Berat

348 25 0
                                    

Makan malam kali ini kami makan dengan malas.
Tanpa ada rasa nikmat yang terkecap.
Michael malah hanya mempermainkan sendok dan garpu di tangannya.
Mr.Robert menelan makanan dengan perasaan berat.

Aku pun menghembuskan nafas berat lalu meletakkan sendok dan garpu yang sebelumnya kupegang.
Aku mengambil piring lain yang masih kosong lalu mengisinya dengan nasi putih dan bermacam lauk pauk yang lain.
Mr.Robert dan Michael mengernyitkan dahi mereka sambil menatapku bingung.

"Kau makan banyak sekali Lyn? Sampai mau ambil lagi segala?" tanya Michael.

"Cih...ini bukan untukku.
Aku akan mengantarnya ke kamar kak Mark.
Bagaimanapun kan ia harus makan.
Ia tak boleh terus-terusan begini." ujarku.

"Aku tak yakin dengan hal itu.
Mark pasti tak akan mengijinkan seorang pun memasuki kamarnya." ujar Michael.

"Betul yang dikatakan tuan Michael nona." ujar Mr.Robert menyetujui.

"Apa salahnya kita coba?
Memangnya mau sampai kapan ia jadi gila begini?
Kita tak boleh membiarkannya begitu saja bukan." ujarku tegas.

"Apa kau yakin dengan hal itu?
Terakhir aku membujuknya untuk makan malah banyak kata-kata pedas keluar dari mulutnya." ujar Michael cemas.

"Tenang.
Aku sudah biasa dengan makian pedas." ujarku sambil beranjak dari sana dan menuju ke kamar Mark.

Aku melangkah ke lantai dua dan setelah sampai di depan kamar kak Mark aku menjadi terdiam sesaat.
Kuhembuskan nafas panjang lalu kuberanikan diri mengetuk pintu kamarnya perlahan.

"Kak? Ayo kita makan?" tanyaku.

Tak ada jawaban sama sekali.

"Kak?" panggilku sekali lagi sambil terus mengetuk pintu kayu putih itu.

Sekali lagi tak terdengar seorang pun menyahut panggilanku.
Akhirnya kuberanikan diri membuka pintu itu dan masuk ke dalam kamarnya.
Kulihat kak Mark sedang bergumul dengan selimut tebalnya.
Ia terdiam membelakangiku dan tak menggubrisku sama sekali.

"Kak kubawakan makanan untukmu." ujarku sambil meletakkan piring yang kubawa di atas meja dekat ranjang.

Aku putuskan duduk di ujung ranjang dekat kaki kak Mark.

"Aku tak lapar! Pergilah!" ujar Mark dengan nada tinggi.

"Aku pikir kau tidur karena dari tadi aku panggil tak ada jawaban.
Ternyata kau masih hidup ya.
Hahaha..." ujarku sedikit bercanda.

Mark tak menggubrisku dan terus mendekam dalam diamnya.
Aku berdeham mencoba memahami keadaan.

"Aku tak akan pergi dari sini sebelum kau menghabiskan makananmu." ujarku tegas.

"Apa kau tak punya telinga?
Aku bilang aku tak lapar!
Pergi dari kamarku!" bentak Mark.

"Terserah apa katamu.
Aku akan tetap di sini menunggumu menyentuh makanan itu." ujarku bersikukuh dalam pendirianku.

Mark menghempaskan selimut tebalnya dan beralih duduk sambil menatapku dingin.
Kedua sorot matanya begitu tajam seakan ia akan menghancurkan segala apapun yang ada di hadapannya sebagai bentuk luapan emosi dan kemarahannya.

"Sembarang masuk kamar orang.
Apa kau tak punya sopan santun hah? Bagaimanapun aku tak akan menyentuh makanan itu!
Sekarang cepat pergi dari sini!" bentak Mark dengan suara keras.

"Jika kau mati kelaparan gimana?" tanyaku polos.

"Yang kelaparan kan aku!
Memangnya kau siapa sok peduli padaku hah?!" ujar Mark.

"Kau juga siapa sok peduli dengan kehidupan Boy?" tanyaku.

"Apa maksudmu?" tanya Mark emosi.

"Aku tahu kau jadi malaikat penjaga Boy.
Tapi soal kematian Boy, itu bahkan bukan urusanmu.
Memangnya siapa kau yang sok sedih dengan kematian Boy.
Kau bahkan tak tahu apakah Boy di atas sana bahagia atau tidak kan?" ujarku.

"Tutup mulutmu!
Masalah Boy dan aku juga bukan urusanmu!
Kau tak akan pernah tahu apa yang aku rasakan ini!
Jadi jangan sok menceramahiku!" bentak Mark.

"Aku tak menceramahimu.
Hanya saja coba pikir lagi.
Di Surga sana Boy bahagia bertemu kembali dengan ibu dan adik yang begitu dikasihinya.
Sedangkan kau di dunia ini hanya bisa meratap tangis dan menghukum dirimu dengan kesedihan yang tak berguna ini.
Jika kau nanti mati sia-sia hanya karena kelaparan, apa yang akan kau katakan pada Boy saat kau bertemu dengannya nanti di Surga sana?" tanyaku.

Mark terdiam tanpa bisa berkata apa-apa.

"Apa kau akan mengatakan alasan kematian konyolmu itu hah?
Memangnya kau tak punya tangan untuk makan?
Tak punya uang untuk beli makanan? Semuanya sudah ada untukmu namun kau mengabaikannya karena rasa sedihmu itu.
Bagaimana ekspresi Boy saat mendengar itu?
Apa ia akan senang hah?" tanyaku lagi.

Mark menghembuskan nafas panjang.

"Tapi aku ... aku ... hanya saja aku belum sempat membahagiakannya." ujar Mark sedih.

"Apa kak Mark ingat saat Boy ucapkan terima kasih atas segalanya? Itu artinya Boy sangat berterima kasih padamu karena kau telah membahagiakan dia selama ini kak." ujarku.

Mark terdiam namun tanpa ia sadari setetes air matanya menetetes jatuh tepat di dadanya.
Wajahnya begitu memerah seakan ingin meluapkan semua kesedihannya.
Ia pun akhirnya meledakkan tangisnya.
Aku lingkarkan tanganku ke leher belakangnya kemudian kuletakkan kepalanya di bahuku.
Kubiarkan ia menangis sepuasnya sambil kubelai lembut rambut coklat halusnya.

"Menangislah jika itu membuatmu bebas dari rasa sakit ini.
Dengan ini kau bisa mengalahkan dirimu sendiri untuk menyakiti orang-orang di sekitarmu.
Boy pun ingin melihatmu bahagia."

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang