Mobil SUV hitam milik Raden sudah terparkir rapi di depan rumah Dhisa. Raden membantu menurunkan barang bawaan Dhisa sampai teras rumahnya. Dhisa baru saja akan membalikkan badannya untuk membuka pintu ruang tamu ketika Mama Dita sudah lebih dulu membukanya. Hal itu sontak membuat Dhisa terkejut karena kemunculan mamanya yang tiba-tiba.
"Alhamdulillah, udah pulang to, Nduk," ujar Mama Dita yang punggung tangannya sedang dicium oleh Dhisa. Lalu mata mamanya beralih mengamati kehadiran seorang laki-laki di sebelah anaknya.
"Cah bagus iki sopo, Nduk? (Anak ganteng ini siapa, Nak?)" tanya Mama Dita pada anaknya.
"Ma, ini Raden, temannya Dhisa. Tadi dia yang jemput aku di stasiun," jawab Dhisa apa adanya.
Tanpa basa-basi, Raden mengulurkan tangannya untuk menyalami tangan Mama Dita. "Tante, saya Raden. Maaf, ini memang saya sendiri yang mau jemput Dhisa di stasiun."
Mama Dita tersenyum melihat Raden. "Ayo masuk dulu, Mas Raden. Makasih, ya, udah repot-repot ke stasiun buat jemput Dhisa." Mama Dita bergerak untuk membuka pintu ruang tamunya lebih lebar dan memberi isyarat untuk masuk pada tamunya.
Raden menundukkan kepala dan sedikit membungkukkan tubuhnya saat mengikuti si tuan rumah yang memasuki ruang tamu rumahnya. Dhisa beranjak pergi membawa barang-barangnya ke ke kamar terlebih dahulu. Sedangkan Mama Dita mempersilahkan Raden untuk duduk di sofa.
"Mas Raden ini sudah lama, to, berteman sama Dhisa? Tapi kok tante baru lihat, ya?" tanya Mama Dita yang duduk di sofa seberang Raden.
"Belum, Tante. Kami kenalnya mungkin baru sekitar satu bulanan," jawab Raden. Mama Dita menganggukkan kepalanya, kemudian tersenyum tanda mengerti.
"Raden ini temannya Oman yang pacarnya Noura itu, lho, Ma," sambar Dhisa yang sudah kembali dari menaruh barang-barangnya di kamar.
"Oalah, temannya Oman," ucap Mama Dita yang setengah antusias.
"Ada siapa, Ma?" Suara Papa Adi terdengar dari arah kamarnya.
"Ini, lho, Pa. Ada temannya Dhisa. Dia yang habis jemput Dhisa di stasiun, terus juga langsung diantar sampai rumah," jelas Mama Dita.
Papa Adi yang sudah menampakkan dirinya, lantas mendekat untuk bergabung di ruang tamu. "Sopo jenengmu, Le?" (Siapa namamu, Nak?)
"Kulo Raden," (Saya Raden) ucap Raden sembari menyalami punggung tangan Papa Adi dan melempar senyuman.
"Raden ini temannya Oman itu, lho, Pa. Oman yang pacarnya Noura," jelas Mama Dita lagi pada suaminya.
Papa Adi hanya menganggukkan kepala. "Santai aja sama saya. Panggil saya Bapak ndakpapa. Oh ya, makasih, ya, Mas Raden. Dhisa emang suka ngerepoti anaknya."
"Ngga ngerepoti, kok, Pak," sahut Raden sedikit kikuk.
"Apa sih, Pa? Dhisa jarang kok bikin repot orang. Papa itu yang pengennya malah direpoti sama Dhisa. Padahal, kan, anaknya udah gede, udah bisa ngapa-ngapain sendiri," sambar Dhisa yang tak terima.
"Tuh, Mas Raden, lihat sendiri, to? Dhisa kalo di rumah, ya, aslinya begini," ujar Papa Adi untuk mencairkan suasana.
Raden dan Mama Dita terkekeh dengan pernyataan papanya Dhisa. Sedangkan, orang yang sedang dibicarakan malah mengerucutkan bibirnya karena tak terima. Akhirnya, pertemuan pertama Raden dengan orang tuanya Dhisa dilanjutkan dengan perbincangan ringan sampai waktu menjelang Maghrib. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, Raden memutuskan untuk berpamitan dengan orang tua Dhisa.
***
Senin sudah di depan mata. Kali ini, Dhisa dengan semangat dan mood yang baik akan memulai harinya dengan menenteng tas kerja dan sedikit oleh-oleh yang akan dibagikan ke teman-teman kantornya. Cuaca yang cerah sangat mendukung untuk menikmati perjalanannya di pagi hari. Seperti biasa, Dhisa mengendarai motor kesayangannya untuk menyusuri jalanan Jogja yang ramai.
Banyak pasang mata yang melihat wajah ceria Dhisa di kantor. Walaupun memang biasanya memang begitu, entah kenapa teman-temannya seperti melihat binar mata yang berbeda. Dhisa yang merasa aneh dengan tatapan teman-temannya itu hanya mengangkat bahunya tak peduli. Ia bersikap acuh saja selagi tidak merusak mood-nya maka biarkan saja.
***
Jumat malam, Noura seperti biasa mengunjungi rumah Dhisa untuk menginap. Ia sengaja menginap di rumahnya Dhisa agar esok Sabtu Dhisa mau menemaninya pemotretan di suatu gurun pasir dekat pantai. Kali ini, jadwal pemotretan Noura bersama teman-teman timnya dilakukan untuk kebutuhan foto prewedding. Biarlah, Dhisa akan merasakan panasnya sinar matahari terik saat siang hingga sore menjelang, pikir Noura.
"Lo cerita dulu kemarin di Malang gimana? Curang lo ngga ajak gue," ujar Noura pada Dhisa.
"Ya, pokoknya seru, deh, Ra. Ribet gue jelasinnya. Lo lihat aja postingan gue selama di Malang. Foto-foto itu udah menggambarkan kok," jawab Dhisa yang apa adanya.
"Ah, ngga seru lo. Emang ngga ada kejadian yang wow atau apa gitu, kek?" tanya Noura.
"Ngga," singkat Dhisa.
"Oh iya, Sa. Gue baru inget sesuatu. Tadi kata mama, lo kemarin dijemput Mas Raden waktu habis dari Malang? Serius? Lo gitu, ya, sekarang ngga pernah cerita-cerita lagi ke gue," cecar Noura yang tak terima.
"Ya, apa juga yang mau diceritain? Orang ngga ada yang gimana-gimana juga, kok," jawab Dhisa santai.
"Belum aja itu, Sa," ucap Noura.
"Ngga, Ra. Gue udah ngga pengen pacar-pacaran gitu tau. Capek. Nanti takutnya kayak hubungan yang terakhir kemarin. Tiba-tiba ghosting, terus ngga lama dapat kabar dari temannya kalo dia udah lamaran sama orang lain," ujar Dhisa dengan tegar.
Sejujurnya, Dhisa sudah move on dalam satu tahun ini dan mengikhlaskan semua kenangannya. Ia cukup terpukul satu setengah tahun yang lalu. Tapi seiring berjalannya waktu, ia justru bersyukur karena dijauhkan dengan laki-laki yang menurutnya banyak sisi red flag-nya setelah disadari. Dhisa cukup mengambil hikmahnya saja. Toh, sekarang ia juga sudah bahagia menjadi kaum single. Walaupun dirinya sudah berdamai, tapi tanpa sadar saat ini pun Dhisa sedang menutup hati untuk laki-laki. Entah sampai kapan.
"Ya, ampun. Maaf, ya, Sa. Lo aman ngga habis cerita tentang masa lalu lo itu?" tanya Noura yang merasa bersalah dan sudah memeluk Dhisa.
"Ra, gue udah bahagia dengan kehidupan gue yang sekarang. Ngapain juga repot mikirin si tuyul satu itu, mubazir banget buat otak cemerlang gue," jawab Dhisa tersenyum sembari melepaskan pelukan Noura.
Noura tersenyum lega karena ia tak perlu merasa bersalah lagi. "Pokoknya besok gue harus ikut seleksi kalo lo lagi deket sama seseorang."
"Buset, posesif amat, Mbak. Tapi lo sama Oman gimana? Aman, kan?" tanya Dhisa.
"Asli deh, gue berasa dapat grand prize bisa ketemu sama cowok kayak dia. Pokoknya baik banget. Udah klop banget, deh, di hati. Terus alhamdulillah-nya kita juga udah saling kenal sama keluarga masing-masing, Sa. Tapi ujian hubungan kita kayaknya emang sumbernya ada di gue. Soalnya gue kadang-kadang sengaja mancing keributan," ujar Noura terkekeh.
"Tau sih gue modelan lo mana sanggup ngga ajak anak orang buat ribut dalam dua hari," celetuk Dhisa.
"Untung Oman sabar ngadepin bocah kematian kayak lo," lanjut Dhisa.
"Eh, tapi menurut gue, Mas Raden not bad lah, Sa," ucap Noura dengan senyum ledeknya dan langsung mendapat lemparan bantal dari Dhisa.
***
"Gila, lo kenapa ngga bilang kalo mau ajak gue ke padang pasir begini? Mending gue di rumah aja," omel Dhisa pada Noura.
"Sengaja. Gue ajak lo buat ikut gue pemotretan setiap Sabtu itu biar sekalian kasih lo referensi buat nikahan lo besok. Mana tau lo nikah dadakan, ya, kan," ucap Noura asal yang menaik-turunkan alisnya.
"Dih. Lo sama Oman duluan juga gue ikhlas, sih," sahut Dhisa dengan wajah sinisnya karena ledekan dari Noura.
Dhisa pun memilih pergi menjauh dari Noura dan timnya. Ia menunggu di sebuah warung kecil yang tak jauh dari sana.
Pesan masuk dari Raden.
Raden (Teman Oman)
Sa, gue telepon sekarang lo keberatan ga?Ngga kok, Den.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BINAR
FanficDhisa adalah seorang wanita single yang menyukai traveling. Ya, bisa dibilang travelingnya masih yang dekat-dekat aja, sih, di sekitar Pulau Jawa. Dhisa memiliki saudara sepupu yang akrab sejak kecil sampai saat ini, yaitu Noura. Noura ini memiliki...