Udara siang di area villa terasa sejuk. Sesuai rencana, hari ini, mereka menikmati waktu berdua untuk menyegarkan pikiran dan menata hati serta menyiapkan mental tipis-tipis sebelum resmi menjadi orang tua dalam beberapa minggu ke depan.
Tadinya mereka merencanakan berlibur untuk dua malam, tetapi Ayah Wira mewanti-wanti jika baiknya menginap semalam saja. Tak mau banyak berdebat, akhirnya Raden dan Dhisa mengiyakan pesan dari orang tua.
Dhisa dan Raden tengah berbincang di sofa sembari menikmati pemandangan alam dengan ditemani segelas minuman hangat.
"Sa, kamu ada unek-unek yang mau dibagi ke aku, ngga?" tanya Raden.
Dhisa mengangguk. "Akhir-akhir ini, aku selalu kepikiran kira-kira bisa ngga, ya, jadi ibu? Tapi di sisi lain, aku senang dan ngga sabar ketemu anak sendiri. Selama ini, aku sering ajak dia ngobrol meskipun cuma searah. Jadi, masih kayak meraba-raba aja rasanya jadi ibu tuh gimana. Kalau kamu gimana? Aku tahu kamu kelihatan santai aja selama ini, tapi aslinya kepikiran juga, ya?" Ia menyandarkan kepalanya di bahu Raden.
Raden mengiyakan. "Aku dengan versi seorang ayah nanti bakal gimana, ya? Sama kamu aja aku udah ngerasa cukup. Bahagiaku makin lengkap waktu beneran keturutan dikasih anak meskipun tetap ada ketakutan-ketakutan lainnya."
"Den, kita bisa sabar, mengerti, dan bahagiain anak kita, kan?" Dhisa menatap Raden dengan dalam.
Raden mengecup kening Dhisa. "Ngga bisa menjamin semuanya sesuai ekspektasi kita sekarang, sih. Yang jelas ke depannya nanti kita tetap sambil belajar dan harus hadapi sama-sama, ya."
"Maaf, ya, kalau besok-besok aku jadi lebih fokus ke anak daripada kasih perhatian ke kamu," ucap Dhisa.
"Anak itu tanggung jawab kita, Sa. Semuanya kita urus bareng-bareng biar sama-sama ngerasain capeknya dan tahu tumbuh kembangnya."
"Tapi tetap aja pasti ada masanya kita sama-sama capek ngurus anak, rumah, pasangan, dan diri sendiri. Kalau sampe kita perang dingin gara-gara itu, tolong jangan bikin aku tambah pusing, ya. Kayaknya lebih baik kita tenangin diri masing-masing sebelum selesaiin semuanya dengan kepala dingin," ujar Dhisa.
"Iya, Sayang. Maaf juga kalau nanti secara ngga sadar aku malah nambah-nambah bebanmu. Mungkin ada kalanya aku lebih mengutamakan egoku sebagai seorang suami," sahut Raden.
Dhisa memandang Raden dengan lekat. "Namanya juga hidup berkeluarga dan serumah, pasti bakal ada kumpulan emosi yang meledak di waktu-waktu tertentu, kan? Tapi aku harap, sih, kita tetap bisa hadapi dengan baik semua overwhelming itu," kata Dhisa.
Raden memeluk erat tubuh Dhisa meskipun terhalang dengan perut bulat sang istri. "Sa, aku bisa adil ngga, ya, sama kalian? Kalau nantinya aku lebih condong ke kamu gimana?"
Dhisa menyembunyikan senyum gelinya di pelukan Raden, lalu bergerak mengecup pipi kanan Raden. "Ya, asal ngga semena-mena sama anak sendiri."
"Engga lah. Kan, tetap sayang dua-duanya, tapi mungkin lebih besar ke kamu," ujar Raden.
"Halah."
Raden membungkukkan tubuhnya sejajar dengan perut Dhisa. "Anak Ayah makin tumbuh besar di perut Ibu. Kalau udah lahir nanti, kamu ketemu Ayah sama Ibu di sini. Semoga jadi anak yang baik dan pintar, ya, Nak. Jangan rewel terus."
"Aamiin. Semoga, ya," jawab Dhisa.
Setelah mengelus-elus perut Dhisa dan memberi kecupan kasih sayang di sana, ia beralih mengecup bibir dan kedua pipinya.
"Habis ini mau ke mana? Masa di kamar doang dari tadi," celetuk Dhisa yang masih dikurung dalam pelukan.
"Cari kafe aja kali, ya. Harusnya di daerah sini ada kafe yang punya view bagus," jawab Raden.

KAMU SEDANG MEMBACA
BINAR
FanfictionDhisa adalah seorang wanita single yang menyukai traveling. Ya, bisa dibilang travelingnya masih yang dekat-dekat aja, sih, di sekitar Pulau Jawa. Dhisa memiliki saudara sepupu yang akrab sejak kecil sampai saat ini, yaitu Noura. Noura ini memiliki...