Perpisahan

409 29 0
                                    

Tubuhku masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Di luar kamar nampak om Eros, nenek, mama juga adikku sedang duduk khawatir menunggu kabar keadaanku.
Mark pun berdiri tak jauh dari situ.

Ruang kamarku pun terbuka, Felix sang dokter pun melangkah keluar dari ruanganku.
Mereka langsung menghampiri Felix dengan wajah sangat cemas begitu juga dengan Mark.

"Bagaimana Chiellyn?" tanya om Eros.

"Dia sudah berhasil melewati masa kritisnya.
Kini hanya menunggu ia sadarkan diri sampai ia benar-benar pulih.
Saya permisi." ujar Felix seraya melangkah meninggalkan mereka.

"Baiklah." ujar om Eros.

Mereka pun langsung masuk ke ruanganku kecuali kak Mark.
Mark mendekati Felix.

"Apakah ia akan baik-baik saja?" tanya Mark khawatir.

"Tentu saja.
Namun karena kehilangan banyak darah, aku rasa ia baru bisa menyadarkan diri dalam waktu beberapa hari lagi sampai semua aliran darahnya kembali normal." ujar Felix.

"Baguslah." ujar Mark lega.

"Kau sendiri bagaimana? Tubuhmu juga penuh luka, meskipun tak separah mereka tentunya." ujar Felix.

"Aku baik-baik saja.
Yang perlu dicemaskan adalah keadaan Michael saat ini bukan." ujar Mark sedih.

"Ya...kau benar.
Meskipun ia kini telah sadar, namun luka pada tubuhnya terbilang cukup serius.
Aku bahkan tak tahu ia akan bertahan berapa lama lagi.
Tubuh manusianya kini tak bisa menopangnya lagi." ujar Felix sedih sambil menepuk salah satu pundak Mark.

Felix pun melangkah menjauh.
Mark kemudian berjalan di lorong rumah sakit dan berbelok lalu masuk ke sebuah kamar VVIP lainnya.
Ia melihat Michael dengan posisi duduk di ranjangnya sambil menatap hamparan jendela kaca di sampingnya.
Tubuh nya penuh dengan balutan perban putih.

Begitu mendengar Mark masuk ke dalam kamarnya, ia pun langsung menoleh ke arah Mark dan tersenyum lembut.

"Bagaimana keadaan Chiellyn?" tanya Michael cemas.

"Jangan khawatir.
Dia sudah berhasil melalui masa kritisnya.
Hanya saja kemungkinan ia akan sadarkan diri dalam waktu beberapa hari karena tubuhnya masih lemah kehilangan banyak darah.
Ia akan baik-baik saja." ujar Mark sambil duduk di sisi ranjang Michael.

"Begitu ya.
Kalau begitu aku tak sempat ucapkan perpisahan padanya." ujar Michael sedih.

Kedua kelopak mata Mark mulai menghangat dan wajahnya nampak memerah.
Ia mencoba sekuat mungkin menahan genangan air matanya itu jatuh pada sisi wajahnya.

"Kau benar-benar akan pergi?" tanya Mark menunduk tanpa melihat ke arah Michael.

"Hahaha...apakah kau sedang menangis Mark?
Maaf, bagaimana lagi?
Aku rasa tugasku di dunia sudah selesai.
Sebagai kawanmu bolehkah aku minta satu permohonan Mark?" tanya Michael.

"Tentu saja." ujar Mark tegas sambil menatap Michael.

"Tolong gantikan aku menjaga Chiellyn." ujar Michael lembut.

"Dasar kau ini.
Ku pikir kau bakal minta apaan.
Tentu saja tanpa kau memohonnya pun aku pasti akan menjaganya.
Ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri." ujar Mark sambil tersenyum lebar namun tetap beruraian air mata.

"Hhhh...aku lega karena kau yang menjaganya.
Hai Mark mungkin aku akan merindukan bagaimana rasa ice cream coklat." ujar Michael sambil terkekeh.

"Cih...ingat kau pertama kali datang ke dunia tanpa tahu apa-apa.
Kita jalani semua bersama seperti di Surga dulu.
Tidak! Mungkin kali ini lebih menyenangkan menurutku." ujar Mark sedih.

"Tentu saja.
Kau terlalu banyak mengerjaiku." ujar Michael sambil terkekeh geli mengingat semua hal yang ia lakukan bersama Mark.

"Aku pasti akan kesepian sepeninggalanmu ini." ujar Mark.

"Maaf.
Aku tak bisa menemani hari-harimu lagi seperti dulu.
Tapi bagaimanapun kan kau akan tetap menjadi kawan terbaikku.
Selamanya." ujar Michael sambil tersenyum lembut.

"Tentu.
Kau adalah kawan terbaik yang pernah aku miliki seumur hidup." ujar Mark.

Kedua mata Michael pun mulai nampak berkaca-kaca.
Genangan air mata telah membaur membuat pandangannya semakin mengabur.
Buliran air mata mengalir melesat cepat di kedua pipi putihnya.

"Aku sangat berterima kasih pada-Nya atas kesempatan ini, dimana aku bisa kembali melihat adikku, hidup lagi bersamanya, bahkan tertawa lagi bersamanya.
Sangat sangat berterima kasih.
Andai waktuku di dunia ini lebih panjang dari kehendak-Nya.
Hanya beberapa hari saja.
Tidak!
Beberapa menit, atau bahkan beberapa detik.
Aku ingin bertemu dengan Chiellyn.
Menatapnya lebih lama.
Tersenyum bersamanya.
Bercanda bersamanya.
Mendapati kenyataan bahwa kini aku tak bisa lagi menjaganya.
Tak bisa lagi memandangi senyumnya.
Terasa sangat menyakitkan bagiku." ujar Michael sambil berlinangan air mata.

Mark pun semakin mengucurkan deras air mata yang sudah ia pertahankan mati-matian agar tak terlalu membasahi wajahnya.

"Andai ada inginku.
Aku ingin mengucapkan sesuatu yang belum pernah kuucapkan padanya.
Baik di kehidupan lalu bahkan kehidupan kini.
Tolong sampaikan padanya bahwa aku,
Aku begitu mengasihinya.
Aku sangat menyayanginya.
Aku...
Aku mencintainya." ujar Michael sambil memejamkan mata dan membuat seluruh air mata di kedua bola matanya mengalir habis di pipi putihnya yang halus.

Tubuh Michael mulai bersinar sangat terang.
Begitu terang.
Beberapa saat kemudian ia pun terurai menjadi serpihan cahaya-cahaya kecil.
Kemudian serpihan cahaya itu pun menghilang di udara.
Meninggalkan perban-perban putih yang masih menyisakan noda darah di ranjang itu.

"Pasti.
Aku akan menyampaikannya.
Kawanku." ujar Mark dengan berlinangan air mata.

Sesaat terasa sunyi di ruangan itu.
Mark pun beranjak dari kursinya dan melangkah pelan keluar dari ruangan itu.
Felix berdiri diam tepat di samping pintu kamar Michael.
Mark menoleh ke arah Felix sambil mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangannya.

"Ia sudah kembali." ujar Mark.

"Begitukah.
Tenanglah, masih ada aku di sini menemanimu." ujar Felix mencoba menghibur Mark.

"Hahaha...terima kasih.
Aku pergi dulu." ujar Mark seraya pergi meninggalkan Felix.

Felix hanya tersenyum lembut dan mengangguk pelan.
Ia pun masuk kembali ke ruangan Michael untuk membersihkan ranjang Michael.
Ia membereskan perban-perban putih bercorak merah itu.
Saat merapikan ranjang Michael, Felix terhenti sejenak dan memandang langit yang cerah saat itu di balik jendela kaca di hadapannya.

Matahari masih sangat terang akan sinarnya siang ini.
Suara burung-burung kecil berkicauan merdu dan terbang bebas di langit biru.
Felix mendesah panjang lalu tersenyum.

"Selamat jalan Captain."

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang