Keraguan

318 28 0
                                    

Suatu hari, Ekhziel bertemu dengan seorang malaikat lain yang baru saja di utus juga ke dunia.
Saat itu Dellion sedang bertugas ke daerah lain.

"Jadi sudah berapa lama kau di dunia?" tanya malaikat yang bernama Jielo itu sambil menyeruput kopi hangatnya.

"Yach...menurut hitungan dunia ini sih sudah hampir dua tahun." ujar Ekhziel.

"Satu bulan saja sudah terasa lama sekali bagiku di sini.
Dunia ini masih sangat asing bagiku.
Manusia-manusia yang hidup di dunia ini seakan tak mau peduli satu sama lain.
Berbeda rasanya dengan keadaan di Surga.
Bagaimana menurutmu?" tanya Jielo.

"Ya begitulah.
Namanya juga manusia.
Mereka tak bisa menjadi makhluk sempurna juga kan." ujar Ekhziel sambil mengaduk-aduk cangkir di hadapannya.

"Apa kau merindukan Surga?" tanya Jielo.

"Surga? Entahlah." ujar Ekhziel ragu.

"Kenapa?
Apa tak ada yang kau rindukan di Surga? Bukankah kau punya sahabat-sahabat yang selalu dekat denganmu selama ini?" tanya Jielo.

"Sahabat?
Oh...Michael dan Markhiel?
Aku bahkan tak tahu kabar mereka sampai saat ini." ujar Ekhziel sedikit sedih.

"Tenanglah.
Aku dengar Michael jadi Captain hebat sekarang.
Kalau Markhiel aku belum dengar kabarnya namun mungkin saja ia juga mengikuti jejak Michael sebagai pemimpin yang hebat bukan." ujar Jielo bangga.

Ekhziel mengepalkan tangannya kuat-kuat hendak menahan emosinya.
Di sisi lain ia membenarkan kata-kata Mammonth yang bilang bahwa kedua sahabatnya itu menjadi pemimpin yang hebat sekarang.

"Akh...senangnya bisa menjadi seorang pemimpin ya.
Andai aku menjadi pemimpin mungkin aku tak akan di utus ke dunia yang seperti ini.
Benar kan?" tanya Jielo.

"Ya..kau benar." ujar Ekhziel sambil tersenyum dingin.

Malamnya,
Ekhziel duduk santai sambil menghangatkan diri dekat perapian.
Suara seorang wanita tua renta memanggilnya.

"Nak Ziel! Nak Ziel! Tolong ambilkan aku minum." ujar nenek itu.

Ekhziel yang masih kalut dengan perbincangannya dengan Jielo tadi siang pun memutuskan menghampiri nenek itu yang terbaring lemah di sebuah ranjang.
Ia mengamati keadaan nenek itu dengan seksama.

"Kau masih punya tangan, juga kaki untuk berjalan.
Kulihat kau juga masih baik-baik saja.
Kenapa untuk minum saja kau menyuruh aku mengambilnya?" tanya Ekhziel dingin.

"Maafkan aku nak Ziel.
Aku hanya sekedar minta tolong padamu." ujar nenek itu sambil berusaha bangun dari ranjangnya meskipun sedikit sulit karena tubuh rapuhnya.

Ekhziel hanya memandangnya dingin.

"Michael dan Markhiel bersenang-senang sebagai pemimpin di Surga, sedangkan aku malah disuruh menjadi penjaga nenek malas ini.
Sial!" pekik Ekhziel.

Tiba-tiba terngiang kalimat-kalimat yang membuat keraguannya semakin menjadi-jadi.

"Andai aku menjadi pemimpin mungkin aku tak akan diutus ke dunia yang seperti ini."

"Jika kau menjadi pemimpin kau akan bisa memperbudak manusia bukan malah manusia yang memperbudakmu."

Ekhziel pun mengernyit kesal.

"Mammonth! Dimana kamu!" ujar Ekhziel.

Tak lama kemudian muncul kabut hitam menyelubungi ruangan tempat ia berada.
Lalu kabut itu berkumpul menjadi satu dan memunculkan seorang manusia cantik yang tak lain adalah Mammonth.

"Aku dengar panggilanmu wahai sahabat baruku.
Apakah kau sudah memikirkan matang-matang tawaranku?" tanya Mammonth sambil terkekeh dingin.

"Jadikan aku sekarang seorang pemimpin! Aku tak peduli lagi dengan dunia ini!
Aku tak peduli lagi dengan Surga!
Aku juga tak peduli lagi dengan yang namanya sahabat!" ujar Ekhziel tajam penuh keyakinan.

"Hahaha...baiklah jika itu maumu." ujar Mammonth sambil tersenyum penuh kemenangan.

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang