Siti menyelesaikan ceritanya dengan raut khawatir, sedangkan Candramaya justru tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Bagaimanapun, ia hampir menemukan seluruh petunjuk. Kesaksian dari mantan pelayan di sana yang tidak waras, tidak akan dapat memberikan dampak apa pun. Justru ia penasaran dengan kegelisahan yang tampak terpendam saat melihatnya. Seolah ada kesalahan yang telah Candramaya perbuat dan Siti sedang membantu terjadinya hal itu.
Saat kesenjangan itu berlalu, Siti terlebih dahulu membuka suara dan bertanya penuh keraguan.
"Jingga, bagaimana Nyonya Amaranta memperlakukanmu di sana?" Siti menyampirkan rambut sampingnya dengan gusar.
"Baik. Nyonya memperlakukan saya dengan cukup baik," jawab Candramaya yakin.
Jika mengabaikan hal-hal aneh di rumah yang lebih cocok disebut kastil, dia memang tidak diperlakukan dengan buruk.
"Apa kamu merindukan rumah?"
Pertanyaan Siti selanjutnya memberi Candramaya tanggapan yang tak terduga. Rumah adalah sebuah tempat yang paling tidak ingin Candramaya bicarakan. Biarpun ia mendapatkan kembali kekuatan sihir, ia masih terlalu ragu untuk menemui pria yang telah mematahkan hatinya itu.
"Lupakan saja. Tante hanya sembarangan bertanya." Siti mengalihkan pembicaraan. Ia menoleh pada jarum jam yang mendentingkan angka dua belas.
Candramaya menyadari bahwa ia harus segera kembali karena tidak ada lagi kereta kuda yang akan menurunkannya di tepi jalan. Ia harus berjalan kaki melewati hutan dan tiba sebelum malam mencekam.
Entah apa yang dipikirkan oleh Siti saat itu, dia memberikan Candramaya sekotak bekal yang berisi senjata tajam dan suar. Berbisik padanya jika ia menemukan hal atau ritual aneh yang dilakukan Prasetyo, dia harus menyalakan suar dan bersembunyi hingga bantuan datang.
Candramaya menerima barang-barang itu walau dalam benaknya muncul wajah Prasetyo yang menyebalkan sedang bersungut dan terus meminta masalah. Langkahnya diselimuti debu tanah saat ia keluar dari kota dan mulai memasuki jalan setapak hutan.
Kata rumah terngiang-ngiang diikuti rindu yang seakan bisa menarik keluar perasaannya kapan saja.
Belum jauh ia masuk ke hutan, pemandangan yang dia abaikan sudah berada di depan mata. Matahari pukul dua belas begitu terang benderang. Tetapi kabut terpisah dari tempatnya berdiri sekarang. Candramaya memikirkan rute yang diambil Prasetyo saat mereka datang dan mengambil arah yang diinstruksikan pada kusir kuda.
Pilihannya tidak salah. Dia menghindar, berlari dengan cepat saat sesuatu yang besar dan abu keluar dari dalam kabut, menampakkan seekor laba-laba raksasa dengan corak bulu putih yang tingginya dapat menyaingi pohon.
Candramaya tidak dapat melihat rupa secara keseluruhan bahkan dari posisi berdiri yang cukup jauh. Laba-laba raksasa itu tidak mengejarnya. Justru berbalik dan kembali ke dalam kabut seolah kabut itulah batasannya untuk bergerak.
Namun laba-laba itu bukan wujud lain dari Ayna yang juga siluman laba-laba di rumah Ny. Amaranta. Justru raksasa ini tampak lebih kuat hingga persembunyiannya bagai menjaga keteraturan alam manusia.
Angin sedang menyiasati pepohonan agar uluran cabangnya dapat menutupi rembulan dari pandangan Candramaya. Setelah berjalan cukup lama, ia akhirnya tiba saat matahari telah tergantikan.
Bukan langit yang dipercantik rasi bintang, melainkan awan-awan hitam menyelimuti dan berjalan bersama menuju atas gedung yang bisu. Berkumpul di perhentian Candramaya yang sedang mendorong kedua sisi pintu. Kilat menyambar di belakang Candramaya, menciptakan fatamorgana klise yang mengisyaratkan datangnya badai.
