49

615 82 14
                                    

Pada hari keenam yang bertepatan di hari Kamis, Dhisa dan Raden mulai melonggarkan agenda berliburnya sebelum kembali pulang. Besok siang di hari ketujuh mereka sudah harus meninggalkan hotel untuk menuju bandara.

Sepasang madu itu mengawali paginya dengan sarapan bersama di hotel. Meskipun masih pukul 07.45, tetapi keduanya sudah terlihat segar. Dengan kompak, mereka berjalan menuju resto untuk mengisi energi di pagi hari setelah nyaris terkuras habis. Perjalanan singkatnya kemarin ternyata cukup membuat mereka terkulai lemas.

"Den, tadi waktu kamu lagi mandi mama telepon." Dhisa membuka obrolan di sela-sela makan pagi.

"Oh, iya? Mama siapa? Terus apa katanya?" tanya Raden.

"Mama kamu. Tapi tadi teleponnya ke HP-mu, sih. Terus mama tanya kabar kayak biasanya sama tanya kapan mau ke rumah? Kayaknya mama sama ayah udah kangen sama kamu, deh."

"Terus kamu jawab apa?" tanya Raden.

"Aku bilangnya minggu depan main ke rumah ayah. Eh, beneran jadi, kan, ya? Tapi aku malah jadi ngga enak, Den. Masa besok kita ke rumah mama papa, tapi ngga ke rumah orang tuamu juga," jawab Dhisa.

"Gapapa santai aja, Sa. Besok Minggu kita main ke rumah ayah, deh," ujar Raden.

"Kenapa ngga sekalian nginap aja habis dari rumah mama papa? Kan, pas banget malam minggu. Aku tuh beneran ngga enak tau," sahut Dhisa.

"Kita aja belum pulang ke rumah, Sa. Nginapnya Minggu depan aja, ya?"

Dhisa masih menimbang-nimbang.

"Udah, tenang aja," lanjut Raden.

"Ya udah, terserah," sahut Dhisa pasrah.

"Nanti kita perginya siang aja, ya," ujar Raden mengalihkan.

"Sore juga gapapa. Kan, cuma mau beli pie susu," sahut Dhisa.

"Katanya mau main ke Canggu?" tanya Raden.

Dhisa sedikit terkejut. "Loh, emang boleh?"

"Boleh, Sayang."

***

Pukul 12.40, Dhisa dan Raden mulai meninggalkan kamar hotel. Tiba-tiba saja Raden mengajaknya main ke Canggu setelah kemarin menolak permintaan Dhisa yang satu itu. 

Tujuan pertama mereka adalah ke salah satu warung makan di Canggu, Warung Varuna namanya. Semacam warteg, tetapi versi modern atau upgrade-nya. Banyaknya kafe, resto, dan warung makan di Bali tak membuat mereka asal untuk mendatanginya. Mereka tetap harus memilah-milah terlebih dahulu.

Di warung makan itu menyediakan menu makanan lokal ala-ala warteg. Namun, suasana yang disuguhkan seperti di kafe-kafe. Tak sedikit turis asing yang mendatangi warung makan ini. Mungkin karena lokasinya juga dekat dengan pantai dan penginapan sehingga menjadi salah satu pilihan yang menarik untuk dikunjungi selain tempat makan lainnya yang berada di sekitarnya.

Setelah mengisi perutnya, mereka melanjutkan perjalanannya ke Pantai Batu Bolong yang letaknya tak jauh dari tempat makan karena hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit saja. Matahari masih terasa terik meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 14.35. 

Dhisa menyempatkan diri untuk bermain air sebentar di tepian saja. Melihat ombak yang cukup besar karena sebenarnya, pantai ini lebih cocok untuk berselancar. Jadi, mereka memutuskan untuk tak berlama-lama di sana.

"Masih jam segini, mau kemana lagi?" Raden melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 15.00. Ia sudah duduk di balik kemudi mobil.

"Mau ke Tanah Lot, tapi kejauhan, ya? Boleh ngga?" Dhisa yang melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Sa..."

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang