Maaf

393 29 0
                                    

Sudah beberapa minggu Boy dirawat inap di rumah sakit.
Mark tak henti-hentinya menemani Boy di rumah sakit.
Felix berusaha sekuat kemampuannya mengembalikan kesehatan Boy.

"Pulanglah dulu.
Biar aku dan Chiellyn yang menemani Boy kali ini.
Kau butuh istirahat Mark." ujar Michael.

"Iya kak.
Biar aku yang menemani Boy.
Kak Mark istirahatlah meskipun itu hanya sejenak." ucapku.

"Tapi berat bagiku meninggalkannya." ujar Mark.

"Hei!
Dia baik-baik saja.
Lihatlah sekarang dia sedang tertidur pulas.
Pulanglah sekarang, setidaknya kamu perlu ganti baju dulu kan." ucap Michael.

"Haha...kau benar.
Baiklah, aku akan pulang sebentar.
Nanti sore aku akan kembali.
Aku titip Boy pada kalian ya." ujar Mark.

"Beres." jawabku.

Mark pun akhirnya pulang ke rumah.
Aku dan Michael menemani Boy yang sedari tadi pulas dalam lelapnya.
Tak terasa waktu berlalu semakin cepat.
Seperti yang dikatakan Mark saat senja hampir tiba ia telah kembali.

"Kalian pulanglah.
Biar aku yang menjaganya.
Michael kau antar Chiellyn pulang.
Kasihan dia seharian sudah menggantikan aku." ujar Mark.

"Baru juga setengah hari kak." ucapku.

"Tetap saja ini sudah hampir malam.
Nanti om Eros dan nenekmu mencarimu.
Bagaimanapun kau harus istirahat juga.
Kalo mau besok baru kembalilah lagi kemari." ucap Mark.

"Huffthh...baiklah." jawabku malas.

"Ayo Chiellyn.
Kita pulang.
Mark aku antar Chiellyn dulu." pamit Michael.

"Iya.
Hati-hati." ujar Mark.

Aku dan Michael berjalan ke arah parkiran mobil.
Kami pun menaiki mobil lalu melaju meninggalkan rumah sakit.

"Chiellyn, gimana kalo kita makan malam dulu.
Aku lapar." ajak Michael.

"Boleh boleh.
Setuju, aku juga lapar." jawabku senang.

"Kamu mau makan apa?" tanya Michael.

"Hmmm...apa ya?
Aku sih pengen makan seafood kak.
Kalo kak Michael pengen makan apa?" tanyaku.

"Aku ikut kamu aja.
Kalau gitu kita cari restoran seafood ya." ujar Michael sambil tersenyum padaku.

Aku hanya mengangguk senang.
Tak lama kemudian kami sampai di sebuah restoran seafood mewah.
Kami memilih makan di luar ruangan sambil menikmati angin malam.

"Chiellyn, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu." ucap Michael.

"Tentang apa?" tanyaku.

"Begini, bagaimana ya mengatakannya.
Jika ada seseorang yang pernah menyakitimu hingga sesakit-sakitnya sampai kau ingin mati ,apakah kamu akan memaafkannya?" tanya Michael.

"Memangnya siapa yang menyakitiku sampai seperti itu kak?" tanyaku bingung.

"Maksud aku begini.
Jika dulu kamu punya kehidupan sebelum ini.
Dan kamu meninggal karena disakiti oleh seseorang, apakah sampai di kehidupan sekarang jika kamu bertemu orang itu kamu juga masih akan membencinya atau memaafkannya?" tanya Michael cemas.

"Hmmm...segitu sakitnya sampai membuat aku meninggal ya?
Entahlah, aku tak tahu bagaimana rasanya rasa sakit itu.
Namun jika aku bertemu dengan dia di kehidupan ini, aku tak punya alasan untuk membencinya kan." ujarku.

"Jika kau mengingat rasa sakit itu?" tanya Michael.

"Jika ingat ya?
Kalo memang aku mengingat rasa sakit itu maka aku pasti akan mengajukan perang dingin.
Hahaha..." ucapku sambil tertawa.

"Be...benarkah?
Apakah kau akan mem...membunuhnya?" tanya Michael panik.

"Apa-apaan sih?
Kenapa juga aku harus membunuhnya segala.
Aku kan berperang dingin dengan diriku sendiri.
Mungkin saat mengingat rasa sakit itu maka kebencian juga langsung muncul dalam benakku.
Namun kebijakanku harus aku utamakan dan aku harus berusaha meyakinkan diriku bagaimanapun juga untuk lebih memilih memaafkannya." ucapku.

"Segitu mudah kau memaafkannya?" tanya Michael.

"Yach kenapa tidak.
Jika aku begitu mudah memaafkan orang lain yang menyakitiku aku yakin Tuhan juga dengan mudah memaafkan segala kesalahanku." ujarku sambil tersenyum.

"Oh...begitu ya." ucap Michael sambil tersenyum dan wajah yang bersemu merah.

"Kenapa raut wajahmu senang begitu?" tanyaku.

"Tak apa.
Hanya saja aku senang ternyata kau benar-benar baik ya." ujar Michael senang.

"Tentu saja.
Hahaha..." ujarku sambil tertawa bangga.

"Cih...mulai kepedean." ucap Michael sambil mencibir jahil.

"Yee...biarin." ucapku sambil menjulurkan lidah ke arahnya.

"Cih dasar!" ujar Michael sambil tertawa kecil.

Kami pun makan dan tertawa bersama malam ini.

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang