Petir menyambar dari balik gemawan temaram yang memperhatikan celah dari dalam ruang gelap. Sepasang tangan mengatup kedua mata Candramaya dan menariknya jatuh. Harum cendana menguat dari helaian rambut yang menggelitik wajah.
Candramaya tidak punya kekuatan untuk melawan, terus meracau karena amarah yang tak terbendung, rasa sakit di pergelangan kaki beserta keputusasaan membuatnya tidak dapat mengendalikan diri.
Ketika dekapan di wajahnya melonggar, Candramaya mendengar sekilas mantra yang diucapkan oleh makhluk yang menahannya.
Sedetik demi detik, kekuatan sihir Candramaya pulih. Dia dengan rabun melihat sekitar, mengelap air mata dan turun dari kasur. Seseorang di belakangnya menghilang bersama jejak teleportasi yang meninggalkan aroma kayu.
Candramaya menyalakan lilin, mengecek luka di kaki kiri yang tak lagi terasa, sembuh secara ajaib. Pada pergelangan, bertambah tanda ranting yang melingkari kakinya beserta tubuh laba-laba. Tanpa dia ketahui, sebuah simbol penyihir yang berada di belakang lehernya telah kembali. Muncul bersama tanda sihir gelap yang saling terikat.
Malam itu dibiarkannya berlalu seperti mimpi buruk yang membawa berkah dalam hidupnya.
Dengan kembalinya kekuatan sihir, Candramaya dapat kembali ke negeri sihir. Tetapi dia masih memiliki satu janji dengan penunggu hutan. Dia mengeluarkan batu hitam, membacakan mantra untuk mengalirkan sihir.
Cahaya batu hitam menunjuk ke arah kamar Nyonya Amaranta yang masih beristirahat. Lonceng antik berbunyi dalam kamarnya dan Ny. Amaranta terbangun dengan mata terbelalak.
Sesudahnya, Candramaya mendengar panggilan dari pelayan lain bahwa Belatik datang berkunjung di awal pagi.
Pelayan itu menghampiri Candramaya yang sedang menyalakan lilin di kamar pelayan.
"Kami tidak dapat membangunkan Nyonya," ucap salah satu pelayan tergesa-gesa.
Dia berulang kali melirik ke luar, meminta dengan isyarat agar Candramaya membantu karena pelayan tidak diizinkan masuk ke kamar tidur nyonya sebelum mendapat jawaban.
Selagi mereka mencoba mengetuk pintu kamar Nyonya Amaranta, kedua pelayan lainnya sedang berdiri luar, menyambut Belatik turun dari kereta kuda dibantu oleh kusir.
"Di mana Nyonya?"
Suara tajam Belatik terdengar hingga ke depan kamar Ny. Amaranta di mana Candramaya sedang mengetuk pintu.
Keduanya segera keluar dan menyambut kedatangan Belatik yang sedang duduk dengan tidak sabar di ruang tamu.
"Jawab, Nyonya. Nyonya Amaranta masih terlelap di kamarnya. Kami sudah mengetuk pintu untuk membangunkan beliau. Tetapi tidak ada jawaban dari dalam."
Belatik berdiri dengan marah, melayangkan tamparan keras pada pelayan yang baru saja menjawabnya. Kusir kuda yang turut berjaga di samping Belatik segera mengeluarkan sapu tangan dan menawarkannya tanpa berucap kata. Belatik meraih sapu tangan itu dan menghalau para pelayan minggir sebelum dia berjalan melewati mereka.
Candramaya tidak berpikir untuk mengikutinya. Namun sebersit cahaya memercik dan menarik perhatian. Jejak sihir menampakkan diri di arah Belatik tertuju. Dia akan menyusul Belatik saat kusir menyadari hal itu dan bergerak menghalangi.
"Berhenti! Apa yang mau kau lakukan?" Kusir memberi tatapan tajam.
Telapak tangannya kasar. Beberapa bekas luka di bahunya tersembunyi dengan baik. Tanpa melihat dari jarak dekat, Candramaya tidak akan dapat mengendus aroma darah dari tangan kusir. Mata keduanya beradu dengan rahasia yang tidak terbaca lawan bicara.
"Saya akan ke dapur dan menyiapkan makanan ringan," pamit Candramaya, melangkah pergi.
Di dapur yang sepi, Candramaya membacakan mantra sihirnya yang unik. Dalam sekejap, dia menghilang dari dapur dan berpindah ke kamar Nyonya Amaranta tanpa disadari keberadaannya.
Dalam kamar nan remang, Amaranta duduk di sandaran ranjang. Tampak mengantuk dan lebih lemah. Anehnya, Belatik yang biasanya sangat sopan justru duduk di tepi ranjang dan membelai kepala Amaranta dengan lembut, menurunkan nada bicaranya yang tegas dan dingin.
"Tenanglah, Alma. Ini Tante Bel," bisik Belatik, memanggil nama kecil Amaranta dengan penuh perhatian.
Amaranta menoleh, menunjukkan wajah sedih dan bingung. Seolah tahu Belatik bukan anggota keluarganya.
Pada menit berikutnya, dia menepis tangan Belatik dan menatapnya tajam. Pembawaan tegas dan elegannya tidak terhalang oleh tubuh tua renta. Baru pada saat itulah Belatik beranjak dengan tergesa dan memberi hormat ala bangsawan.
"Nyonya, Anda telah pulih," ungkap Belatik.
"Hentikan omong kosongmu."
Nyonya Amaranta mencari lonceng antiknya di atas meja, menarik rantai kecil yang mengikat lonceng hingga putus. Lonceng antik di guncang hingga tiga kali, lantas digenggamnya erat dan mengaitkan kembali dengan rantai besi yang baru.
Belatik menunggu dengan sabar sampai Ny. Amaranta memintanya memapah dia ke atas kursi roda.
Ketika mendorong kursi roda ke pintu kamar, Belatik dihentikan oleh Amaranta yang melirik ke belakang.
"Tunggu sebentar."
Candramaya terkejut dengan reaksi Amaranta, mengira dirinya yang berada dalam cakupan sihir telah ketahuan.
Namun Amaranta tidak menyadari keberadaannya. Dia menunjuk ke atas lemari kecil. Kacamata bifokalnya bertengger di sana dan telah mendingin oleh embusan angin semalaman.
"Bawa itu bersamamu saat kembali ke kota untuk diperbaiki," pinta Nyonya Amaranta.
Belatik mengangguk paham. Candramaya mundur dan memberinya ruang bagi Belatik yang mendekat, mengambil serta menyimpan kacamata itu dalam kotak sebelum membawanya keluar bersama Nyonya Amaranta.
"Saya akan meminta pengrajin untuk menggunakan bahan yang lebih baik."
Pintu kamar ditutup dengan rapat setelah keduanya berlalu. Candramaya melangkah keluar dari lingkup sihir dan mendekati lonceng antik yang dirantai Ny. Amaranta di dalam lagi. Awalnya lonceng itu tampak seperti hiasan yang cukup cantik dan unik. Ia memiliki goresan emas dan perak pada ukirannya. Beberapa huruf yang bertuliskan Amaranta juga tercetak di sana seolah menandai kepemilikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...