Bulan di sisinya hanya diam menatapi, menunggu seseorang memperbuat hal yang menarik di dalam dunia penuh kebosanan dan terus berulang. Tanpa menutup kembali pintu, Candramaya masuk ke ruang makan.
Nyonya Amaranta tengah termenung di atas kursi rodanya saat Candramaya mendekat, menyadari wanita tua itu telah berdiam cukup lama. Dengan lembut ditepuknya lengan orang tua itu pelan hingga Nyonya Amaranta menoleh.
Amaranta tidak tampak terkejut dengan kehadiran Candramaya atau mempertanyakan keterlambatannya. Dia hanya mengangguk dan membiarkan Candramaya bergeser agar ia dapat melihat keluar.
"Segera siapkan makan malam untukku," pinta Nyonya Amaranta, masih melihat ke luar seakan tengah menanti seseorang.
Candramaya menyanggupi dan mulai menyiapkan makanan dari bahan di lemari. Bahan yang jumlahnya masih sama seperti tadi pagi, membuat ia penasaran akan apa yang dimakan oleh Ny. Amaranta ketika dia sendirian hari ini. Apabila wanita yang tampak tak berdaya selain mampu mendorong kursi rodanya sendiri dapat menyiapkan makanan tanpa bahan yang dipersiapkan, keberadaan Candramaya sebagai pelayan di sana mungkin tak terlalu diperlukan.
"Nyonya, apa yang Anda makan tadi siang?" tanya Candramaya dengan sudut bibir tersungging.
"Apa?" ujar Nyonya Amaranta tak tertuga. Dia menatap serius ke arah Candramaya yang sedang menata piring. "Bukankah kamu yang menyiapkan makan siang tadi?"
Nyonya Amaranta menunjuk dengan ragu. Ia sendiri pun tak melihat betul siluet pelayan yang siang ini menyiapkan makanan untuknya. Begitu ia tiba di ruang makan, makanan sudah tersedia di atas meja dan pelayan itu sibuk berberes di dapur.
"Begitukah? Saya lupa apa yang saya siapkan karena terburu-buru." Candramaya mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin mencetuskan apa yang sedang dia pikirkan dan menakuti seseorang sampai mati.
Sementara Ny. Amaranta masih menikmati makan malam dan Candramaya berdiri di samping kursinya hingga selesai, ia tak berhenti memperhatikan gerak-gerik di dapur. Seekor laba-laba yang tak diam sejak dia kembali ke rumah itu.
"Aku sudah selesai. Tolong dorong aku kembali ke kamar sebelum kamu membereskan meja makan." Nyonya Amaranta menginstruksikan.
Tetapi Candramaya tampak sedang terfokus pada pekerjaannya untuk membersihkan meja hingga mengabaikan permintaan itu. Dia tak tahu betapa inginnya Candramaya menguak rahasia Ny. Amaranta saat dia menemukan kedua pintu utama yang terbuka lebar. Membawa kembali trauma ketika dia kehilangan seluruh keluarga seperti yang tertulis. Di mana orang-orang bergegas masuk dan mengawali kejatuhan keluarga Amarilis.
Nyonya Amaranta merasa tak diindahkan. Ia mulai mendorong kursi rodanya sendiri keluar dari ruang makan yang terhubung langsung ke ruangan utama, di mana lukisan-lukisan yang tersisa terpajang di sana.
Candramaya masih acuh tak acuh setelah Ny. Amaranta keluar. Namun suara bantingan menghentikan pekerjaannya dan sontak berlari. Apa yang dia lihat telah berada di luar dugaan.
Nyonya Amaranta mencekik lehernya sendiri dan menunjuk ke arah pintu yang terbuka lebar dengan mata melotot, berteriak memanggil para pelayan untuk menutup pintu itu sesegera mungkin.
Candramaya bergegas menutup pintu dan kembali ke sisi Ny. Amaranta yang masih terengah-engah karena tindakannya. Itu adalah pertama kali bagi Candramaya menyaksikan seseorang ketakutan hingga tanpa sengaja akan membunuh dirinya sendiri.
Kejadian itu seperti peringatan bagi Candramaya agar ia tak bertindak gegabah di kemudian hari. Jawaban bagi pertanyaannya tidak bisa didapatkan semudah membalik telapak tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...