5

848 72 2
                                    

Dhisa terbangun dari tidurnya. Ia mengedipkan matanya, lalu mengarahkan pandangannya untuk melihat ke sekeliling. Astaga. Ternyata ia tertidur kurang lebih sudah setengah jam. Dhisa menegakkan posisi duduknya sembari merapikan bentuk jilbabnya. Setelah itu, ia mematikan layar TV yang masih menyala itu dan bergegas keluar dari ruangan Raden.

Keluar dari ruangan Raden, Dhisa memperhatikan setiap sudut bengkel milik Raden. Ia melihat beberapa motor yang sudah dimodifikasi mulai dari yang keluaran lama sampai keluaran baru. Lalu netranya menangkap Raden yang masih sibuk mengotak-atik motor pelanggan hingga tampak berkeringat. Raden tak sendiri di sana, ia dibantu oleh dua orang pegawainya. Kemudian Dhisa melangkahkan kakinya untuk mendekati Raden.

"Eh, nyenyak, Sa?" tanya Raden santai yang melihat Dhisa sekilas lalu kembali fokus untuk mengotak-atik motor pelanggannya.

"Lah, lo tau gue tidur? Kenapa ngga dibangunin?" tanya Dhisa dengan lirih. Sejujurnya, ia menahan rasa malu.

"Santai, Sa. Gue emang sengaja ngga bangunin lo, kok. Oh iya, tuh motor lo udah beres," ucap Raden menunjuk motor putih milik Dhisa.

"Mbak, itu motornya udah kinclong, tadi saya cuci sekalian," ujar salah satu pegawai Raden dengan suara khas medoknya. Dhisa tersenyum kikuk dan membalas dengan anggukan.

"Ya udah, gue balik dulu ya, Den. Habis berapa ini servisnya?" tanya Dhisa.

"Udah bawa aja, Sa," jawab Raden yang masih fokus dengan motor pelanggannya.

"Eh, mana bisa begitu? Buruan berapa?" cecar Dhisa.

"Bawa aja, Sa, gapapa. Gue ikhlas. Sumpah," ucap Raden lembut sembari mengacungkan dua jari.

"Ih, jangan bikin gue ngerasa berhutang sama lo gitu, dong," ujar Dhisa dengan pasrah.

"Udah gue bilang gapapa, Sa. Kan gue yang nyuruh lo dateng ke bengkel. Anggap aja rejeki buat lo," sahut Raden yang tak mau kalah itu.

"Ya udah, makasih banyak ya, Den. Lo kenapa baik banget sih? Terharu gue. Eh, tapi dua atau tiga bulan lagi lo harus nyuruh gue ke bengkel lagi ya," ucap Dhisa yang pasrah pada akhirnya dan tak lupa dengan sedikit candaan.

"Iya, iya, lo tenang aja, Sa. Tapi pas lo dateng bengkelnya gue tutup," jawab Raden dengan kekehan.

"Nanti gue dobrak," celetuk Dhisa.

"Dih, jagoan lo?" tanya Raden. Tanpa sadar mereka pun saling melempar tawa. 

Raden mengedarkan pandangannya ke arah jalanan depan bengkel. "Eh, panasnya udah mulai terik banget ini. Lo buruan pulang ya, Sa," Raden menunjuk langit dengan dagunya.

"Ih, iya lagi. Tapi serius, Den, gue beneran mau berterima kasih banyak sama lo. Kalo gini kan gue jadi enak," ujar Dhisa.

Raden terkekeh. "Iya, Sa. Makasih juga udah mau dateng ke sini. Hati-hati di jalan, ya."

Dhisa mulai menaiki motornya. "Bye, Raden." Dhisa melambai-lambaikan tangannya dari atas motor. Ia sudah siap untuk mengendarai motornya. Raden pun membalas lambaian tangannya dan kembali tersenyum saat Dhisa sudah mulai menjauh.

Sementara itu, Oman yang baru saja sampai dan turun dari motornya bingung melihat Raden yang tersenyum sendiri. "Kenapa lo sumringah gitu?" Raden menggaruk tengkuk lehernya dan membalas dengan menggelengkan kepala.

***

Sesampainya Dhisa di rumah, ia dikejutkan oleh kehadiran kakak laki-lakinya, Mas Dhika. Melihat itu, Dhisa langsung girang dan segera menghambur ke pelukan sang kakak. Hampir sebulan lamanya ia tak berjumpa Mas Dhika. Kakaknya itu sibuk bekerja di Surabaya. Selain itu, Mas Dhika tengah sibuk mengurus pernikahannya yang tinggal bulan depan lagi. Calonnya merupakan orang Surabaya dan sempat bekerja di satu kantor dengan Eva, calon Mas Dhika. Ngomong-ngomong, selisih umur Dhisa dengan kakaknya lima tahun. Jadi, tahun ini tepat memasuki kepala tiga umur Mas Dhika.

