Sepanjang perjalanan kembali ke kota, wanita itu menjelaskan bahwa dia bekerja di sebuah yayasan penyedia pelayan bagi orang-orang kota yang membutuhkan. Sedangkan Candramaya dikira sebagai anak saudara sepupunya yang menetap di desa sebelah.Kecantikan Candramaya yang terpancar membuat wanita itu semakin yakin dengan kabar bahwa orang-orang di desa pedalaman itu cantik dan menarik. Banyak lelaki di kota yang tertarik dan hendak menikahi gadis di desa sana. Namun tidak ada satu pun yang direstui, bahkan kerap dilarang keras oleh orang tua mereka.
"Mari ikuti Tante." Wanita itu menunjuk arah.
Sesampainya di yayasan, seseorang terburu-buru menghampiri mereka dan diikuti seorang pria yang berpakaian rapi.
"Bu Siti, ada tamu khusus yang datang mencari Ibu," ujar Pemuda itu pada wanita di samping Candramaya.
Sebagai pekerja yang sudah lama berada di yayasan itu, Siti langsung mengenali tamu yang tak lain adalah wali kota mereka.
"Selamat pagi, Pak Prasetyo. Adakah yang bisa saya bantu?" ucap Siti memulai obrolan.
Namun wali kota bernama Prasetyo itu tampaknya tak ingin mengungkapkan tujuan di tempat terbuka. Dia berulang kali melirik ke arah gedung yayasan dan kadang kala menatap Candramaya dengan tatapan tak sedap.
Siti segera mengerti dan meminta pemuda yang menghampirinya untuk mengantar Candramaya ke kamar ganti, menginstruksikan bahwa dia akan bekerja di sini.
"Mari bicara di dalam, Pak," ajak Siti.
Prasetyo mengikuti arah perginya Siti sembari memandangi Candramaya yang berlawanan arah. Sesaat ia terkesiap karena Candramaya membalas tatapannya dan hal itu diketahui oleh Siti.
Di dalam kamar ganti, pemuda itu menatap Candramaya dingin. Memberi tahu Candramaya bahwa dia tidak seharusnya bekerja di sini. Tetapi ucapannya justru dibalas dengan senyuman oleh Candramaya. Bahkan menanggapi ucapannya dengan tenang.
"Tujuanku memang benar kemari," kata Candramaya.
Saat mengatakan hal itu, perasaan takut tiba-tiba menggelayati dan mengusirnya pergi. Dia terburu-buru meninggalkan kamar ganti hingga hampir menabrak Prasetyo yang juga melewati koridor.
"Ma-maaf, Pak."
Raut wajah Prasetyo yang masam, seketika berubah menjadi sebuah senyuman dalam sekejap. "Tidak apa-apa. Lain kali berhati-hatilah," ucapnya sopan.
Pemuda itu mengagumi sosok Prasetyo yang penuh wibawa tanpa tahu bagaimana pribadi lelaki yang sebenarnya arogan dan keras kepala. Dia sangat enggan merendahkan dirinya dan datang sendiri ke yayasan hanya untuk mencari pelayan. Terbukti dari ucapannya di ruang tunggu yang membuat Siti terduduk.
Sementara itu, Candramaya telah usai membersihkan diri dan mengganti seragam. Ketika dia melangkah keluar, semua orang di sana tertegun. Pakaian sederhana yang dikenakan Candramaya seakan tak cocok untuk bersanding dengan aura seorang Putri.
Ada yang berdecak kagum, ada pula yang memandang iri. Mereka hendak menghampiri Candramaya ketika kedatangan Siti menghentikan niat buruk itu.
"Ibu ada pemberitahuan untuk kalian," ujar Siti ragu. Ia melirik Candramaya dan memintanya pergi mengambil segelas air putih. Lalu melanjutkan perkataannya setelah Candramaya pergi. "Ibu mendapat permintaan dari rumah di tepian kota. Makan dan tempat tinggal ditanggung. Kira-kira ada berapa orang yang mau bekerja di sana?"
Para pekerja di sana terdiam. Mereka tahu rumah yang dimaksud adalah tempat yang menyimpan banyak misteri itu. Tidak ada satu pun yang mau pergi ke sana. Rumah itu terlalu menyeramkan bagi mereka yang tinggal di kota dan seringkali mendengarkan desas-desus.
"Bapak Wali Kota berkata akan memberikan upah dua kali lipat jika ada yang mau ke sana," bujuk Siti.
Prasetyo memang mengatakan akan memberi imbalan lebih, bahkan tiga kali lipat. Hanya saja, Siti tidak mengharapkan ada yang pergi ke sana lagi walau dia tidak berdaya menolak permintaan dari Wali Kota.
"Saya mau, Bu," ucap Candramaya yang muncul dari arah belakang, meletakkan nampan untuk Siti.
Siti terkejut, berbalik membawa raut khawatir. "Kamu yakin mau ke sana? Kamu baru datang ke kota hari ini."
Candramaya mengangguk, menegaskan keinginannya yang tak direlakan oleh Siti. Namun Siti terpaksa menyetujui permintaan Prasetyo dan meminta agar Candramaya bersiap. Siang ini juga, mereka akan berangkat agar dapat tiba di sana sebelum malam.
Waktu berlari secepat kereta kuda, menurunkan mereka di tanah lapang.
Ketika menengadah ke hamparan langit, bulan terang bersembunyi di sudut bibir awan temaram. Cakrawala memaparkan eleganitas berlatar hitam. Bintang sepi berkelap-kelip menyendiri.
Sebuah rumah megah bergaya klasik, terpampang dengan lilin penerang yang kesepian. Tak ada bola lampu ternyala meski listrik menjadi hal yang lumrah di tepi kota.
"Nyonya, ini pelayan baru yang akan bekerja di sini. Namanya Jingga," ucap Siti setengah bimbang atas keputusannya.
Demi mempertahankan yayasan penyedia tenaga kerja di ibu kota, mau tak mau harus menerima permintaan dari seorang Nyonya yang konon keturunan bangsawan. Nyonya yang dimaksud ialah wanita lanjut usia di atas kursi roda. Beliau memperhatikan dengan seksama pada gadis yang mengangguk kepadanya dan tersenyum sopan. Sekalipun sepasang mata itu buram tanpa lensa bifokal, dia yakin akan keanehan dari Candramaya.
Tanpa menyetujui atau menolak, beberapa uang kertas langsung diserahkan kepada Siti, menandakan persetujuan sekaligus mengakhiri kesepakatan tanpa kertas.
Sebelum pergi, Siti menoleh sekilas, menelan keraguan untuk membawa Candramaya dari rumah si Nyonya. Mata kecil yang diberatkan keriput, menoleh sedikit ke balik pintu. Teringat beberapa bulan lalu turut mengantarkan pelayan ke tempat ini. Tetapi rekan-rekan sebelumnya berakhir tidak baik. Selain ketakutan hingga tak berani bertemu orang, ada pula yang gila sampai tidak sanggup bertahan hidup. Dia merasa seperti melemparkan manusia ke liang buaya.
Candramaya memandang Nyonya Amaranta yang tak memedulikan kehadirannya sembari memutar kursi roda.
Di depan pintu, Amaranta menarik tongkat di pangkuannya dan mendorong perlahan sisi pintu yang terbuka. Ia tampak kesulitan melakukannya sendiri.
"Biarkan saya membantu Anda, Nyonya," ucap Candramaya dengan senyum hambar.
Tanpa konfirmasi, Candramaya mendorong pelan sisi pintu yang lain.
Saat mereka masuk, ruangan amat temaram. Hanya dengan meneliti, Candramaya dapat menemukan ukiran mewah di dinding. Beberapa goresan masih menyisakan bubuk emas yang pertama kali digunakan dalam pengecatan, menegaskan kekayaan keluarga Nyonya Amaranta yang dahulu pernah menjadi bangsawan terkemuka.
Luas ruang tamu itu benar adanya. Ke mana pun mata menoleh, hanya terpantul cahaya lilin yang mengalah untuk bayangan. Kadangkala angin akan bertiup dan mengajak api di atas lilin menari, memainkan siluet seseorang yang bersembunyi di balik pintu tanpa pergerakan sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...