Chapter 22 - 2

2 2 0
                                    

Malam di Negeri Sihir, pada sebuah desa yang bersebelahan dengan perbatasan. Lampu lentera dengan api sihir biru cerah yang berpijar di setiap pintu rumah, seketika padam ketika energi pelindung Negeri Sihir bergejolak. Para penyihir yang terlelap dalam mimpi indah mereka pun terbangun oleh gelombang kekuatan dan bergegas keluar rumah. Bertanya pada tetangga di kiri-kanan tanpa adanya kejelasan. Prajurit yang sedang menjaga perbatasan pun bersiaga di depan benteng begitu gelombang kekuatan berikutnya disertai amukan raksasa.

“Bahaya! Kirim surat darurat! Laporkan pada Panglima untuk mengirim bala bantuan!” sorak prajurit penjaga benteng.

Dia meraih senjata andalannya dan memantrakan sihir. Turut bergabung pada barisan prajurit di depan gerbang yang tampak kewalahan.

Raung amuk kaum raksasa semakin keras. Gerbang besi yang baru beberapa bulan lalu diperbaiki mulai bergemuruh oleh kekuatan luar biasa para raksasa.

Kabar tentang serangan raksasa baru tiba di meja keras Dares. Gerbang telah berhasil diterobos oleh galah ajaib Raja Raksasa.

Mantra sihir mengalun sepanjang malam yang singkat. Cahaya dengan berbagai simbol melingkar bertumpang-tindih di tanah yang awalnya lapang. Jumlah raksasa terus bertambah seolah tiada akhir. Mereka yang menahan serangan di garis depan jatuh satu per satu. Beberapa prajurit di antaranya belum selesai memantrakan, galah besar telah meremukkan tulang punggung mereka.

Hingga debu cahaya meninggalkan setitik kecil bintang di bahu prajurit yang tergeletak dengan mata terbuka. Salah satu raksasa membawa obor, tertawa di atas kemenangannya. Dia menurunkan api pada kain yang menjadi merah kusam, melahap habis gunungan jasad prajurit perbatasan.

Kawanan raksasa bertubuh setengah hewan itu tidak berhenti. Mereka melanjutkan pembantaian hingga ke daerah penduduk yang meringkuk di kolong rumah. Cahaya sihir terus menghilang setiap kali mereka mengucapkan mantra, meninggalkan harapan terakhir para penyihir yang tidak pernah mengangkat senjata selayaknya para prajurit.

Saat Dares tiba, para penduduk yang menderita tidak lagi tertolong. Api merah yang membakar penyihir menjadi abu telah padam bersama hujan yang turun, mengaliri harapan terakhir nan semu.

Dia berdiri sendirian di tengah deras deru, menghadang pasukan raksasa yang haus darah dan menari di puncak kemenangan. Raja Raksasa yang melihat sosok tinggi dari kejauhan, membawa galah ajaibnya maju dan menantang Dares, melanjutkan pertarungan satu melawan satu.

Dares bergeming. Ujung jubah hijaunya berkibar oleh udara panas pada tumpukan prajurit yang bertemu hawa dingin hujan.

Raja Raksasa masih menyeringai dengan tawa meremehkan. Berbicara dalam bahasa gergasi pada bawahan, meminta mereka untuk tidak ikut campur. Dia menarik galah yang beratnya melebihi ton, membopong di pundak untuk mengintimidasi keberanian lawan.

Sedikit bosan karena lawan yang seorang diri itu tidak menanggapi rundungan. Raja Raksasa mengencangkan cengkeraman, berniat meratakan penyihir di depan dalam satu hantaman.

Detik itu juga Dares menutup mata yang cahayanya memudar. Saat terbuka, hanya tersisa kegelapan. Mata biru danau nan indah telah berubah menjadi hitam mengerikan. Jeritan tajam terdengar satu per satu dari barisan terakhir raksasa.

Raja Raksasa yang terheran-heran sontak berbalik badan, melotot marah. “Apa yang curut-curut itu bisingkan!”

“RAJA! Tolong kami akh!” Raksasa di barisan depan terjatuh dan kembali ke wujud aslinya dalam wujud mengerikan, memperlihatkan gambaran suram di balik praduga.

Pasukan besar raksasa yang dia bawa dengan rencana matang telah kembali ke wujud asli dan mati tidak wajar. Amarahnya memuncak. Namun lebih dari itu, ketakutan lebih dulu mengaktifkan akal sehatnya. Dia terburu-buru lari ke arah perbatasan dan meninggalkan Dares yang masih terpaku di tempat sejak awal.

Raja Raksasa meninggalkan senjata pamungkasnya dengan pengecut dan mengira dapat meloloskan diri begitu saja. Sampai lingkaran gelap muncul di tanah tanpa peringatan. Tanaman di sekitar menyerupai sulur berduri, mencakar kulit Raja Raksasa hingga darah hijau menetes dari semua sisi. Teriakannya memuncaki kebisingan malam, membuat takut serangga hutan yang tak berani menunjukkan diri.

Dares menoleh ke salah satu pohon dan jeritan melengking dari baliknya.

Dia mengambil galah Raja Raksasa, meninggalkan area pembantaian yang hanya menyisakan jasad hewan. Dari tanah itu pula, arwah hitam muncul satu per satu dari mayat-mayat raksasa yang mati mengenaskan.

Kebencian dan dendam menjadi asap racun yang mengucilkan mayat mata-mata di belakang. Hujan berhenti dengan hati-hati. Langkah Dares tidak meninggalkan bayangan selagi kekuatan gelap terus mengaliri inti sihirnya.

Sampai beberapa saat, kegelapan menjalar serta berusaha mengambil alih. Kesadaran Dares kembali dan melawan.

Bisikkan menghasut dari antara alam bawah sadar. Halus melebihi alunan paling merdu dari napas manusia.

"Keturunan kaumku yang malang. Dikau belum cukup kuat untuk bertemu denganku."

Setelah tawa cekikikan disertai helaan napas yang halus, semua ilusi itu menghilang. Ketenangan di mata biru Dares bagai riak yang memudar. Dia mencari ke segala arah, lingkaran yang mengelilinya lenyap dan memaparkan kembali pada kenyataan.

Seorang penyihir berambut cokelat berlari ke arah Dares yang meremas bahu, ia bergegas memantrakan sihir penyembuhan tingkat kedua sembari memeriksa luka.

"Bagaimana situasi di ibukota?"

Kekuatan sihir Dares pulih. Arifin segera menghentikan aliran sihir, menunduk hormat.

"Seperti yang Tuan prediksi. Para bangsawan memonopoli penyebaran ramuan atas perintah Menteri Perang. Peracik ramuan yang menolak untuk bekerjasama telah ditangkap dengan tuduhan palsu."

Arifin menyampaikan informasi yang dia terima sebelum berteleportasi ke perbatasan.

Dares memiringkan mata, menahan amarah dalam hati. Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Menteri Perang. Setelah menghabiskan persediaan botol-botol ramuan yang beredar di pusat kota. Wanita itu tanpa malu mengumumkan bahwa persediaan ramuan untuk prajurit perbatasan dikurangi.

"Apakah Tuan akan kembali ke pusat kota dan memohon Raja menegaskan keadilan?" Arifin mengungkapkan keraguan dalam hatinya.

Sepanjang perjalanan ke perbatasan, dia terus menyayangkan perbuatan egois Menteri Perang.

"Tidak ada gunanya. Menteri Perang bukan tidak berotak. Dia tidak akan mengambil resiko dibenci oleh para peracik ramuan jika bukan karena perintah langsung." Dares memejamkan mata, mengatup kata-kata kasar yang hampir tercetus dari mulutnya.

"Maksud Tuan?"

"Raja Sihir takut pada pemberontakan prajurit perbatasan. Dia ingin menggunakan tangan Menteri Perang untuk menekan kekuatan kita."

Arifin mengangguk pelan. Tidak menyangka kecurigaan Raja akan mendatangkan kesulitan bagi yang lain. Walau belum pernah bertemu langsung dengan sang Raja, dia selalu merasa Raja Sihir bukan seseorang yang adidaya.

Sejenak mata Arifin berubah abu. Pandangannya kosong seolah menerawang jauh.

"Tuan, seseorang sedang menyiapkan perangkap untuk Anda di titik teleportasi gerbang utama," peringat Arifin.

Saat berbicara dengan pandangan memudar, helaian rambutnya kembali ke warna perak yang melambangkan peningkatan kekuatan rubah perak.

Sekalipun terkejut, Dares tidak ingin berhenti. Dia membacakan mantra, lingkaran teleportasi meluas hingga membawa Arifin ikut serta. Mereka muncul di sekitar gerbang untuk memastikan kebenaran dari ucapan Arifin.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang