36

547 80 16
                                    

Setelah mendengar penjelasan cocoklogi menurut isi kepala Raden, hal itu justru membuat Dhisa jadi bingung. Sejujurnya, ia ingin menertawakan kesalahpahaman itu meski di sisi lain juga ada rasa tak terima pada Tara karena sudah berprasangka yang tidak-tidak terhadap dirinya dan Raden. Oleh karena itu, Dhisa mengambil langkah untuk menenangkan suasana hati Raden terlebih dulu.

"Udah, tenangin diri dulu, Den," kata Dhisa.

"Ngga bisa. Mereka pasti udah punya pikiran jelek ke kita, Sa," jawab Raden.

"Iya, tau. Tapi kalo lagi emosi gini ngga enak kalau sampai didengar orang lain. Toh, tetangga-tetangga di sini, kan, udah kenal sama kita dan orang tuamu. Tara sama istrinya juga belum ada seminggu di sini, maklumi aja. Besok-besok kita kasih tahu mereka baik-baik, ya." Dhisa menatap Raden dengan teduh.

"Takutnya Tara makin berspekulasi aneh-aneh nanti. Malu, Sa." Suaranya yang agak meninggi.

"Iya, nanti aku jelasin pelan-pelan ke Nindi," ucap Dhisa menenangkan.

Raden terdiam mengatur nafasnya. Ia mencoba pasrah. "Ya udahlah." 

"Mau istirahat lagi? Masih pusing ngga?" tanya Dhisa.

"Pusing dikit. Aku lanjut istirahat di sini aja, Sa," jawab Raden.

Raden merebahkan dirinya di sofa panjang pada ruang TV ketika Dhisa hendak melangkahkan kakinya.

"Mau ke mana?" tanya Raden yang sudah berbaring dengan memeluk bantal kecil.

"Kamar mandi," singkat Dhisa sambil berlalu.

"Nanti ke sini lagi, ya," pinta Raden yang dibalas dengan gumaman oleh Dhisa.

Raden membolak-balikkan badannya di atas sofa serta menambah tumpuan pada kepalanya untuk mencari posisi nyaman. Namun, tetap saja Raden kesulitan untuk melanjutkan tidurnya. Dan pada akhirnya, ia memutuskan mengambil laptopnya di kamar dan kembali ke ruang TV untuk memeriksa beberapa laporan serta pengadaan barang dan jasa yang diperlukan di bengkel juga game center miliknya.

"Ngga jadi istirahat?" tanya Dhisa sekembalinya dari belakang.

"Susah mau tidur lagi," jawabnya.

"Den," panggil Dhisa.

"Hmm," gumam Raden tanpa memalingkan wajahnya.

"Mau tanya." Mata Dhisa mengarah ke Raden yang langsung memperhatikannya.

"Iya, apa, Sa?" jawabnya lembut.

"Besok kalo udah serumah, kamu mau ngga kalo bagi-bagi tugas rumah?" tanya Dhisa.

"Hah? Gimana?" tanya Raden.

"Ya, besok kalo udah tinggal bareng, kamu keberatan ngga kalo bagi-bagi tugas pekerjaan rumah? Kayak masak, cuci, bersih-bersih gitu. Eh, atau gimana ya enaknya?" jelas Dhisa yang melempar tanya.

"Kalo aku ngga masalah, emang harusnya gitu, kan?" jawab Raden.

Dhisa tersenyum lega dan menganggukkan kepala.

"Terus mau dibagi kayak gimana? Bagian masak aku, nih?" ujar Raden.

Dhisa meringis. "Tapi kamu ikhlas ngga? Aku ngga mau kalo terpaksa."

"Ya elah, kamu ngeraguin ketulusanku?" tanyanya balik.

"Ya, ngga gitu, Den. Besok aku usahain udah bisa masak dikit-dikit, deh. Panasin frozen food, masak telur, masak makanan instan, masak sayuran simple, pokoknya yang kayak gitu insya Allah masih ok, sih," jelas Dhisa tersenyum menaik-turunkan alisnya.

"Iya, iya. Besok urusan makan gampang, mau beli juga gapapa. Ngga harus masak setiap hari." Suara tenang Raden yang tangannya mengusap pelan kepala Dhisa.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang