Masa lalu

406 35 0
                                    

Michael terbaring lemah di sebuah ranjang putih.
Sebagian tubuhnya terbalut perban putih dimana beberapa bercak darah merah masih menghiasinya.
Luka gores pada wajahnya dibiarkan begitu saja karena hanya goresan kecil terkena cakaran gagak hitam.
Keringat dingin mulai membasuh tubuhnya.
Menetes pelan di kedua pelipisnya.
Terlihat dari mimik wajahnya ia seperti mengalami mimpi yang begitu buruk.

"Kau janji kau akan menjagaku kak.
Namun kau malah menyakitiku seperti ini.
Mengapa kau meninggalkanku?
Aku membencimu kak.
Hingga seluruh urat nadiku aku sangat membencimu.
Selamat tinggal."

"Tidak! Shannon!" teriak Michael sambil terduduk di ranjang.

Tangan kanannya mengulur ke depan seakan ingin menggapai sesuatu atau ingin mencegah sesuatu.
Ia pun memegangi kepalanya yang sakit dan sedikit meringis kesakitan.
Ia beralih menekan dada kirinya.
Tanpa ia sadari beberapa tetes air mata mengalir cepat di kedua sisi wajahnya menyatu dengan keringat dingin yang melumurinya.

Ia mulai terisak lalu mengerang kesakitan sambil terus menekan dadanya.
Ia pun meluapkan rasa sakit itu dalam tangis yang penuh dengan kepedihan.
Suara tangisannya begitu menyayat hati.

Sejak saat itu, dimana Evil memberikan hadiah kepadanya yaitu kesempatan melihat kehidupannya sebelumnya.
Sejak itu ia mulai sangat menderita dan terkadang tanpa ia sadari air matanya mengalir tanpa mau berhenti.

"Apa kau ingin menceritakan apa yang terjadi padamu?
Aku tak bisa melihatmu seperti ini terus." ujar Mark khawatir.

"Aku telah berdosa padanya Mark.
Aku berdosa pada Chiellyn.
Inilah saatku membalas kesalahanku waktu itu.
Aku telah begitu melukainya." ucap Michael sedih sambil berurai air mata.

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Chiellyn di masa lalu?" tanya Mark penasaran sambil memberikan sehelai tisu kepadanya.

"Dia adikku.
Adik kandungku." ujar Michael sambil menyahut tisu dari tangan Mark.

"Lalu?" tanya Mark.

"Aku dibodohi oleh teman-temanku.
Ia memberikan sebuah barang yang benar dimana dari dulu aku sangat menginginkannya.
Aku mencarinya kemana-mana namun tak menemukannya.
Ternyata teman sekelasku memilikinya.
Ia bilang padaku akan memberikan barang itu tapi aku harus mengenalkannya pada adikku.
Pertama aku sempat menolak, namun ia bersikeras bahwa ia hanya mau kenalan saja.
Ia berjanji tak akan melukainya.
Aku pun mengiyakannya tanpa menaruh curiga sedikitpun.

Aku sangat menyayangi adikku yang waktu itu bernama Shannon.
Dia yang sekarang bernama Chiellyn.
Aku pun mengenalkannya pada Shannon.
Beberapa hari kemudian Shannon bilang padaku bahwa ia tak menyukai temanku itu.
Ia bilang bahwa ia jahat.

Aku tak mempercayainya karena selama ini ia begitu baik padaku juga Shannon.
Setiap kali ia datang ke rumah ia selalu membawa hadiah macam-macam untuk Shannon.
Ia juga sering berbagi makanan denganku saat di sekolah.

Suatu malam aku sedang keluar dengan adikku.
Kami sedang makan es krim di sebuah kedai makanan waktu itu.
Aku bertemu dengannya.
Ia bilang padaku bahwa ia akan mengantarkan adikku pulang.
Ia memohon padaku dan berjanji tak akan melukainya.
Ia hanya ingin sedikit waktu mendekatinya.
Aku pun menyetujuinya.
Aku pun bilang kepada adikku bahwa aku ada urusan dengan temanku yang lain dan aku menyerahkannya pada temanku waktu itu.

Shannon sempat menolak dan ingin ikut denganku saja.
Namun aku mencegahnya dan membujuknya bahwa temanku itu baik.
Entah mengapa waktu itu aku meninggalkannya.

Aku pun pulang duluan ke rumah.
Beberapa jam kemudian Shannon pulang dengan tubuh basah kuyub karena hujan deras malam itu.
Aku pun langsung menyuruhnya mengganti pakaian.
Aku melihat ada yang aneh pada dirinya waktu itu.
Aku bertanya ada apa dengannya apakah temanku itu melukainya, namun ia hanya menggeleng dan masuk ke dalam kamarnya.

Tak lama kemudian ia sudah berganti baju dengan baju yang kering.
Aku sedang membuat makan malam waktu itu karena orang tua kami sedang pergi ke luar kota.
Shannon membantuku memasak malam itu.
Ia membantuku mengiris wortel untuk campuran soup.

Aku pun menyiapkan meja yang akan kami pakai untuk makan.
Aku pun bertanya bagaimana tadi dengan temanku.

Tiba-tiba ia menghentikan irisan pisaunya dan tersenyum kecil."

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang