22

1.4K 127 10
                                    

Puas dengan bermain di hamparan air sembari berpose ria, Dhisa dan Gendhis memutuskan untuk kembali ke tempat bersantainya tadi. Raden yang sudah berpindah posisi menjadi rebahan dengan menutup wajahnya dengan topi itu sampai tak menyadari kedatangan dua perempuan itu. Dhisa dan Gendhis menempatkan dirinya di atas tikar sambil membersihkan sisa-sisa pasir pantai yang menempel pada kaki dan celananya.

"Panas banget," keluh Gendhis.

"Loh, kok, udah hampir jam setengah satu? Perasaan kita sampai sininya jam setengah sebelas, ya, Mbak," ucap Gendhis lagi yang melihat jam di pergelangan tangannya.

"Ya, iyalah, kamu aja foto-fotonya sampai ke setiap sudut," sahut Dhisa yang membuat Gendhis terkekeh.

"Mbak, lihat itu, deh. Aku bilang juga apa, Mas Raden pasti tidur. Ngga seru, kan," ujar Gendhis yang melihat ke arah Raden yang sedang tertidur pulas.

"Udah, biarin, dia kayaknya kecapaian. Lagian kasihan juga kalo dipaksa ikut main air sama kita, takutnya masuk angin si bapak ini," ucap Dhisa asal.

"Halah, nanti malam juga dia udah pakai koyo, Mbak," sahut Gendhis membuat meringis geli.

"Ya udah, deh, kita siap-siap balik, yuk. Kalo nanti-nanti takutnya bukan cuma pakai koyo, tapi udah kerokan juga pasti," celetuk Dhisa.

"Permisi, Mas. Durasi sewa tikarnya sudah habis," ucap Gendhis ketika membangunkan Raden.

"Iy—eh? Ganggu aja, nih, bocah," sahut Raden yang langsung terduduk duduk dan tersadar kalo itu ulah adiknya.

"Den, siap-siap pulang, yuk, tapi kita mampir ke mushola dulu. Tadi aku lihat ada di sebelah sana," ajak Dhisa mengalihkan kekesalan Raden.

"Iya, Sa," jawab Raden.

"Mbak, kita duluan ajalah. Biar tikarnya Mas Raden yang bawa. Orangnya masih ngumpulin nyawa itu," ajak Gendhis yang sudah menenteng kantong sisa camilan tadi.

***

Saat di perjalanan pulang, Dhisa berpindah posisi menjadi duduk di kursi penumpang sebelah Raden, sedangkan Gendhis sudah tertidur pulas di kursi belakang. Perjalanan ini mungkin akan memakan waktu hampir dua jam karena kondisi jalan yang cenderung ramai oleh wisatawan. Tadi mereka juga sempat mampir ke tempat makan yang dilewati karena sudah waktunya untuk mengisi energi setelah lelah bermain di pantai. Dan sekarang, Raden melajukan mobilnya ke arah kedai gelato, sesuai janjinya tadi.

"Sa, harusnya kita berduaan aja, ya, perginya," ucap Raden yang masih fokus menyetir.

"Kan, udah sering, Den. Sekali-sekali perginya sama Gendhis juga gapapa padahal," timpal Dhisa.

"Diganggu mulu sama Gendhis," keluh Raden.

"Ya udah, sekarang juga orangnya lagi tidur. Ngga ada yang ganggu lagi, kan," ucap Dhisa santai.

Raden meraih tangan Dhisa untuk digenggam dan membawa ke pangkuannya. "Tahun depan kelamaan ngga, Sa?"

"Apanya?" tanya Dhisa balik.

"Nikah," singkatnya.

"E—eh, ngga, kok. Gue juga ngga ngebet, Den. Santai aja, ya, pokoknya. Jangan buru-buru," ucap Dhisa sedikit gugup.

"Kok lo kayak panik gitu, sih? Emang gue doang, ya, yang berharap?" tanya Raden dengan lesu.

"Ngga gitu, gue kaget aja. Lo juga buru-buru amat mau ngapain, sih?" keluh Dhisa.

"Ya, daripada keduluan sama berondong," ucap Raden asal.

"Lagian masih banyak yang harus kita obrolin sebelum ke jenjang itu, Den. Gue mau, kok, tapi sabar dulu, ya," ucap Dhisa.

BINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang