Di ujung embusan angin yang kehilangan arah. Candramaya menghampiri pasangan orang tua calon mempelai laki-laki dan menyerahkan berisi bunga-bunga yang dia petik di sepanjang jalan bersama sekuntum kelopak putih. Mereka tidak dapat melihat kelopak putih seperti dugaannya.
Sehabis memeriksa bunga-bunga yang bermekaran dengan sempurna, istri kepala desa menyerahkan sekotak berat yang berisi perhiasan. Perhiasan-perhiasan itu juga diletakkan bersama kelopak-kelopak putih yang bermekaran.
Dengan senyuman yang disengaja, Candramaya mengomentari, "Putra kepala desa pasti sangat menyayangi calon istrinya hingga menyiapkan sendiri perhiasan-perhiasan ini.
Ucapan Candramaya sontak membuat keduanya pucat. Tanpa mengatakan apa pun, mereka melanjutkan ritual dan mengantar pergi perantara jodoh dengan sebuah gelang tangan.
Menjelang malam, Candramaya menghindari tempat yang pernah dilaluinya dan kembali ke perumahan dengan cemas. Berbagai perkiraan muncul dan pudar seperti riak kecil yang tak pernah jelas. Dia teringat pada kertas yang diberikan Rio dan menyapu setiap kata dengan penuh keheranan. Bertanya dalam hati tentang teka-teki yang ditulis sesingkat untaian kata.
"Celah di belakang perumahan ini. Ada bukit di tebing. Di jurang ada jalan. Cepat."
Tidak hanya tidak mengerti, Candramaya yang bingung dibuat kaget oleh batu hitam yang berguling keluar dari kotak dan bersinar. Kekuatan itu sekali lagi berusaha mengendalikan Candramaya dalam kemarahan untuk segera menemui calon mempelai. Dia teringat lagi pantangan bagi perantara jodoh untuk tidak menemui calon mempelai. Namun tidak tahu alasan di baliknya.
Setelah tarik-menarik yang cukup lama, Candramaya kehilangan kendali dan jatuh terduduk. Ketika menengadah pada cahaya bulan di atas papan kayu, mata cokelatnya kosong menyerupai mayat. Denting lonceng di gelang kaki berirama sama pada setiap langkah. Batu hitam di genggamannya bersinar menunjuk arah di mana sosok arwah seorang pemuda menggenggam seikat bunga kelopak putih. Berdiri pada penantian yang canggung.
Candramaya tidak mampu mengendalikan diri, hanya dapat bergeming mendengar apa yang arwah itu katakan.
"Asalkan menikahimu, Jingga akan tetap hidup."
Batu hitam bersinar terang hingga cahayanya membutakan pandangan. Sesosok pemuda dengan wajah lembut dan mata abu kehijauan muncul di hadapannya dalam balutan busana calon mempelai pria. Lelaki ini tidak salah lagi pastilah Aldo, putra kepala desa yang mereka yakini telah meninggal.
"Tidak mungkin!"
Candramaya terkesiap saat suara nan akrab melepaskan belenggu. Batu hitam dengan segera redup dan sebuah tangan yang dingin menariknya keluar dari ilusi kabut. Tidak ada yang tersisa ketika dia tersadar. Malam tidak menampilkan bulan dan tidak ada bukit seperti yang dikatakan Rio dalam suratnya.
Serunyam itu malam berlalu, mengejar pagi pada hari ke lima sebelum hari pernikahan.
Candramaya bersyukur makhluk kegelapan itu tidak memihak atau membiarkan hantu calon mempelai menikahinya demi menggagalkan pernikahan hantu.
Seperti menerima peringatan untuk bergegas, Candramaya menemui Jingga lebih awal dan menjalankan ritual. Ketika dia tiba, Jingga sedang berbaring di atas peraduan dengan tirai yang telah dirapikan. Perangkat sihir yang memblokir suara telah dihilangkan. Bahkan dari depan pintu, Candramaya dapat mendengar tawa gila calon pengantin.
Jingga mengabaikan langkah kaki Candramaya yang diiringi lonceng, perlahan menghampirinya. Dia menghentikan tawa,mulai berbaring dengan sesenggukan.
Candramaya meletakkan sekotak perhiasan emas, memperhatikan apa yang sedang dilakukan oleh Jingga dengan napas tertahan.
"Kau ... baik-baik saja?"
Sembari memberikan anggukan, Jingga beranjak dan menghentikan sandiwaranya. Dia mendekat pada Candramaya dan berbisik dengan suara kecil.
Candramaya mendengarkan dengan saksama dan akhirnya menghela napas lega. Sejak perangkap sihir dihilangkan, Jingga berusaha agar keluarganya mengira dia menjadi gila dan membatalkan pernikahan.
Tampak hal itu tidak dapat menggoyahkan niat ayahnya sama sekali. Justru saudara-saudarinya dipanggil untuk membetulkan dekorasi kamar pengantin dan membujuk Jingga agar meneruskan pernikahan. Keluarganya tidak percaya saat Jingga mengatakan tentang pernikahan hantu. Sehingga dia berusaha tampil kerasukan untuk meyakinkan mereka.
"Semalam aku memimpikannya. Dia bilang, asalkan aku dapat keluar dari desa ini, pernikahan dapat dibatalkan," ungkap Jingga berbisik.
Dia yang dimaksud Jingga sudah pasti calon mempelai pria. Kemarin hantu itu berusaha menyeretnya dengan kekuatan batu hitam dan masih sempat hadir di mimpi Jingga.
"Kemarin Rio memberikan sebuah surat," ujar Candramaya sambil menyerahkan selembar kertas kecil. "Dia bilang ada bukit di balik perumahan, tapi aku tidak dapat menemukannya sama sekali."
Jingga membaca kertas itu dengan cepat dan segera mengangguk paham. Dia mendongak, berbicara dengan perlahan saat melirik waspada ke arah pintu kamar yang tertutup.
"Rio berhasil menemukannya. Jalan keluar. Di balik perumahan, ada bukit yang hanya terlihat setelah hujan turun." Jingga menghitung dengan jemarinya. "Jika tidak salah, besok akan turun hujan. Bukit itu hanya dapat dimasuki saat kabut sekitarnya dibubarkan oleh hujan. Asalkan dapat pergi ke sana dan melewati jalan tebing, aku bisa meninggalkan desa ini tanpa diantar siapapun."
"Bagaimana rencanamu untuk meninggalkan desa?"
Pertanyaan Candramaya mendiamkan Jingga sesaat. Dia yang biasanya tampak energik menjadi lemah dan penuh keraguan.
"Aku tidak tahu. Semenjak teman-temanku menyadari bahwa ini pernikahan hantu, mereka takut terkena kutukan saat membantuku."
Pada akhirnya, bulir air di kelopak mata calon pengantin jatuh dan suara sesenggukan yang dia tahan tak lagi terdengar palsu. Keheningan menjadikan keputus-asaan lebih dari jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...