Chapter 20 - 3

6 2 0
                                    

Ayna sedang berdiri di luar pintu saat Candramaya tiba. Dia menengadah dan bertanya dengan datar.

"Apakah penyihir punya cara memperpanjang nyawa?"

Diamnya Candramaya memastikan dugaan Ayna. Dia merasakan jiwa Amaranta yang semakin lemah seiring waktu.

"Aku mengerti." Ayna meremas tangannya dan berubah ke wujud laba-laba.

Dia menghilang dalam kegelapan yang sepi dan tak pernah menunjukkan diri hingga malam terakhir pada musim itu berakhir.

Awal pagi membawa kericuhan di pusat kota di mana orang-orang menyebarkan kabar mengejutkan.

Dini hari, kereta kuda membawa pasien kritis dari tepi kota ke rumah sakit hingga mengejutkan orang-orang di pasar. Namun keterlambatan penanganan membuat wanita tua yang kesulitan bernapas itu tidak tertolong.

Willy dan Jingga yang baru tiba di kota dikagetkan oleh kabar itu. Mereka pergi ke rumah Prasetyo dengan izin tertulis yang diberikan istri Prasetyo dan membawa bukti keterlibatan Belatik dalam kasus pembunuhan para pelayan yang dituduhkan pada mantan Wali Kota. Mereka ingin membawa bukti itu ke ibu kota kerajaan dan membuktikan perbuatan keji Belatik. Sayangnya mereka ketahuan oleh mata-mata yang ditempatkan oleh Belatik di rumah Prasetyo.

"Kita telah menemukan bukti. Untuk apa lari dari mereka?" Jingga tampak akan berhenti saat Willy menariknya ke atas kereta kuda.

"Sekarang bukan waktunya!" Willy sendiri tak tahu dari mana datangnya kekuatan lengan untuk mengangkut Jingga ke dalam kereta.

Dia takkan bergeming untuk ditangkap oleh para penjaga. Kepribadiannya lincah dan dengan sekali tarikan, kereta kuda melaju meninggalkan halaman rumah.

Setelah mereka meloloskan diri, penjaga merasa tidak ada artinya mengejar mereka dan pergi melaporkan kejadian itu langsung ke kantor kepala yayasan.

Sementara Belatik sedang bersandar di sofa ruang utama, memperhatikan ketiga pelayan yang sedang bekerja keras menyiapkan keperluannya untuk keberangkatan menuju ibu kota kerajaan.

Salah satu pelayan yang mengemas perhiasan, menunjukkan kekaguman di hadapan Belatik. Secara lancang pelayan itu mengulurkan tangannya untuk menjamah intan yang berkilau.

Sebelum pelayan itu tercengang oleh darah yang mengucur deras, rasa sakit mencekam pergelangannya yang terpotong dan membelalak ketakutan saat melihat pedang di genggaman Belatik masih meneteskan cairan.

Pelayan-pelayan lain terdiam selama beberapa menit, kemudian melanjutkan pekerjaan mereka seolah tidak melihat apa-apa. Sedangkan pelayan yang kehilangan tangannya tidak mampu menahan nyeri maupun niat untuk menjerit. Diam-diam telah jatuh tak sadarkan diri seiring darahnya merembes ke lantai.

Kusir Kuda maju dan mengambil kotak perhiasan yang berlumuran darah dan memeriksanya dengan teliti.

"Beruntunglah permata ini tidak ternoda," ujar kursi kuda yang biasanya amat pendiam. Dia menyerahkan kepada pelayan lain yang menerima dengan punggung gemetar. "Bersihkan ini dan pindahkan ke kotak perhiasan yang baru. Jangan sampai mengulangi kebodohan yang sama."

Meskipun heran, amarah di hati Belatik akan kepergiannya ke ibu kota kerajaan membuat dia mengabaikan intuisi tajamnya.

Kusir kuda yang seolah dapat membaca keraguan dalam pikiran Belatik, menyembunyikan senyum di bawah hormat dan berubah ke wajah dingin kaku yang biasa. Lalu menemani Belatik ke halaman depan, bersama memandang jauh ke hutan belantara, di mana rumah Ny. Amaranta hanya ditetap seorang pelayan yang dia tidak tahu sedang kedatangan tamu tak terduga.

Kereta kuda berhenti. Willy turun dan Jingga melompat dengan tidak sabar saat Candramaya membukakan pintu.

"Kau masih di sini!" sorak Jingga begitu mengenali Candramaya. "Kau harus cepat pergi dari sini. Perempuan kejam itu tidak mungkin akan melepaskanmu begitu saja! Dia ... dia ...."

Willy menarik tangan Jingga agar gadis itu menurunkan emosinya yang membuat dia bingung menyusun kosa kata. Dia menggantikan Jingga bicara kepada Candramaya yang memberi tanda tanya di wajah.

"Kami menemukan bukti keterlibatan Belatik di kasus pelayan-pelayan yang hilang dan dikorbankan dalam ritual sesat." Willy menunjukkan lembaran kertas yang terlipat oleh guncangan kereta.

Begitu mendapatkan kembali ketenangannya, Jingga kembali bersuara.

"Cepat pergi dari sini sebelum dia datang!" Kecemasan terpapar dari kilau mata Jingga.

Setelah membaca dokumen tertulis dan lembaran sihir yang tampaknya tak lagi berguna, Candramaya memberi anggukan paham.

Mereka menawarkan Candramaya tumpangan untuk mengungsi ke kota lain. Segera Candramaya bersiap. Tetapi gadis pelayan yang kedua manusia itu khawatirkan justru menggeleng halus. Dia memberi isyarat kepada Willy yang segera mengerti.

Candramaya tidak bersiap untuk kabur. Dia akan menemui sendiri Belatik.

"Kalian pergilah lebih dahulu. Aku akan mengambil jalan lain."

Jingga yang menunggu di dalam kereta mendongak keluar. "Apa? Buat apa? Ikut saja dengan kami."

Willy memperhatikan senyum di ujung bibir Candramaya dan sempat terpana oleh pesona penyihir yang cantik. Tetapi dia teringat lagi pertemuan pertama mereka dan segera meyakinkan Jingga untuk pergi.

"Kita sudah melakukan apa yang kita bisa. Jangan ikut campur lagi."

Kereta kuda pergi. Demikian pun tidak secepat Candramaya yang mengucapkan mantra sihir dan menghilang di bawah hangat cahaya matahari.

Kekuatan batu hitam yang tersembunyi pada lonceng antik bukanlah hilang, melainkan berada di tangan relasi penyihir gelap yang lain.

Sejak menyadari hal itu, Candramaya telah memastikan di mana keberadaan Belatik dan mengikuti batu hitamnya yang berkedip lemah.

Ketika Candramaya tiba di halaman depan rumah Kepala yayasan, sebuah kereta kuda telah berjalan meninggalkan area kediaman yang sepi.

Karena reaksi batu hitam tidak berubah, dia masuk dengan dugaan Belatik masih berada di lama rumah. Berhati-hati mendengarkan derap langkah sepatu mengikuti benda berat yang diseret, berhenti oleh denting logam perhiasan jatuh dan embusan napas berat seseorang.

Candramaya mendapat firasat bahwa dia mungkin telah terlambat. Tetapi kekuatan batu hitam yang kosong telah kembali. Sedangkan yang lainnya tak lagi berkedip.

Usai meninggalkan ruang utama. Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi yang sering dipakai Belatik, mengaitkan anting di telinga, menoleh sekilas ke arah dinding yang terpajang sebuah lukisan. Perasaannya berkata ada seseorang yang sempat berdiri di sana.

Seorang pria menyelinap dan mengejutkannya dari belakang, tertawa mengejek. Dia memakai topeng kulit dan wajah kusir kuda yang dipakainya akhir-akhir ini memberikan hasil yang memuaskan.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang