Ardano merasakan sesuatu yang hangat menempel di keningnya. Ardano memilih mengangkat tangannya untuk menyentuh sesuatu di keningnya.
"Sudah bangun kak?" Suara tegas itu membuat Ardan langsung mengenali siapa yang ada di dekatnya.
"Hn." Gumam Ardano.
Ardano membuka matanya yang terasa berat dan melihat ayahnya sedang duduk di sebelahnya. Di nakas terdapat baskom yang masih berasap. Ardano berdeham pelan saat tenggorokannya terasa kering.
"Kenapa papi disini?"
"Papi ditelepon sama Arsen. Katanya tadi kamu telepon dia. Terus Arman juga bilang dia merasa gelisah sejak tadi..."
Ardan terdiam. Dia memperhatikan ayahnya yang masih menatapnya lekat.
"Jangan merasa bersalah sampai seperti itu Ardan! Mami-mu tahu kamu sudah berusaha dengan keras untuk menjaga semua adik-adikmu termasuk Alesha."
Ardan semakin terdiam saat ayahnya berucap demikian. Meski kini ayahnya sudah tidak menatap dia tetapi, ayahnya justru mengucapkan kata-kata yang bisa membuat pertahanan Ardan runtuh.
"Pi..." panggil Ardan
"Hm?"
"Papi gak duduk disini aja?" Tawar Ardan sembari menepuk sisi kosong ranjangnya.
Tanpa menolak, Alvaro pindah ke sisi kosong itu dan duduk disana. Badannya dia sandarkan ke kepala ranjang sementara kakinya dia selunjurkan. Ardan mengeser kepalanya dan merebahkannya di atas paha Alvaro.
"Hari ini saja pi... Ardan mau kembali seperti dulu..." ujar Ardano
Alvaro mengangkat tangannya dan mengusap rambut hitam milik putranya. Dia kembali ke masa saat putranya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ardano selalu menempel pada ayahnya saat dia sakit.
Ardano memejamkan matanya dan menikmati elusan di rambutnya. Sedikit demi sedikit pertahanannya runtuh. Pipinya mulai basah. Alvaro sendiri meski tahu putranya sedang menangis, dia tetap mengusap rambut putranya dengan sayang. Ardano semakin menenggelamkan wajahnya ke paha sang ayah. Tangannya meremat seprei miliknya dan menangis disana. Bahunya bahkan bergetar.
'Mami... Ardan kangen mami...' batin Ardano.
Alvaro mendiamkan anak itu sampai dia terdiam sendiri dan kembali terlelap dengan sisa isakan yang masih terdengar.
"Kamu lihat, kan sayang... putramu sampai seperti ini karenamu..." gumam Alvaro sembari mendongakan kepalanya. Cairan bening yang sama keluar dari kedua mata Alvaro yang terpejam lalu, mengalir di pipi tirusnya.
"Kami semua merindukamu sayang..." gumam Alvaro lagi
...........
Empat bulan kemudian
Sebuah laporan berhasil terlempar dan mengenai salah satu Vas bunga disana. Jangan tanya siapa pelakunya! Karena, jawabannya adalah Ardano Kenneth Dimitra. Dia baru saja melempar laporan bisnisnya dari sang asisten.
"Aku mau orang itu ada di kontainer malam ini Jim! Ingat malam ini!"
Ardano melihat Jim mengangguk. Jim pergi dengan cepat dari ruangan itu. Ardano hendak mengeluarkan rokok dari laci mejanya tapi, dia urungkan lantaran ayahnya baru saja memasuki ruangannya secara tiba-tiba. Ardano langsung menutup laci mejanya dan menguncinya.
"Ada apa pi?"
"Nggak ada apa-apa. Papi cuma mau megunjungi kamu.."
Ardano mendengus. Dia tahu ayahnya sedang berbohong padanya.
"Bilang saja, papi kemarin habis berdebat dengan Alesha."
Alvaro tersenyum mendengar ucapan Ardano yang tidak salah.
"Bagaimana kamu tahu?"
"Alesha baru kemari tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Dia terus mengeluarkan komplainnya tentang papi..."
"Ya habis bagaimana? Kamu tahu, kan siapa yang Alesha maksud?"
Ardano mengangguk dia mengeluarkan sebuah map berwarna hitam dan membawanya ke sofa dimana ayahnya duduk. Dia memberikan map itu pada ayahnya.
"Namanya Katsuoka Keannu Ruselldy. Keluarga ayahnya cukup terpandang di Jepang. Sementara keluarga ibunya luman berpengaruh di London. Hanya saja,"
"Hanya saja apa?"
"Apa papi tahu pekerjaan mereka?"
"Perdana menteri dan juga pengusaha tentu saja."
Ardano menggeleng pelan.
"Selain itu mereka juga bekerja sebagai robin hood di Jepang."
"Robin hood? Maksudmu mencuri dari orang kaya?"
"Iya. Mereka mencuri harta para pejabat yang korup lalu, membagikannya ke rakyat yang kurang."
"Keannu juga sama?"
"Untuk sementara belum. Karena, dia bersekokah disini sejak dia lulus sekolah dasar. Entah apa alasannya, yang jelas dia sendiri yang meminta bersekolah disini."
Alvaro mengangguk. Dia berdiri dan merapikan pakaiannya.
"Kalau begitu terserah pada kalian para kakaknya dan juga Alesha sendiri. Aku sudah terlalu tua untuk itu..."
Alvaro beranjak dari ruangan itu keluar dari sana. Ardano menatapi punggung ayahnya. Memang benar, ayahnya sudah cukup tua saat ini. Ardano menarik napasnya dalam-dalam.
"Permisi tuan..."
Ardano mengangkat kepalanya yang sejam tadi tertunduk. Ardano menatap asistennya dengan tatapan datar.
"Orang yang bapak minta sudah ada di kontainer."
"Nanti malam aku kesana."
"Baik pak, saya permisi."
Ardano hanya mengangguk. Ardano menundukan kepalanya kembali dan sedikit merebahkan kepalanya di meja kantornya. Dia sedikit lelah dengan pekerjaannya belakangan ini.
Ardano memutuskan pulang ke apartment ibunya dan memilih istirahat disana. Pukul sebelas malam Ardano terbangun dan bersiap. Dia menggunakan kemeja hitam dan jas hitam miliknya. Ardano mengambil selembar roti dan meminum kopi yang dia buat sendiri.
"Baiklah, mari kita lihat tikus kecil itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...