Tangis

404 29 0
                                    

Sirene polisi berbunyi ramai di sebuah perumahan siang itu.
Rumah Boy dipenuhi oleh beberapa polisi yang bertugas, para penyidik dan beberapa petugas rumah sakit yang mengangkut dua kantong mayat yang kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ambulans.

Mark terduduk lemah di kursi halaman depan rumah Boy.
Boy ditemani oleh seorang petugas medis yang terus mengajaknya berbicara untuk meredakan sedikit traumanya atas kejadian itu.
Muka Boy sangat pucat.
Ia hanya melihat petugas itu tanpa berkata sepatah kata pun.
Jika pun ditanya ia hanya bisa mengangguk atau hanya menggeleng pelan.

Michael duduk di samping Mark mencoba menenangkannya juga.
Aku terduduk di dekat pagar rumah tak berdaya melihat kejadian kala itu.

Eric tiba-tiba datang dan menghampiri Mark.

"Mark!
Aku ikut berduka dengan apa yang terjadi.
Akan aku selidiki lebih lanjut kejadian ini." ujar Eric.

Mark hanya mengangguk lemah tanpa memandangnya sedikit pun.
Tatapannya kosong ke depan.
Sesaat kemudian ia melihat Boy yang sedang berbicara dengan petugas medis.
Mark beranjak pelan dari kursinya dan berjalan lunglai mendekati Boy.

Boy melihat Mark yang berdiri di hadapannya.
Kedua mata kecil Boy langsung menghangat dan wajahnya memerah.
Air matanya pun menetes tanpa ia sadari.
Mark melihatnya dengan tatapan sedih.
Kedua mata Mark juga penuh dengan genangan air mata.
Ia membelai rambut coklat Boy yang begitu lembut.

Boy kemudian meledakkan tangis yang ia tahan sedari tadi.
Mark langsung merengkuhnya dan juga mengerang dalam tangisnya.
Boy membalas pelukan Mark dengan sangat erat.

"Maafkan kakak Boy.
Maafkan kakak.
Ini semua salah kakak yang tak bisa menjaga adik juga ibumu." ucap Mark dengan suara parau karena tangisnya.

Boy tetap tak bisa berkata apa-apa.
Ia hanya menangis sejadi-jadinya dalam rengkuhan Mark.
Aku melihat mereka dan tanpa kusadari air mata hangat juga meleleh di kedua sisi wajahku.
Michael menghampiriku dan duduk di sisiku.
Ia merengkuh belakang badanku dengan salah satu tangannya.
Kusandarkan kepalaku di bahunya dan aku terus menangis tanpa suara.

Mark terus merengkuh Boy dan menciumi kepalanya.
Ia mencoba menenangkan Boy meski ia sendiri dalam kondisi kacau.

"Boy!
Sudah jangan menangis lagi.
Kau masih punya kakak.
Kakak akan selalu bersama Boy.
Kakak janji tak akan kemana -mana." ucap Mark mencoba menenangkan Boy.

Namun Boy hanya mengangguk tanpa bisa menghentikan aliran air matanya.
Ia semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh Mark dan semakin membenamkan wajahnya ke dada Mark mencoba menutupi wajah sedihnya.

Ambulans yang membawa jasad ibu Boy dan Leo pun pergi meninggalkan perumahan itu.

...

Esoknya acara pemakaman diadakan.
Semua orang memandangi dua makam yang masih basah itu dengan tatapan sayu.
Seiring berjalannya waktu satu per satu dari mereka pergi.
Felix yang selama ini mengobati ibu Boy juga sangat terpukul dengan kejadian ini.
Ia menghampiri Mark dan menepuk pundaknya.

"Aku ikut berduka Mark.
Mereka juga sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri.
Aku harap kau bisa merelakan mereka.
Kali ini jaga Boy." ujar Felix lalu ia beranjak dari tempat itu.

Mark hanya bisa mengangguk pelan.
Hingga pada akhirnya hanya tersisa aku, Michael, Boy juga kak Mark di pemakaman itu.

Tampak dari kami berwajah sembab karena menangis begitu lama.
Akhirnya Michael menggenggam tanganku dan mengajakku pergi.
Kami menghampiri kak Mark yang masih terpaku dalam tatapannya ke arah makam itu.
Michael pun berkata kepadanya.

"Mari kita pulang." ujar Michael pelan.

Mark menoleh ke arah Michael secara perlahan.
Kedua matanya bengkak dan sembab sama dengan kedua mata Boy.
Ia pun hanya mengangguk lemah lalu langsung menghampiri Boy.

"Ayo kita pulang Boy." ajak Mark.

"Dimana lagi aku pulang kak.
Semua keluargaku yang kusayangi ada di sini.
Saat aku pulang mereka selalu menyambutku dengan senyuman.
Leo yang biasanya berlari menghampiriku begitu mendengar suaraku.
Juga ibuku yang langsung menanyakan bagaimana hari-hari yang kujalani.
Rumah tanpa mereka itu bukan rumah.
Jadi dimana lagi aku pulang?" ucap Boy sambil kembali menangis.

Mark yang mendengar kata-kata Boy juga ikut terisak.
Aku juga langsung meneteskan air mata karena memahami kesedihannya.

"Kita pulang ke rumah kakak.
Mulai sekarang akulah keluargamu." ujar Mark sambil menggandeng tangan Boy yang terasa begitu dingin.

Boy hanya bisa mengikuti Mark.
Kami pun pulang senja itu.

Michael (The End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang