14

1.6K 129 13
                                    

Malamnya, Raden benar-benar mendatangi rumah Dhisa. Ia membawa paper bag yang berisi sepatu Dhisa yang tertinggal di mobilnya. Tak lupa juga ia membawa sedikit oleh-oleh seperti buah dan kue untuk keluarganya Dhisa di rumah. Sesampainya di depan pintu rumah Dhisa, Raden segera disambut oleh Mama Dita. Si tuan rumah mempersilahkan masuk sembari mengajak tamunya berbincang basa-basi. Lalu Raden juga mengulurkan oleh-oleh yang dibawanya pada Mama Dita.

"Mas Raden, kok pakai repot-repot bawa ini segala. Makasih, ya, Mas. Sebentar, tak panggil Dhisa dulu," ucap Mama Dita yang menerima pemberian Raden dan berlalu setelah Raden menjawab dengan anggukkan kepala.

Raden yang tengah duduk di sofa ruang tamu sendirian sambil memainkan layar ponselnya itu tak sadar jika ada seseorang yang mulai mendekat.

"Raden, sorry lo jadi repot-repot ke sini," ujar Dhisa yang sudah bergabung dengan Raden di ruang tamu. Ia duduk di sofa depan Raden.

"Eh, ngga kok, Sa. Keadaan lo gimana sekarang? Masih kerasa pusing-pusing nya?" tanya Raden.

"Tinggal dikit doang, udah minum obat juga kok tadi," jawab Dhisa yang tersenyum santai. 

"Oh iya, sepatu gue mana?" tanya Dhisa lagi.

"Ini, Sa." Raden yang menyodorkan paper bag ke Dhisa.

"Makasih, ya, Den. Gue ngga ngecek barang gue lagi kemarin. Yang kebawa cuma tas yang isinya baju ganti aja," ucap Dhisa merasa tak enak.

"Udah gapapa, Sa, santai aja. Gue juga minta maaf karena kemarin gue pakai ajak lo kondangan segala, terus pulangnya juga malah main ke daerah yang dingin. Maaf, ya, Sa," ucap Raden yang merasa bersalah.

"Apa sih, Den. Emang daya tahan tubuh gue aja yang lagi lemah. Besok juga udah normal lagi, kok," jawab Dhisa yang mencoba mencairkan suasana.

"Loh, Mas Raden. Sehat, Mas?" sapa Papa Adi yang baru saja bergabung disela-sela perdebatan kecil Raden dan Dhisa.

Raden berdiri dan menyalami Papa Adi. "Sehat, alhamdulillah. Bapak gimana, sehat?" Raden tersenyum ramah kemudian.

"Sehat, Mas. Sa, kamu buatkan minum Mas Raden dulu sana," ujar Papa Adi yang langsung memerintah Dhisa untuk membuatkan minum.

"Mau kopi atau teh, Den?" tanya Dhisa.

"Teh aja, Sa," jawab Raden.

"Papa juga teh aja," sahut Papa Adi. Dhisa menganggukkan kepala dan segera berlalu ke dapur.

"Pak, maaf saya malam-malam malah bertamu ke sini," ucap Raden yang merasa sungkan.

"Santai, Mas Raden. Ini juga belum malam banget, masih jam tujuh. Gimana, nih, Mas, sama Dhisa? Kok kayaknya makin dekat aja sekarang. Mamanya Dhisa juga cerita-cerita sedikitlah ke saya," ucap Papa Adi santai. Sedangkan Raden terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu.

"Iya, Pak. Saya minta maaf kalau udah beberapa kali mengajak Dhisa bepergian," ucap Raden yang sedikit canggung. Papa Adi mengangguk-anggukkan kepala dengan senyum tipisnya.

"Maaf sebelumnya, Pak. Saya mau menyampaikan sesuatu," ujarnya lagi dengan senyum ragu-ragunya sembari membenahi posisi duduknya.

"Gimana, Mas?" tanya Papa Adi yang ikut menegakkan posisi duduknya.

"Gini, saya juga mau minta izin sama Bapak untuk dekat dengan Dhisa. Sebenarnya, sekarang pun di antara saya dan Dhisa memang belum ada hubungan yang resmi atau lebih terikat. Karena saya rasa, kami juga masih perlu menjalani masa-masa pendekatan dulu entah ke depannya nanti akan bagaimana. Tapi seandainya besok memang sudah ditakdirkan buat bersama, saya mohon doanya, ya, Pak," lanjut Raden yang sedikit gugup karena ini terlalu mendadak baginya. Sungguh, perasaan Raden malam ini seketika campur aduk dengan wajahnya yang sedikit berpeluh.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang