Sakit

397 29 0
                                    

Sejak kejadian hari itu Boy tak pernah lagi menampakkan senyumnya meski hanya sedikitpun itu.
Ia selalu nampak murung dengan kedua matanya yang sembab.
Mark juga Michael selalu mencoba menghiburnya namun bagaimanapun caranya dan apapun yang diberikan, sunggingan bibir Boy nampak sulit untuk dilakukan.

Karena hal itu ia jadi sulit makan.
Dibujuk bagaimanapun juga ia sangat sulit untuk menelan makanan meskipun sudah masuk ke dalam mulutnya.
Pikirannya begitu berat.
Nampak kantong matanya begitu menghitam karena ia tak pernah bisa tidur juga.

Mark khawatir dengan keadaan Boy yang melemah.
Ia pun memanggil Felix untuk memeriksanya.

"Bagaimana Boy?" tanya Mark.

"Kejadian yang ia lalui membuatnya begitu terpukul.
Jiwanya begitu tertekan hingga mempengaruhi saraf otaknya untuk melemahkan seluruh daya tahan tubuhnya.
Dengan kata lain, ia tak punya lagi kemauan untuk hidup Mark.
Jiwa dan pikirannya harus sembuh agar tubuhnya bisa kembali normal seperti biasa." ujar Felix sedih.

"Apa yang harus aku lakukan Lix? Meskipun kupaksa bagaimanapun ia tak mau makan.
Ia mencoba makan tapi tubuhnya menolaknya.
Ia selalu memuntahkan semua makanan yang ia makan pada akhirnya.
Setiap malam aku mendengar ia selalu menangis sambil memanggil ibu dan adiknya.
Aku tak bisa melihatnya seperti itu Lix." ujar Mark sedih sambil beruraian air mata.

"Aku tahu.
Begitu juga aku tak ingin melihatnya kehilangan semangat hidup seperti itu Mark.
Aku berusaha menyembuhkannya semampuku Mark.
Dia juga sudah kuanggap adikku sendiri." ujar Felix sedih.

"Aku mohon Lix.
Aku harap kau benar-benar bisa menyembuhkannya." ucap Mark memohon.

"Tenang Mark.
Bagaimanapun juga aku akan selalu memprioritaskan keadaannya.
Aku mengerti apa yang kau rasakan.
Aku akan berusaha menyembuhkannya Mark." ucap Felix meyakinkannya.

Mark melangkah perlahan memasuki kamar Boy.
Nampak tubuh kecil Boy terbujur lemah di ranjang putih itu dan sebagian tubuhnya tertutup selimut tebal yang nampak hangat.
Saat Mark berada di dekatnya ia pun duduk di samping ranjang dan membelai lembut kepalanya.
Boy perlahan menoleh dan menatap Mark.
Seperti biasa tatapannya selalu kosong tanpa arti.

"Apa kau merasa sakit Boy?" tanya Mark.

"Selalu kak." ucap Boy sambil kembali menghadap ke atas.

"Boy, Bagaimanapun kamu harus bisa merelakan mereka.
Ibumu pasti tak ingin melihatmu seperti ini. begitu juga dengan adikmu." ucap Mark.

"Kenapa mereka tak ingin melihatku seperti ini?
Apa mereka masih peduli padaku?
Jika iya kenapa mereka pergi dan meninggalkanku sendiri kak?" tanya Boy lemah.

"I..itu karena..." ucapan Mark terhenti.

Mark tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Boy pun dengan keadaan yang sama selalu menatap langit-langit dengan pandangan kosong.
Seiring berjalannya waktu tubuh Boy semakin kurus kering hingga akhirnya ia harus dirawat inap di rumah sakit.

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang