Chapter 22 - 1

2 2 0
                                    

Hijau rerumputan mengulurkan jemarinya pada embun. Sinar pagi membagi cahaya seperti permata. Kehangatan sang surya mengalahkan sejuk yang dibawakan air danau.

Riak-riak kecil kembali dikibaskan pada bebatuan. Sepasang kaki yang basah menginjak rumput tanpa alas, sedang tangannya menarik cabang pohon. Tubuh kecil itu melompat dengan cepat ke atas, memanjat lebih tinggi demi menggapai rongga pada pohon.

“Hei! Ayo keluar dan bermain bersama kami!”

Kelelawar yang tengah bergantung di dahan, terkepak oleh gelombang suara Owen yang tiba-tiba, ia meluncur bebas.

Beruntungnya Orlen sedang berjaga di bawah pohon. Dengan sigap menangkap tubuh kelelawar yang lembut, terpana sekaligus kasihan.

“Kak! Kelelawarnya terbang ke mana?” Sorakan dari atas pohon membuat Orlen menengadah.

Suaranya mengalir bersama percikan air danau di mana Candramaya tengah membasuh wajah, sebelum kembali duduk di bebatuan dan menutup mata, seolah tertidur.

“Ada! Ada di sini!” balas Orlen.

Seruannya disambut gemerisik dedaunan dan geretak dahan patah. Owen melompat turun setelah menemukan posisi.

Tertegun oleh dentuman saat Owen mendarat, Orlen segera membawa kelelawar, mengecek keadaan Owen yang menelungkup di tanah.

“Kamu baik-baik saja?”

Tanpa beranjak, Owen menjawab sambil bergumam, “Tidak, aku sudah mati.”

Owen mengangkat kepala dan menerjang ke arah Orlen yang sontak mundur, melingkupi kelelawar.

“Aku adalah hantu!” Tawa Owen menggelegar, menyengir dengan mata setengah tertutup. “Apa kamu takut padaku?”

Orlen menggeleng cepat. Dengan ragu menyodorkan kelelawar seperti persembahan pada hantu di hadapannya. Lalu mata hantu yang bernama Owen itu menjadi hidup, hati-hati mengambil kelelawar dan suasana hatinya berubah.

“Owen?” panggil Orlen saat Owen memanjat dan meletakkan kelelawar di timbunan dedaun.

Tidak mendapat jawaban, Orlen menghentikan langkahnya dan hanya memperhatikan sang adik menuruni danau dari kejauhan. Dia tahu bahwa Owen sedang menyimpulkan amarah yang dipendam di balik diam.

Setelah Owen berendam di tepi danau, Orlen mengalihkan perhatian pada kelelawar yang terbaring tanpa bergerak sedikit pun.

Kelelawar yang buta cahaya di bawah sinar matahari pagi bagai tersesat, seharusnya terbang ke segala arah dan mencari jalan kembali ke kegelapan malam. Namun dalam ketakutan yang asing ini, ia tetap diam, menyerah pada takdir setelah jatuh terperangkap.

Kelelawar itu diletakkan kembali pada batang pohon dengan hati-hati. Orlen mengalihkan pandangan ke arah Candramaya yang tidak bergeming.

“Tidak seharusnya ke sini sejak awal,” gumam Orlen seiring angin meniup punggungnya.

Dia berbalik dengan mata tajam seolah menerawang hutan yang rindang dan sepi. Sampai dentuman keras di danau mengalihkan seluruh perhatiannya.

“Owen!”

Orlen melompat ke danau dan membawa keluar Owen yang pucat. Kedua matanya terpejam walau bibirnya terus membisikkan kata-kata asing.

Candramaya tersadar dari perenungannya dan menggunakan sihir penyembuhan. Tetapi energi kegelapan menguar, melawan kekuatan sihir Candramaya hingga dia terpental. Orlen yang memeluk Owen di samping terus berkata iya dan iya, seolah dia mengerti bahasa asing yang terdengar seperti mantra sihir gelap bagi Candramaya. Hingga Owen membuka mata dan kembali seperti normal, meninggalkan tanda tanya yang dalam di benak Candramaya.

Orlen membantu Owen bangun, mengajak mereka pergi ke rumah. Danau ditinggalkan sepi, terselimuti bayang-bayang di penghujung sore. Sebuah batu bergelinding dari atas pohon di mana kelelawar terbangun, lalu jatuh ke danau dengan simbol mantra yang bercahaya. Batu itu terus tenggelam hingga tempat yang jauh.

Cakrawala yang konon biru, tampak lebih mendung saat sebuah batu jatuh dan mendarat tepat di depan sepatunya. Laki-laki berjubah hitam itu menghentikan langkah saat merasakan kekuatan sihir yang asing tersisa pada batu. Dia memandang ke sana-sini sebelum mengangkat tudung jubah, lantas meninggalkan jalanan dengan mantra teleportasi.

Cahaya biru bersinar dan Dares muncul di depan sebuah toko senjata. Beberapa tombak yang bersinar dipajang di ruangan utama. Namun sebuah tongkat kayu lebih menarik perhatian sang Panglima Perang.

Tongkat itu tampak sangat biasa hingga seorang penyihir yang tidak berbakat sekalipun tidak akan tertarik untuk menggapainya. Tetapi Dares dapat merasakan kekuatan dalam dirinya bergejolak saat dia meraih ujung tongkat.

Segera dia ambil dan pergi membayar pada pemilik toko yang tersenyum licik. Tidak hanya mengembalikan uang yang diberikan Dares, pemilik toko turut memberinya sebuah amplop.

Amplop yang memiliki sihir itu dibuka Dares dengan mudah dan membacanya sekilas. Api sihir melahap surat itu sampai debu pun tak bersisa. Pemilik toko tidak mengubah ekspresinya sama sekali ketika Dares meninggalkan tokonya tanpa kekata. Dia sendiri punya kesibukan yang harus dilakukan sejak surat itu dititipkan oleh si pengirim misterius.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang