"Hoeekkk! Hoeekkkk!"
Lagi. Suara itu menjadi pengisi di keheningan pagi di kediaman Alvaro Kenneth Dimitra. Ardan baru saja duduk di meja makan dan dia bahkan belum memakan makanan di meja. Dia hanya mencium aroma dari nasi goreng seafood di meja dan seketika itu juga dia kembali mengulang ritual paginya yang baru. Memuntahkan isi perutnya.
"Aku bersyukur kamu tidak menyiksaku seperti itu dulu, sayang," gumam Alvaro mengingat masa dimana istrinya dulu mengandung anak-anak mereka.
Ardan keluar dari dapur dan melarikan diri secepat kilat menuju ke ruang tamu. Dia yakin perutnya tidak akan bisa kompromi dengan aroma makanan di meja makan. Ardan memejamkan matanya. Dia lelah, tenggorokannya sakit, dia juga merasa perutnya sakit. Ardan tak ada bedanya dengan orang sakit saat ini.
"Kak," panggilan itu membuat Ardan membuka matanya.
Arman sudah berada di depannya dengan tangan yang memegang sebuah gelas berisi teh hangat. Ardan mensyukuri satu hal. Adiknya sudah bisa berdiri sendiri meski masih menggunakan bantuan tongkat untuk berjalan.
"Minum dulu," ujar Arman pelan sambil mendudukkan diri di sebelah Ardan.
"Thanks,"
Arman hanya mengangguk. "Maura bertanya, kakak mau dibuatkan sarapan apa?"
Ardan hanya menggeleng kecil. "Tidak ada yang bisa masuk ke dalam perutku,"
"Kakak bisa sakit kalau terus tidak makan,"
"Mau bagaimana lagi? Anakku sangat menyayangi ibunya," canda Ardan.
Tak lama berselang Ardan dan Arman melihat ayah mereka datang dengan membawa piring berisi roti juga beberapa botol selai.
"Pilih sendiri, kamu mau makan yang mana?" Ujar Alvaro sembari meletakan piring dan botol-botol selai itu di meja ruang tamu.
"Tidak usah, pi. Ardan yakin akan percuma saja. Makanan itu tidak akan masuk ke perut Ardan,"
Alvaro mengernyit. Dia cukup khawatir pada keadaan Ardan. Kulit Ardan mulai memucat dan badan Ardan mulai terlihat lebih kurus dari biasanya. Bahkan suaranya saja terdengar agak serak. Ardan hanya tersenyum kecil pada ayahnya.
"Ardan nggak apa-apa, pi. Paling nanti siang Ardan ngemil lagi,"
"Ngemil? Kamu ngemil apa?"
"Entah, hari ini belum terpikir. Kemarin sih Ardan minta Jim belikan Ardan batagor yang dulu di depan sekolah Ardan,"
Alvaro mengerutkan keningnya sebelum dia mengangguk. Dia paham kalau Ardan benar-benar menjadi pihak yang mengalami morning sickness dan ngidam.
"Tapi, kamu harus sarapan, Ardan. Tiap hari kamu hanya ngemil saja,"
"Nggak apa-apa, pi. Ngemil juga termasuk makan, kan?"
"Ini baru dua minggu dan kamu sudah kurus sangat banyak Ardan,"
Ardan terkekeh. Memang usia calon anaknya baru menginjak satu bulan. Dan seperti yang ayahnya katakan, berat badannya turun derastis sebagai akibat dari dirinya yang tidak bisa menelan makanan berat. Sehari-hari Ardan hanya mengemil. Entah itu hanya dua potong kue atau ice cream bahkan terkadang hanya buah jeruk. Yang jelas dia memang hanya mengemil saja.
"Kamu kerja juga hari ini?" Tanya Alvaro.
"Iya," Ardan mengangguk. "Ada janji dengan klien," sambungnya.
Alvaro mengangguk paham. Dia masih memaksa Ardan untuk sarapan setidaknya sedikit saja. Melihat wajah Ardan yang pucat sungguh membuat dia khawatir. Ardan mengambil selembar roti dan merobeknya menjadi dua bagian. Ardan memakan setengah bagian roti itu dengan cepat sebelum dirinya kembali mengeluarkan roti itu dari perutnya. Ardan meneguk teh di gelasnya dengan cepat dan dia memejamkan matanya dengan kepala bersandar di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...