengelap bibirnya perlahan setelah selesai makan. "Jika dia kembali bekerja di sini, aku dapat memulangkan beberapa pelayan."

Ucapan Nyonya Amaranta membuat ketiga pelayan lainnya saling melirik tajam.

"Jingga saja sudah cukup untuk membantuku," tambah Nyonya Amaranta, mengalihkan pandangannya ke Candramaya yang tampak gusar.

Suara yang didengar Candramaya semalam, terngiang di telinganya saat ruang tamu sepi.

"Penyihir. Kamu penyihir yang licik. Kamu harus mati bersamaku."

Candramaya melirik sekitar dan menyadari hanya dia seorang yang mendengar. Tetapi bisikan itu kian keras dan menulikan suara di sekitar. Setelah gangguan itu berhenti, Candramaya memandang Ny. Amaranta dengan linglung.

Belatik yang tidak menyetujui ucapan Ny. Amaranta, beranjak dan menyuruh ketiga pelayan itu untuk menemuinya di taman belakang. Candramaya mengikuti dengan penasaran, tetapi segera ditahan oleh Ny. Amaranta.

"Tahan rasa ingin tahumu. Seorang bangsawan tidak suka ada orang asing yang melihat saat mengajari pelayannya," jelasnya.

Candramaya tidak menduga bahwa ketua yayasan merupakan seorang bangsawan. Mereka jarang bertemu dan Siti jarang mengatakan hal tentang itu.

Setengah jam berlalu, Belatik kembali ke ruang tamu dengan ketiga pelayan dan pamit kepada Ny. Amaranta untuk pulang.

Sebelum pergi, Belatik menghampiri Candramaya dan berbisik, "Laporkan padaku jika mereka tidak bekerja dengan baik."

Kusir kereta beranjak setelah membantu Belatik naik, mengendari kereta meninggalkan halaman rumah Ny. Amaranta yang segera memutar kursi rodanya ke arah kamar.

Setelah keributan yang terjadi tadi siang, ketiga pelayan di rumah mulai bekerja dengan baik. Mereka tidak beradu maupun mengeluh. Sampai tiga hari berlalu, Candramaya masih memikirkan cara untuk memeriksa lorong rahasia di dapur.

Setiap malam, batu hitam bercahaya seolah memintanya untuk bergegas. Sementara suara arwah Nindi kadangkala muncul membayangi. Namun setiap kali Ayna mengejarnya, arwah Nindi akan menghilang.

Malam ini, suara bisikan itu terdengar lebih awal. Candramaya yang telah terlelap, bangun dan mengikuti sumber suara.

"Penyihir. Kamu adalah penyihir. Kamu harus mati demi ketenangan arwah kami."

Suara Nindi tidak berhenti sampai ditemukan berasal dari kamar pelayan lain yang terkunci. Candramaya membuka kunci pintu dan menemukan pelayan yang duduk di atas kasur, membelakangi cahaya lilin sehingga dia tampak sedang berbicara dengan bayangannya sendiri.

Bayangan pelayan itu tiba-tiba bergerak sendiri dan menyerang Candramaya yang menghindar.

Secepat yang dia bisa, Candramaya mengeluarkan batu hitam dan membacakan mantra sihir untuk melawan bayangan yang terus menyerang dan melukai pergelangan tangannya.

Darah Candramaya mengaliri batu hitam yang tiba-tiba bersinar, memunculkan heksagon dengan simbol rumit. Itu bukan lingkaran sihir seperti yang pernah Candramaya lihat. Di bawah keterkejutan bayangan yang semakin lincah menyerangnya, bayangan Candramaya meluas dan menyerap bayangan lawan.

Pelayan yang kehilangan bayangan pun jatuh tertidur dan tidak bergerak sama sekali.

"Penyihir keji. Kamu membunuhnya dengan sihir jahat."

Bisikan itu kembali terdengar tepat dari arah belakang. Terasa sangat dekat seolah ia telah menempel di punggungnya. Candramaya berbalik tanpa dapat menemukan apa pun. Rasa dingin merayapi punggungnya.

Dia mendekati ranjang untuk memeriksa pelayan yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Candramaya menyentuh pergelangan tangannya perlahan dan tidak merasakan denyut nadi. Pelayan di depannya tidak lagi bernapas setelah Candramaya menyerap bayangan pelayan itu.

"Apa yang telah kulakukan?" benak Candramaya tertegun.

Candramaya membacakan mantra sihir penyembuh yang menghilang bersama api lilin, angin dingin menerpa bersama aroma kayu cendana. Dalam gigil, dia mendengar langkah kaki datang dari depan pintu.

Belum sempat menoleh, makhluk yang beraroma cendana di belakang telah menarik tubuhnya ke belakang.

Dalam kegelapan yang dingin, penglihatan Candramaya memudar. Bayangan pelayan lain ditarik keluar bersamaan dengan kesadaran Candramaya.

Luka di pergelangan tangan Candramaya sembuh saat makhluk itu mengangkat tubuhnya melewati lorong di rumah Amaranta. Pelayan yang mendapatkan bayangannya kembali mulai bergerak dan tiba-tiba berteriak hingga membangunkan semua orang. Kecuali Candramaya yang terlelap di kamarnya dengan sosok pria berambut panjang berdiri di samping.

Ayna yang saat itu bersembunyi di kamar Candramaya, tak dapat melihat atau mendengar apa yang terjadi sehingga dia keluar, memperhatikan kehebohan yang dibuat pelayan di kamar lain.

Pada saat yang sama, Ny. Amaranta keluar dari kamar tidur utama dan tidak sengaja berpapasan dengan Ayna. Mata mereka bertemu, tetapi Amaranta bersikap seakan mereka tidak melihat satu sama lain. Rasa curiga seketika muncul di hati Ayna.

Selama ini, Ayna selalu menghindari Ny. Amaranta karena wujud laba-labanya yang mengerikan dikhawatirkan akan mengagetkan teman kecilnya. Sedang saat ini, Ayna telah berhasil menguasai kekuatannya dan mempertahankan wujud anak kecil.

"Amaranta. Dapatkah kamu melihatku?"

Pertanyaan Ayna hanya terucap di pikirannya. Tidak pernah disampaikan seolah dia tahu Amaranta yang saat ini memutar kursi rodanya tidak memedulikan dia.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang