Chapter 24 - 1

4 2 0
                                    

Seorang wanita dengan gaun hitam panjang dan selembar kain yang menutupi rambutnya menoleh.

Wanita itu tersenyum dan memperlihatkan wajahnya yang memesona bak dewi.

Rambut hitam terulur seperti tirai langit malam. Sepasang mata bagai manik-manik hitam yang menangkap titik cahaya. Kulit yang putih pucat menjadikan dia bak boneka porselen yang tidak mungkin dianggap makhluk alam fana.

Namun sunggingan tipis di bibir wanita itu justru mengirim aura mengerikan yang mengintimidasi inti sihir Dares.

Jika wanita itu dapat muncul di sampingnya tanpa tanda apa pun, maka Dares bisa saja terbunuh meski hanya dalam ilusi mimpi.

"Apa maksudmu tentang Negeri Sihir?" Dares menebak bahwa wanita itu sedang bercanda.

Bagaimana bisa deretan bukit-bukit tinggi dan barisan pepohonan di Negeri Sihir pada saat ini. Dahulunya adalah hamparan sawah yang amat sangat luas. Bagaimana mungkin area yang menenangkan mata ini lenyap dari Negeri Sihir dan berubah seolah bukit-bukit itu didatangkan begitu saja.

Wanita itu tak mengacuhkan Dares. Kembali memperhatikan tanaman sejenis padi yang melambai ditiup angin.

"Anggas yang bodoh. Ketakpercayaanmu terukir jelas di paras, masih berani bertingkah heran," sarkas Wanita itu tanpa ekspresi, seolah bukan dia yang mengucapkannya.

Dares tertegun dan kembali merenung. Jika wanita itu bahkan menyebutnya anggas, tidakkah dia harus memanggilnya nenek leluhur.

"Angin di sini kian lama kian lambat. Bilamana wajah dunia berganti cepat."

Ungkapan rancu wanita itu membuat Dares mendekat, hendak mengetahui lebih jelas.

"Apakah Anda mengenal orang tua saya?"

Wanita cantik itu melirik sebentar dan tertawa pelan.

"Apa-apaan ini? Kerinduan kepada orang tua yang bahkan tidak kamu ingat? Ataukah rasa adil untuk memiliki latar belakang yang sempurna?" Wanita itu beranjak, lalu memetik butir-butir tanaman sambil berucap, "Rupanya benar tragedi tak terhindarkan. Kasih sayang orang tuamu melindungi nyawamu, kasih sayang yang lain membawa kembali sebagian dirimu. Sudah dua pengorbanan besar yang dilakukan hanya untukmu. Sungguh bayaran yang sangat mahal demi keadilan kaumku."

Dares berkedip beberapa kali, memperhatikan tutur kata wanita di depannya dengan hati-hati.

Belum sempat Dares bertanya, wanita itu mengambil segenggam biji-bijian dan melempar ke arah Dares.

Sebuah lingkaran sihir dengan simbol aneh berpola rumit muncul, berputaran. Setiap tulisannya bersinar dan meredup berulang kali seolah goresan-goresan itu hidup. Saat simbol-simbol tak serupa bersinar bersamaan, lingkaran mantra berhenti berputar.

Kekuatan terpaan angin yang nyata menyedot Dares masuk dalam lingkaran, memenjarakannya. Dia terasingkan dari hamparan sawah yang tenang.

"Demi keadilan kaumku. Kamu tidak boleh sampai jatuh ...."

Suara itu menghilang bersama lingkaran sihir yang bersinar terang seketika. Dares bangkit dari kursi, hampir menabrak meja kerjanya, mencari tumpuan untuk berdiri.

"Aku pasti sudah gila!"

Dares tidak sabar untuk meninggalkan ruang kerja. Kembali ke pelatihan prajurit setelah meraih senjatanya yang digenggamnya erat.

Dia melangkah keluar, bersiap menutup pintu ketika suara halus terngiang di telinga.

"Keturunan kaumku."

Paras Dares memucat. Dia tidak tahu bagaimana suara itu terlalu nyata hingga terbayang-bayang di realita.

Usai menenangkan pikiran dengan seember air dingin, Dares melompat ke atas kuda, bersiap untuk berangkat dalam satu tarikan napas.

Namun di tengah perjalanan menuju istana, dia menyadari beberapa prajurit diam-diam berteleportasi keluar dari gerbang.

Tanpa bertanya pun, dia tahu apa yang sedang terjadi. Kejadian yang telah diprediksi olehnya. Terbaca seperti cahaya bulan yang lambat laun sirna di bawah kuasa kegelapan.

Awan mendung menghalangi bintang-bintang yang memperhatikan dengan tenang. Percikan lingkaran sihir memudar, menyisakan cahaya yang lekang oleh waktu. Pernah indah serta berharga sampai ia menghilang saat fajar menyingsing, jauh dalam rotasi.

Di bawah langit berbintang. Menara sihir bergemelap dalam dominasi kemegahan malam.

Prajurit yang berjaga dari kejauhan, menatap redup-hidup cahaya sihir dalam perisai menara dengan batin terpukau.

Kekuatan perisai yang ditinggalkan para penguasa negeri sihir di masa lalu sungguh amat menakjubkan. Tanpanya, para prajurit di sana tidak mungkin mampu menahan efek serangan sihir pertarungan yang sedang terjadi di aula menara sihir.

Pada tengah aula yang membentuk lingkaran dengan simbol-simbol sihir perbintangan. Peramal Istana yang bertumpu dengan tongkat sihir tumbang, terjerembab lelah setelah melakukan perlawanan yang sengit dengan prajurit rahasia raja.

"Berhentilah memberontak dan akui kesalahanmu, Peramal Istana!" tuntut wanita tinggi yang melangkah keluar dari balik lemari.

Peramal Istana yang merasakan keakraban dari suaranya pun sontak menoleh dan terkejut.

Menteri Perang berdiri di hadapannya, mempertahankan wajah dingin seolah
sang Peramal Istana bukanlah siapa-siapa selain penjahat yang harus ditangkapnya.

"Kesalahan apa yang aku perbuat! Aku tidak melakukan perbuatan buruk apa pun!" bantah Peramal Istana berteriak.

Energi sihir yang tersisa hilang dalam luapan amarah. Dia terbatuk-batuk, memuntahkan darah sebelum kesadarannya hilang.

Salasika membacakan mantra sihir dengan sisa energinya. Sebuah lingkaran sihir diagram muncul dan bersinar, meluas serta melingkupi mereka.

Saat cahaya tak lagi tampak dari luar menara, para prajurit yang bertugas mengawasi pun pergi dengan batu teleportasi. Tidak terkecuali prajurit yang telah lama menantikan kejatuhan sang Peramal.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang