Jakarta, 14 tahun lalu,
"Mami... Ardan capek. Boleh Ardan ikut mami?" Tanya Ardan pada foto ibunya.
Hari berganti dan Ardan semakin tidak terurus. Terkadang Ardan tersenyum, terkadang dia menangis dan terkadang juga dia merenung. Beberapa kali dia mendengar ketukan pintu dan selembar amplop yang masuk ke dalam apartment-nya. Memang semua biaya apartment yang dia tempati masih ditanggung oleh ayahnya. Sang ayah juga mengirimkan uang untuk biaya keperluan Ardan.
Tapi, sejak hari dimana dia menyadari dia tidak diinginkan lagi dan tidak dibutuhkan sebagai anggota keluarga disana, Ardan tidak pernah lagi mengambil uang itu. Ardan membiarkan amplop itu menumpuk di depan pintu apartment-nya. Ardan hanya makan dari apa yang tersisa di lemari pendingin disana dan begitu makanan itu habis di minggu kedua libur sekolahnya, Ardan berhenti makan.
Belakangan Ardan menyadari sudah saatnya dia kembali bersekolah. Namun Ardan memilih tetap tinggal di apartment itu. Berbicara dengan foto sang ibu menjadi kegiatan rutinnya. Hari berganti hari menjadi bulan dan bulan juga terus bergulir. Tumpukan amplop itu semakin banyak menumpuk di depan pintu apartmentnya sementara Ardan sendiri semakin kurus dan pucat. Dia semakin tidak bisa merasakan apapun. Meski terluka sekalipun dia tidak merasakannya. Ardan masih sering menangis.
"Mami, Ardan salah. Ardan minta maaf. Ardan tahu Ardan lalai menjaga Alesha... tapi, apa harus seperti ini?" Tanya Ardan pada foto ibunya.
"Kenapa papi dan adik-adik membuang Ardan seperti ini, mi?"
Ardan terkekeh kecil. Dia tertawa walaupun tidak ada yang lucu. Ardan hanya tahu dirinya semakin tidak bertenaga. Ardan memilih memejamkan matanya dengan tangan memeluk foto ibundanya. Berharap sang ibu akan datang ke dalam mimpinya. Hari itu Ardan menangis tanpa henti sampai dia jatuh terlelap dengan sendirinya.
"Ughh!" Ardan merasakan kepalanya sangat berat dan pusing.
Satu-satunya rasa yang bisa dia rasakan saat ini adalah pusing dan sakit pada kepalanya. Ardan bahkan tidak bisa bangkit dari posisinya. Tangannya gemetar, Ardan sedikit terbatuk. Dengan paksa Ardan bangun. Dia beranjak menuju ke kamar mandi. Dia mengambil botol shampo dan melemparkannya ke cermin di kamar mandi saat dia melihat bayangan dirinya sendiri disana. Wajah yang saat ini dia benci. Wajahnya sendiri.
Ardan menatap pecahan kaca itu dengan senyum lebar di bibirnya. Seolah baru mendapatkan sebuah pengetahuan baru. Ardan berjalan dengan terseok ke arah dapur dan menarik laci di meja dapur. Dia mengambil pisau, berjalan kembali ke ranjangnya dan duduk di sisi ranjangnya. Ardan menatap foto ibunya yang sedang tersenyum itu. Ardan meraih foto itu dan ikut tersenyum ke arah sang ibu.
"Mami... Ardan kan sudah tidak dibutuhkan dan diinginkan lagi disini, Ardan ikut mami saja, ya?"
Ardan tersenyum tangannya menggenggam foto ibunya erat-erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...