Apati menjerat
Derap hati pengamat
Mengintai dekat~'*'*'*'~
Candramaya maju dengan cepat, menarik pegangan pintu untuk menemukan kegelapan di sana. Niat buruk terasa dari kejauhan bersama rasa hampa saat ia lupa akan ketiadaan sihirnya.
"Bertingkahlah sebagai pelayan. Jangan seperti tamu," peringat Nyonya Amaranta, mulai resah dengan sikap Candramaya yang tak bisa diam. Belum pernah sekali pun bertemu orang yang tidak tahu sopan santun seperti gadis satu itu.
Setelah diomeli, Candramaya tak berhenti. Ia tersenyum lirih dan mengelus bingkai lukisan yang tersembunyi di sudut ruang. Setengah bagian menunjukkan paras gadis kecil yang memakai gaun mewah, duduk di ayunan yang dihiasi bunga-bunga merah muda. Sedangkan bagian lukisan yang tak terjamah lilin, hanya terlihat gaun putih nan sederhana, anak gadis yang berdiri di samping, memegang tali ayunan. Wajahnya tertutup bayangan.
Satu hal yang membuat Candramaya tergelitik adalah lilin di sebelah sana terpasang dengan utuh. Namun tak lagi dinyalakan entah sejak kapan.
Tahu bahwa Ny. Amaranta akan bersikeras menghentikannya, Candramaya tak jadi menyalakan lilin yang terkubur debu. Dia berbalik menghampiri wanita tua dengan keriput di ujung mata yang memberi peringatan tanpa daya untuk beranjak. Keputusasaan tercetak jelas bagi Candramaya. Namun Amaranta berhasil menyembunyikannya rapat-rapat untuk suatu alasan.
Kabarnya, wali kota yang sekarang menjabat di ibu kota adalah kerabat jauh dari Ny. Amaranta. Itu sebabnya wanita tua yang kehilangan keluarga dan menetap sendirian di tepi kota, masih bisa hidup dengan kepercayaan diri yang kuat.
"Pergilah ke kamarmu. Kamu akan dipanggil saat dibutuhkan," tunjuk Nyonya Amaranta ke sebuah pintu tercat hitam.
Di sana tidak ada satu pun penerangan. Namun tak menciutkan keberanian Candramaya untuk melangkah masuk. Kegelapan di kamar itu tak seperti tempat yang layak ditempati. Dia yang seharusnya takut justru menutup rapat pintu dan menguncinya, menahan siapa pun yang di luar sana untuk ikut campur. Candramaya beranjak dan duduk di sandaran kasur, mengabaikan bisikan serta gerak-gerik yang kian bersahutan, mengintimidasi dengan mata-mata merah di balik selimut kengerian.
Belum sempat Candramaya mengatupkan kedua mata, makhluk raksasa berkaki delapan melompat dan melingkupi, memenjarakan mangsanya dengan kuku tajam serta kaki yang berbulu bagai duri. Candramaya mengalihkan pandangannya ke atas, menatap langsung mata tarantula yang bersinar di antara arwah-arwah hitam di dalam kamar yang mencoba berkomunikasi.
"Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan bisa membuatku meninggalkan tempat ini," tentang Candramaya, memamerkan senyum tipis.
Tarantula itu mundur. Namun tak sedikit pun berpikir untuk menyerah. Dengan ketajaman panca indera yang dimilikinya, ia menyadari suara Ny. Amaranta di luar kamar.
Candramaya memperhatikan gerak-gerik tarantula yang begitu hormat kepada Nyonya dengan cermat. Ketika panggilan bel dari Ny. Amaranta terdengar, gadis itu pun beranjak dari kasur dan melangkah keluar kamar.
"Ada yang perlu saya lakukan, Nyonya?" tanya Candramaya.
Nyonya Amaranta menoleh sejenak, lantas menyerahkan beberapa lembar uang dengan tangan kanan yang lemah dan pucat.
Menyaksikan ketidakberdayaan Ny. Amaranta, Candramaya tertegun. Manusia yang lemah seperti ini, bagaimana bisa menyakiti para penyihir.
Dalam pikiran, muncul keraguan bahwa ia mungkin telah datang ke tempat yang salah. Rumah itu tidak memiliki apa yang ingin dia temukan kecuali tarantula di dalam kamar.
"Ambil uang ini dan belikan aku masakan di restoran dalam ibu kota!" perintah Ny. Amaranta.
Candramaya sontak menarik rambut dan menggulungnya ke atas, memamerkan leher putih tanpa tanda apa pun.
"Maaf, Nyonya. Jarak dari rumah Nyonya ke dalam kota memerlukan waktu berjam-jam. Selain itu, saya juga pendatang baru dari desa lain. Tidak begitu fasih dengan kawasan sekitar," ujar Candramaya berbohong. Sekalipun tanpa sihir, dia tahu dia tidak akan salah arah. Ada sebuah petunjuk yang mengharuskannya tetap di sana malam ini.
Nyonya Amaranta memandang tak suka. Ketika dia hendak membuka suara untuk mengomeli Candramaya, seseorang mengetuk pintu di luar.
"Pergi lihat siapa yang datang," tunjuk Amaranta.
Seseorang yang tidak asing muncul di belakang pintu, membawa kotak besar dengan aroma besi berkarat nan menyeruak. Candramaya mundur untuk memberikan jalan bagi Bapak Wali Kota dalam setelan kasual.
Dari balik kacamata, Prasetyo yang menjabat sebagai wali kota, memelototi Candramaya yang tak segera memberikan hormat untuk tamu sebagaimana aturan rumah yang berlaku.
"Di mana Nyonya?" tanya Prasetyo.
Dengan santai, Candramaya menunjuk ke arah dapur di mana Amaranta melamun di kursi roda. Saat Prasetyo menghampiri, ia memberikan salam bak menghormati bangsawan dengan cara yang sudah lama tak digunakan. Tampak bagi Candramaya bila Ny. Amaranta sulit melepaskan identitas sebagai seorang bangsawan.
Mereka berbincang lama di dapur hingga Prasetyo keluar lagi untuk membeli bahan makanan, memanggil pelayan yang ikut bersamanya untuk menyiapkan makanan bagi Ny. Amaranta. Sedangkan Candramaya diminta untuk kembali ke kamar sampai ada yang memanggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...