Dia mengulurkan tangannya dan segala untaian emas permata menjadi dingin.
"*'-'*"
Dalam ruangan yang gelap, suara langkah kaki disambut ketukan.Dengan sebuah desis, api menyala pada sumbu lilin, menepis bayangan ke semua sisi. Belum lima menit lilin itu dinyalakan, ia telah padam bersama minyak yang mengalir dari alas, habis terpakai seolah waktu telah berputar lama.
Dari ventilasi kayu di atas jendela. Candramaya menemukan serangga malam yang hanya keluar setelah jam menyentuh dini hari. Persis seperti perkataan Jingga yang ingin dia buktikan sendiri. Lintas waktu dalam desa berjalan lebih laju dibandingkan luar sana.
Percepatan waktu ini dapat diterima dengan logika bagi wilayah yang berada dekat pada kutub bumi. Terutama malam yang lebih cepat berlalu di musim tertentu. Namun kenyataannya, mereka berada di wilayah subtropis tanpa adanya catatan perubahan waktu siang-malam dalam sejarah. Ketidakpercayaan tentu akan mengajak Candramaya mengujinya sendiri.
Beberapa hal yang dikatakan Jingga, dia sendiri bahkan tidak tahu apakah dapat membantu gadis itu lolos dari cengkeraman makhluk kegelapan yang hampir merenggut nyawanya sore ini.
Candramaya tidak tahu berapa lama dia duduk termenung dan menghela napas berat sembari menyimpan batu hitam ke dalam kotak kayu yang unik. Dia tidak ingin terpengaruh oleh kekuatan itu lagi. Setidaknya tidak sampai dia membutuhkan kekuatan dalam batu.
Tanpa mengira waktu akan benar-benar mendahuluinya yang belum sempat memejamkan mata. Cahaya matahari yang bersembunyi dalam kabut dengan malu-malu menunjukkan siluet seorang pemuda di depan rumah. Candramaya meraih kain penutup kepala dan keluar menyambut tamu tak terduga ini.
Begitu melihat sosok perantara jodoh, pemuda itu menyerahkan keranjang kosong kepada Candramaya dan bergegas mundur.
"Aku disuruh buat kasih ini ke kamu," ungkap pemuda itu tanpa berani menatap ke arah Candramaya.
Dari ciri-ciri fisik dan cara dia bicara, pemuda itu kemungkinan adalah Rio. Sahabat Jingga yang membantu gadis itu melarikan diri sebelumnya. Dapat pula berarti, dialah yang membawanya keluar sehingga Jingga dapat melewati sihir ruang di gerbang desa.
"Aku tidak setuju Jingga ke sana. Ka-kamu jangan nikahkan dia," tambah Rio terbata-bata.
Suaranya tidak begitu jelas. Hanya terdengar oleh Candramaya yang segera bertanya mengapa.
"Tidak bisa lama. Ada orang." Setelah menunjuk penduduk lain, Rio pergi dengan kepala tertunduk.
Candramaya menggenggam sepucuk surat yang terselip pada untaian bambu di sisi samping keranjang.
Belum sempat tulisan di atas kertas terbuka, pelayan dari istri kepala desa datang dan mendandani Candramaya. Hari ini Perantara Jodoh harus mengambil kelopak-kelopak yang telah ditaburkan pada calon pengantin dan menukarkan perhiasan dari pihak laki-laki untuk dikembalikan kepada calon pengantin keesokan harinya.
"Semakin banyak kelopak bunga yang dibawa kembali, semakin berharga hadiah yang akan diterima. Ingatlah untuk membawa kembali bunga yang utuh."
Kelopak bunga yang masih utuh menandakan perhatian calon pengantin untuk tidak menginjak atau merusak cinta kasih yang diberikan kepadanya oleh calon mempelai.
Candramaya berangkat dengan praduga bahwa calon pengantin yang bersemangat memutus perjodohan telah mencabik-cabik semua kelopak bunga. Melupakan hadiah yang dapat ditukar, Candramaya tersenyum lembut saat memasuki kamar pengantin.
Aroma semerbak bunga menguar dari kembang-kembang yang tersebar di lantai maupun di atas peraduan. Dari tepi ranjang, calon pengantin tampak bersandar dan sedang berbicara. Dia tidak sendirian. Dua gadis dan seorang lelaki yang lebih muda sedang melirik waspada sejak pintu dibuka.
Kedatangan Candramaya seolah memberi mereka peringatan untuk rencana yang sedang keempat orang itu susun. Berbeda dengan Jingga yang membelakangi pintu masuk dan tidak memedulikan kehadiran orang di belakangnya. Dia masih kukuh melanjutkan pembicaraan mereka dengan emosi menggebu. Ada beberapa tirai yang jatuh karena tarikan kasar di bawah kakinya.
Setelah tiba di tepi ranjang, Candramaya merasa telah tiba saatnya untuk memutus obrolan.
"Mengapa ada orang lain yang diizinkan ke kamar pengantin?" tuding Candramaya.
Suara halus di ruang kecil itu mengosongkan pikiran orang-orang di sana yang sontak terdiam. Candramaya segera mengangkat kain penutup wajahnya dan anak lelaki yang berada paling belakang mendesah takjub.
"Ini kamarku. Aku bisa mengizinkan siapa pun masuk," balas Jingga tanpa niat menoleh. "Mereka sahabatku. Untuk kabur dari desa, aku butuh bantuan mereka." Jingga menambahkan penjelasan karena tak ingin Candramaya mengusir mereka keluar.
"Ikuti apa maumu."
Candramaya dengan acuh mengalihkan perhatiannya pada kelopak-kelopak bunga putih yang bermekaran dengan sempurna. Tanpa ada sedikit noda maupun cacat menimbulkan kehangatan dalam hati Candramaya. Calon pengantin yang dia sangka sama sekali tidak memiliki perasaan, sebenarnya masih menyimpan kasih sayang yang tulus kepada calon mempelai.
Kehangatan yang bagai cahaya matahari di langit mendung itu tak berlangsung lama. Setelah mengumpulkan lebih dari setengah keranjang, Candramaya menemukan bunga-bunga yang masih sempurna hanyalah kelopak putih. Warna serta jenis lain telah hancur dan remuk. Bahkan beberapa masih menempel di alas kaki anak lelaki yang sedang memandang kagum kepadanya.
"Bagaimana caramu merusak segala bunga dan hanya menyisakan kelopak putih?"
Akan sangat mengherankan jika Candramaya tidak bertanya tentang keanehan itu. Namun tanggapan dari Jingga justru mulut yang terkatup rapat. Aneh jika calon pengantin tidak tahu menjelaskan gelagatnya.
"Itu tidak mungkin 'kan? Perantara Jodoh tidak boleh mengutuk Calon Pengantin seperti itu," ujar salah satu gadis yang mengira pendengarannya keliru.
Gadis lainnya turut tercengang dan tampak akan berbicara dengan kekerasan ketika Jingga mengangkat tangan untuk menahannya.
"Tunggu. Aku memang melihat sekilas kelopak putih saat kau melemparnya padaku. Tapi setelah itu ...." Jingga menggeleng sembari memegang kepala.
Untuk membayangkan dirinya dilempari kelopak putih tentu tidak mudah diterima. Lebih sulit lagi untuk percaya pada apa yang tidak dapat mereka lihat.
Sebelum waktu ritual tiba, Jingga mengundang ketiga temannya untuk menginjak serta menghancurkan kelopak-kelopak bunga sebagai bentuk penolakan keras atas perjodohan. Tetapi tak menemukan satu pun kelopak putih atau adanya bunga serupa. Karenanya dia abaikan sampai Candramaya mengungkapkan hal itu.
"Berapa banyak kelopak putih yang kau temukan?"
Pertanyaan dari Jingga menunjukkan ada hal yang salah. Kelopak putih itu hanya terlihat oleh Candramaya.
Candramaya menarik keranjang anyaman yang setengahnya telah dipenuhi kelopak putih. Jingga melirik isi keranjang yang kosong dengan perasaan hampa. Muncul niat untuk meragukan matanya sendiri. Dia mencelupkan tangannya di antara kelopak-kelopak putih.
Cahaya bermunculan di mata Candramaya. Namun tidak ada apa pun yang dapat dilihat Jingga selain rasa menyentuh yang ringan dan hanya sekilas, seolah kecupan di jemarinya ilusi semata.
Jingga menarik tangannya dengan takut hingga menjatuhkan beberapa kelopak putih. Perasaan yang membayanginya saat ini membuat dia ragu untuk memandang balik ketiga sahabatnya.
"Ada apa, Jingga?"
Candramaya mengacuhkan kelopak putih yang jatuh dan menarik keranjang bambu.
"Jika tidak ada lagi yang ingin kamu tanyakan, aku akan pergi menukar kelopak bunga ini," ucap Candramaya sembari mengangkat tabir wajarnya.
Jingga dari lamunannya di balik tirai peraduan tetap terdiam sampai dia menyadari Candramaya yang akan keluar pintu, dia beranjak dan hendak mengejar, tetapi suatu kekuatan tak terduga menjatuhkan dia kembali. Dia melupakan batasan yang terpasang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess of Magic Land
FantasySebuah kisah ajaib tentang dua insan di Negeri Sihir yang saling mengagumi namun tak saling memahami. Kekuatan yang menakjubkan, pesona yang luar biasa, perebutan kekuasaan dan perjuangan keadilan, serta cinta tulus yang tak terlukiskan. Kisah ini d...