Setelah puas melepas rindu, Dhisa bergegas ke kamar untuk mengganti bajunya supaya lebih nyaman. Lalu kembali menyusul orang rumah lainnya yang tengah berkumpul di meja makan. Mereka semua saat ini sedang menikmati family time yang sudah jarang dilakukan secara full team seperti ini. Apalagi nanti kalau Mas Dhika sudah berkeluarga, sudah jelas ia akan memprioritaskan keluarga kecilnya. Dhisa merasa sedih jika membayangkan hal itu. Tetapi bukan berarti ia tak rela kalau kakaknya akan menikah. Ya, pokoknya begitulah rasanya, susah diungkapkan.

***

Malam Minggu kali ini, Dhisa memilih me time di kamarnya. Ia menonton film-film yang sedang ramai diperbincangkan oleh teman-temannya atau yang menarik baginya. Sedangkan orang tua dan Mas Dhika tengah pergi mencari barang untuk keperluan pernikahan kakaknya nanti. Tinggal lah Dhisa sendiri di rumah. Ia sengaja tak ikut keluarga pergi supaya bisa me time karena besok Minggu pun ia akan ikut untuk mencari keperluan lainnya bersama orang tua dan kakaknya juga.

Layar laptop Dhisa sedang menayangkan film ber-genre thriller. Ini adalah film kedua yang ditontonnya. Saat ini, ia menonton film dengan ditemani beberapa camilan ringan dan pastinya Beno, kucingnya. Kali ini tayangan filmnya cukup menegangkan dan membuat fokusnya penuh pada tontonannya itu. Sesekali ia bergidik ngeri sembari menutup mata juga menggigit bantalnya saat menampilkan adegan yang cukup mengerikan.

Layar handphone Dhisa menyala, menandakan adanya notifikasi masuk. Namun, ia tak menggubris. Fokusnya masih tetap pada film yang ditonton. Tak lama, nada dering telepon terdengar, rupanya Noura yang menelepon. Dhisa menjeda film yang sedang ditonton dan ia mengangkat telepon dari Noura. Ternyata Noura menanyakan keberadaan Dhisa apakah dirinya sedang bepergian atau sedang ada urusan lainnya. Dhisa pun menjelaskan kalau dirinya yang saat ini sedang santai di rumah.

"Sa, gue nginep di sana, ya, malam ini," izin Noura dari seberang sana.

"Ya udah ke sini aja kali, kayak baru sekali dua kali aja lo," balas Dhisa.

Noura terkekeh pelan. "Ok, habis ini gue otw, ya. Bye, sayangku." Sambungan telepon langsung terputus. Tak ambil pusing, Dhisa langsung melanjutkan acara menontonnya.

***

"Gila kali ya, masa tadi klien gue ajak pemotretan di terowongan gitu, Sa. Mana deket rel kereta banget. Terus, ya, kanan-kirinya kayak semak-semak gitu. Gue kan jadi ngeri sendiri, ya. Mana perginya udah subuh-subuh, eh sampai sana masih harus nungguin si klien ini satu setengah jam. Duh, untung gue anaknya sabar. Tadi dua temen gue mukanya udah mulai ngga enak dipandang pokoknya. Untung kita semua tetap profesional," antusias Noura yang menceritakan tentang kerjaannya hari ini.

"Buset, untung aja gue ngga jadi ikut. Apa ngga jengkel kalo gue mesti nungguin kalian di tempat yang jauh dari pemukiman warga kayak gitu," sahut Dhisa yang tak kalah antusias.

"Ish, iya lagi. Untung aja lo ada alasan buat nolak ajakan gue semalam. Dan alhamdulillah-nya hasil fotonya cakep-cakep, sih," ujar Noura sembari menetralkan deru nafasnya setelah mencurahkan isi hatinya dengan menggebu-gebu.

"In hale - ex hale dulu, Ra. Jadi ikutan engap gue," perintah Dhisa sambil terkekeh.

"Tapi tadi pagi lo beneran jadi servis motor, kan? Bukan cuma wacana aja, kan?" tanya Noura curiga.

"Jadi lah, daripada nanti-nanti malah keburu sekarat motor kesayangan gue," jawab Dhisa.

"Oh, gue kira ngga jadi," kata Noura meringis.

"Oh iya, tadi gue servis motor ke bengkel Raden," ujar Dhisa.

"Loh? Udah sejauh apa lo sama Mas Raden? Kok tiba-tiba gitu ke bengkelnya?" tanya Noura.

"Lah, gue mah emang ramah sama semua teman gue. Radennya juga nyuruh gue main ke bengkel, kok," jawab Dhisa santai.

Noura menatap curiga pada Dhisa. "Ih, serius ngga, sih? Tapi gapapa juga kali kalo emang lagi dekat."

"Apa sih? Teman doang, Ra. Udahlah, gue mau lanjut nonton film lagi," ucap Dhisa yang mengalihkan pembicaraan. Akhirnya, ia kembali memilah-milah tayangan film yang akan ditontonnya. Dan kini, dirinya sudah siap untuk melanjutkan acara menontonnya yang sempat tertunda itu.

***

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang