Chapter 25 - 1

0 0 0
                                    

Masih dalam ruangan yang sama. Tabib Istana yang baru menyelesaikan ramuannya, meletakkan sebuah kotak di atas meja. Kemudian mengambil botol ramuan lain di rak dan tampak terkejut saat melihat isinya.

Setelah menyadari kekeliruannya, dia mengambil kotak di atas meja dan menyembunyikan kotak itu di laci yang tersihir. Belum sempat dia mengambil ramuan baru di rak, salah satu bawahannya memberi tahu kedatangan Menteri Perang. Sehingga dia pergi begitu saja.

Arifin berjalan mendekati rak yang menyimpan ramuan, hendak memastikan praduganya. Namun suara Menteri Perang mengagetkan dia.

"Apa yang bawahan bodoh ini kerjakan? Kenapa lama sekali?"

Dari belakang Menteri Perang, Tabib Istana melangkah keluar dan berdiri di samping Arifin yang masih bingung. Pandangan masa lalu dan masa kininya bertumpu jadi satu. Perlahan-lahan, sosok Menteri Perang tampak di matanya.

Dengan terburu-buru, dia segera berlutut. Hampir mengungkapkan apa yang baru saja dia lihat. Tetapi teringat akan perintah tuannya.

Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh bertindak di luar perintah.

"Maaf. Saya tidak dapat menemukannya," ucap Arifin berbohong. Dia harus mendapatkan kepercayaan Tabib Istana meskipun harus menanggung kesalahannya.

"Apa! Tidak berguna!" maki Menteri Perang, hampir melayangkan senjatanya ke kepala tabib muda yang menunduk dalam.

Arifin bergeming, mulai khawatir jika Tabib Istana tidak membela dan membiarkannya habis di tangan Menteri Perang.

Salasika memang berniat menghabisi tabib muda itu saat ini juga. Tetapi tanda tugasnya bersinar, memberi tahu bahwa Raja tengah memanggil dia.

Dengan kecewa dan emosi, dia mengabaikan keteledoran tabib itu dan berbalik memarahi Tabib Istana.

"Siapkan ramuan itu dan segera antarkan ke tempatku. Jangan sampai bawahan bodoh ini muncul lagi di hadapanku!" ancam Menteri Perang, mengisyaratkan keinginannya agar Tabib Istana mengeluarkan Arifin secepat mungkin.

Tentunya hal itu masih lebih baik daripada kehilangan kepala. Walau kenyataan tidak seperti dugaannya.

Setelah kepergian Menteri Perang, Tabib Istana mengeluarkan kotak ramuan dari bawah meja di depan Arifin dan menghela napas lega.

"Jangan pikirkan apa yang wanita itu katakan. Aku tidak akan mengeluarkanmu," ucap Tabib Istana tiba-tiba, membuat Arifin berpaling dengan heran. Seakan bertanya mengapa.

Tabib Istana memandang ke arah pintu ruangan, membacakan mantra sihir yang memblokir transmisi suara.

"Wanita itu tidak punya rasa kemanusiaan. Peramal Istana pernah mendengarkan sarannya untuk mengusir murid peramal. Akibatnya, dia kehilangan dua kandidat terbaik sekaligus," kata Tabib Istana sembari menghancurkan isi ramuan dalam kotak.

Cahaya sihir kehijauan muncul dan melingkupi isi ramuan yang mengeluarkan asap ungu kehitaman. Jika Tabib Istana tidak menyadari kekeliruannya sejak awal, ramuan itu akan menjadi racun berbahaya yang dapat melumpuhkan saraf seseorang.

"Waktuku sudah tidak banyak. Siapapun yang menjadi penerus akan sama saja," ucap Tabib Istana sembari mengayunkan jemari.

Beberapa botol ramuan melayang ke atas meja. Satu per satu terbuka dengan cairan yang terbang keluar.

Arifin kagum pada kemampuan sihir Tabib Istana yang tidak perlu mengucap mantra untuk melakukan sihir.

"Tuan amat menakjubkan. Penyihir yang dipilih oleh Tuan sebagai penerus, pastilah yang paling berbakat." Arifin mengungkapkan pemikirannya tanpa sengaja.

Ketika Tabib Istana menoleh dengan alis terangkat, dia tertegun dan menunduk diam. Tuannya pernah berkata bahwa para penyihir bangsawan tidak menyukai sanggahan, terutama Tabib Istana yang tidak menyukai pujian.

Siapa yang tahu. Kalimat itu justru membuat sang Tabib tertawa seperti orang yang sudah lama tidak mendengar gurauan.

"Dibanding hati yang tulus dan teguh, apalah artinya yang paling berbakat. Dalam hal ini, menjadi manusia masih lebih baik daripada penyihir." Tabib Istana menutup obrolan dan mulai berkonsentrasi membuat ramuan.

Arifin segera mengundurkan diri tanpa suara saat Tabib menutup matanya.

Ruangan menjadi hening tanpa satu pun yang berbicara. Selepas beberapa saat, Tabib Istana membuka kedua matanya yang lelah. Tanda sihir di pergelangan tangannya menghilang. Dia tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Kekuatan yang dianugerahkan kepadanya hilang seiring takdir Negeri Sihir mengubah penguasa.

Bersamaan dengan kotak ramuan yang baru saja dia buat. Tabib Istana meninggalkan tanda pengenalnya di atas selembar kertas biasa, lalu beranjak keluar dari belakang istana.

Sampai salah satu tabib masuk ke ruangannya, Tabib Istana telah berjalan ke tengah hutan terlarang. Angin bersemilir seolah menyambutnya yang kembali ke kampung halaman.

Dia menengadah dan menemukan matahari yang bertahta di cakrawala tampak luar biasa. Seperti sebuah sihir ilusi yang tidak seharusnya berada di sana, di negaranya berpulang setelah sekian lama.

Di tempat lain, dimana kekuatan sihir seharusnya melingkupi tanah Negeri Sihir yang makmur. Satu per satu simbol menghilang seiring lapisan pelindung yang menyempit.

Prajurit dengan tingkat sihir kedua sedang mengganti papan latihan ketika mantra sihir yang seharusnya dapat dia untaikan dengan mudah, menjadi tidak berguna.

Papan latihan jatuh terbelah dua. Debu sihir meriak jauh. Prajurit yang kaget sekaligus takut mulai mengambil batu teleportasi, berharap untuk melaporkan hal aneh itu secepatnya. Tetapi sihir tidak lagi berfungsi di tanahnya berpijak. Dibayangi rasa takut, prajurit itu berlari sekuat tenaga ke markas utama, bertemu sekumpulan prajurit yang juga tengah menunggu jawaban dari Ketua Pasukan.

Rupanya tidak hanya dia sendiri. Sihir pelindung di wilayah Negeri Sihir yang telah ada sejak Raja Sihir pertama bertahta, telah melemah tanpa peringatan.

Tidak hanya tanpa pelindung, para prajurit yang menjaga di perbatasan Timur pun tidak dapat menggunakan kekuatan sihir mereka sama sekali. Seakan inti sihir mereka tidak lagi berguna tanpa naungan barier.

Ketua Pasukan yang menyadari situasi lebih awal, segera mengirim prajurit tercepat untuk mengabari istana di ibu kota. Sementara memberikan arahan agar prajurit di bawah kekuasaannya pergi membantu pengungsian rakyat biasa yang menetap di luar sihir pelindung.

"Dahulukan para senior! Bantu mereka mengungsi tanpa menyebarkan ketakutan!" perintah Ketua Pasukan, mengarahkan prajurit dalam barisan yang patuh.

Namun sebelum mereka dapat mengambil tindakan, dentuman keras memecah ketenangan di kejauhan. Asap hitam muncul dan mengabur, sesaat kemudian tampak ujung lidah-lidah api merah yang melambai mengudara, membawa teror mengerikan di hati para prajurit yang tercengang.

Dari mata Ketua Prajurit yang membelalak, hamparan api merah tersingkap oleh sosok hitam besar. Langkahnya penuh kekuatan yang mengguncang bumi. Senjata tajam yang diayunkannya membelah langit. Kemunculannya yang tidak terduga, mengirim hawa pemusnahan bagi Ketua Pasukan yang gagah berani. Dia tahu jelas dalam sanubari, hanya orang gila yang mau maju untuk melawan raksasa mengerikan itu.

"Tinggalkan tempat ini sekarang juga! Apa pun yang terjadi, selamatkan dulu diri kalian!" perintahnya melaung hingga para prajurit yang terpaku pun langsung tersadar.

Melihat prajurit yang lari terbirit-birit dalam kekacauan, sang Ketua Pasukan yang gila itu terus melangkah ke depan, mengangkat senjatanya yang membawa kemenangan pertama dan terakhir.

Asap hitam meluas serta, melingkupi segalanya dalam kepiluan. Para raksasa yang disangka telah dihapuskan, menyimpan kekuatan mereka demi pembalasan saat ini. Pasir di tanah yang kehilangan kekuatan sihirnya berputar-putar menghapus jejak kematian seperti tanah para raksasa yang mengubur energi kehidupan.

Princess of Magic LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang