23

659 99 14
                                    

Suara klakson terdengar nyaring di setiap sisi jalan. Sore itu, Raden mengendarai motornya dengan hati-hati ke arah kantor Dhisa. Ia datang untuk menjemput perempuan itu atas keinginan dirinya sendiri. Raden tak tega dengan Dhisa yang sedang dalam fase bulanannya itu harus mengendarai motornya sendiri. Padahal bagi Dhisa, ia sudah terbiasa juga untuk menahan rasa nyeri dan tetap beraktivitas seperti biasanya.

"Sa, sorry gue telat dikit, habis tutup bengkel dulu," ucap Raden yang sudah berhenti di tempat Dhisa menunggu.

"Gapapa, Den. Gue malah yang ngerepotin lo, deh, kalo kayak gini," ucap Dhisa yang sudah memakai helm dan duduk di atas motor.

"Ngga repot, Sa," singkat Raden yang mulai mengendarai motornya dengan pelan.

"Masih sakit?" tanya Raden.

"Sedikit, tapi aman, kok," jawab Dhisa.

"Mau mampir makan dulu?" tanya Raden lagi.

"Boleh," singkat Dhisa, lalu Raden mengangguk paham.

Mereka terdiam selama beberapa saat. Raden sesekali mencuri-curi pandang ke Dhisa dari spion motornya. Namun, tiba-tiba ia menangkap raut wajah yang sendu dari perempuan itu.

"Kenapa, Sa?" tanya Raden.

"Den, lihat itu, deh, kasihan bapak itu," ucap Dhisa yang menunjuk seorang pria paruh baya yang sedang duduk di pinggir jalan dengan sepeda gayungnya yang terparkir di sampingnya. Di atas sepeda itu terdapat sekotak yang berisikan donat dagangannya yang masih tersisa cukup banyak.

"Kita berhenti dulu, ya," ucap Raden yang perlahan menepikan motornya. Ia menoleh ke Dhisa dan mendapati matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Bentar, Sa, gue beli donatnya dulu," pamit Raden.

Sementara itu, tanpa sepengetahuan Raden, Dhisa ikut berjalan membuntutinya. Raden memborong donat yang ternyata tersisa sepuluh bungkus. Di sisi lain, Dhisa cenderung lebih banyak diam tak berkutik karena suasana hatinya yang sedang susah ditebak. Ia memandang bapak itu dengan iba sembari memanjakan doa dalam hatinya. Tanpa sadar, tangannya sudah merangkul lengan Raden sedari tadi.

"Matur nuwun, Mas, Mbak, semoga rezekinya lancar, sehat-sehat, dan langgeng jadi suami-istri," ucap si bapak yang merasa terharu lantaran donatnya habis terjual.

"Aamiin. Semoga rezeki Bapak juga dilancarkan dan sehat-sehat terus, ya, Pak," jawab Raden.

"Aamiin. Terima kasih, Mas," ucap si bapak yang mulai terlihat sumringah.

"Monggo, Pak," pamit Raden dan Dhisa yang tersenyum sembari sedikit menundukkan badannya untuk berpamitan.

Raden kembali mengendarai motornya, sedangkan Dhisa masih termenung sembari mengamati hiruk-pikuk kemacetan di jalan. Suasana hati Dhisa yang semula sendu, mendadak mulai menghangat kala melihat salah satu pengendara motor yang tengah bersama keluarga kecilnya.

Seorang anak laki-laki yang berdiri di bagian depan jok motor dengan kedua tangan kecilnya yang memegang tangkai spion, lalu di belakang anak itu terdapat seorang pria yang tengah mengendarai motornya dengan seorang wanita yang duduk di belakangnya. Pria dan wanita itu ia simpulkan sebagai orang tua si anak laki-laki. Sering kali kedua orang tua anak itu menanggapi pertanyaan nyeleneh serta cerita singkat mengenai teman sekolah si anak.

"Udah ngga sedih?" tanya Raden yang mencuri pandang dari kaca spionnya.

"Ngga, sekarang lagi terharu," singkat Dhisa.

Raden hanya mengernyit bingung.

"Gara-gara lihat keluarga itu," sambung Dhisa yang menunjuk ke arah yang tak jauh darinya.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang