Hanya dalam hitungan hari saja Raden dan Dhisa akan berganti status. Tujuh hari menjelang pernikahan rasanya seperti manis, asam, asin campur menjadi satu. Segala urusan mengenai persiapan acara juga sudah selesai, hanya menunggu hari H saja. Sementara itu, akad nikah mereka akan dilangsungkan pada hari Jumat depan.
Demi kelancaran semuanya, Raden dan Dhisa memutuskan untuk mengikuti saran keluarga besar dari pihak Raden yang mengharuskan untuk dipingit. Untungnya setelah Raden melakukan tawar-menawar, tradisi pingitan ini hanya perlu dijalankannya mulai dari tujuh hari sebelum acara diselenggarakan, bahkan tadinya disarankan sedari dua minggu sebelumnya.
Sebelum mulainya tradisi pingitan ini, Raden dan Dhisa kembali mengisi barang-barang di rumah Concat, terutama pada kamar utama yang akan mereka tempati. Yang tadinya rumah itu terasa lega karena baru terisi barang dan perabotan seadanya, sekarang sudah terasa suasana rumahnya. Dhisa juga ikut turun tangan untuk menghias beberapa sudut ruangan.
Dan per hari ini, mereka mulai dipingit. Tak ada rutinitas weekend bersama pada minggu ini, tetapi pertemuan mereka di akhir pekan depan justru sudah memulai babak baru kehidupan. Selain itu, selama menjalani pingitan Dhisa tetap akan bekerja secara WFH sampai hari Rabu, kemudian ia akan mengambil cuti delapan hari untuk menikah sekalian berbulan madu. Sedangkan Raden akan tetap bekerja di bengkel sampai hari Rabu dan sisanya biar nanti ia serahkan sementara pada Sholeh dan Putra sembari memantau dari jauh. Dhisa dan Raden juga membuat kesepakatan untuk tak membuka ruang komunikasi, bertemu, serta bepergian selama dipingit, kecuali bepergian untuk urusan kerja yang hanya berlaku bagi Raden.
"Mas, kamu tinggal di rumah Ayah dulu, ya, selama dipingit. Ngga usah ke rumah Concat, nanti rumahnya biar dibersihkan sama Mbak Emi aja," ujar Mama Arum.
"Iya, Ma," jawab Raden.
"Ingat, kamu jangan ketemu Dhisa dulu," perintah Mama Arum.
"Iya, ingat, kok," sahut Raden.
"Ngga usah nekat, ya, Mas," ujar Mama Arum lagi.
"Iya, Mama," jawab Raden dengan senyum terpaksa.
"Mas, sini," panggil Gendhis yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Kenapa?" tanya Raden datar.
"Sini, maskeran dulu biar besok waktu nikah wajahnya agak cerahan dikit," ucap Gendhis.
"Ah, ngga perlulah kayak begitu-begitu," tolak Raden.
"Iya, tuh, kamu perawatan dulu sama Gendhis sana. Kan, ngga cuma perempuan aja yang perlu perawatan diri," ujar Mama Arum.
"Kan, aku udah cuci muka sama mandi tiap hari, Ma," timpal Raden.
"Ya, tetap harus ditambah sama perawatan yang lain, Mas," ujar Mama Arum.
"Iya, Mas, nurut aja kenapa, sih? Lagian biar Mbak Dhisa pangling waktu liat suaminya nanti," sahut Gendhis.
"Ya udah, kamu jangan kasih yang aneh-aneh, ya," ujar Raden.
"Iya, cuma masker sama basic skincare doang," jawab Gendhis.
Raden melangkahkan kaki menjauh dari Mama Arum dan beralih ke tempat Gendhis. Ia pasrah untuk menyerahkan wajahnya yang akan diotak-atik oleh adiknya itu. Lagi pula, siapa tahu nantinya benar-benar manjur untuk membuat Dhisa pangling dengan ketampanannya.
Setelah itu, Gendhis mulai membersihkan wajah Raden terlebih dahulu, lalu ia mengusap toner di wajah Raden, dan menempelkan sheet mask. Sementara itu, Raden tetap terdiam pasrah.
"Udah?" tanya Raden.
"Tunggu sekitar 20 menit, habis itu pakai moisturizer yang aku taruh di meja, ya. Aku mau ke kamar dulu," sahut Gendhis.

KAMU SEDANG MEMBACA
BINAR
ФанфикDhisa adalah seorang wanita single yang menyukai traveling. Ya, bisa dibilang travelingnya masih yang dekat-dekat aja, sih, di sekitar Pulau Jawa. Dhisa memiliki saudara sepupu yang akrab sejak kecil sampai saat ini, yaitu Noura. Noura ini memiliki...