"Tidak, Mara. Besok dan seterusnya kita tidak akan kesini,"
Ucapan Ardan membuat semua orang terkejut. Alvaro pun sama terkejutnya dengan semua orang disana.
"Ar-"
"Ardan minta maaf. Kalau bukan karena Ardan ini tidak akan terjadi. Aku tidak akan kesini lagi, kalian tenang saja," Ardan berujar dan setelahnya dia mengajak Maura berjalan menjauhi koridor itu dengan cepat.
Ucapan Ardan menampar Alvaro dan Arsen dengan sangat kuat. Alvaro tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dia mengejar Ardan dan berdiri di depan anak itu. Ardan berhenti saat melihat ayahnya ada di depannya. Rasa takutnya pada Alvaro tiba-tiba saja muncul. Bahkan, mata Ardan terpejam saat tangan Alvaro terangkat.
"Maafkan papi, Ardan. Maafkan papi," suara yang lirih itu terdengar di telinganya juga sepasang lengan melingkar di badannya.
Ardan membuka matanya. Dia menunduk dan mendapati bahu sang ayah ada di depannya.
"Maafkan papi, Ardan. Untuk kesalahan dan kebodohan papi dulu," ujar Alvaro lagi.
Ardan terdiam untuk sepersekian detik. Dia tidak menjawab apapun. Semua isi kepalanya hilang begitu saja. Ardan kembali mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke depan. Mata Ardan menangkap sosok yang cukup dia rindukan tengah tersenyum dan mengangguk padanya. Bibir tipis sosok itu mengucapkan sesuatu padanya.
"Tidak apa-apa. Semua sudah baik-baik saja. Kakak sudah tidak sendirian lagi sekarang. Kakak sudah kembali bersama papi dan adik-adik," itu yang Ardan tangkap dari bibir tipis sosok di depannya.
"Mami..." Ardan memanggil dengan lirih sebelum badannya terasa ringan. Sangat ringan.
............
"Mami!" Ardan terlonjak dan membuka matanya dengan cepat.
"Astaga! Ardan, kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?"
Ardan menoleh dan mendapati Maura tengah menatapnya dengan khawatir. Ardan bangun dan duduk dengan bantuan Maura. Maura menaikan ranjang Ardan dan duduk di tepi ranjang Ardan.
"Kamu membuat kami semua khawatir," ujar Maura.
"Aku kenapa?"
"Kamu pingsan tadi. Papi dan yang lain sampai kaget tadi,"
"Pingsan? Aku?"
Maura mengangguk.
Ardan menoleh ke arah pintu saat dia mendengar suara pintu yang terbuka. Ardan melihat ayah dan adiknya masuk ke ruangan itu. Maura tersenyum padanya dan memilih keluar.
"Kakak gimana? Ada yang sakit?" Tanya Arsen membuat Ardan menggeleng kecil.
"Serius, tidak ada keluhan apapun?"
Ardan mengangguk kecil. Ardan melihat ayahnya mendekatinya. Sedikit heran memang tapi, Ardan memilih diam saja.
"Maafkan papi, kak. Kakak mau, kan?"
Ardan mengerutkan keningnya.
"Minta maaf untuk apa, pi?"
"Untuk empat belas tahun lalu, pa-"
"Ardan sudah bilang, itu salah Ardan. Ardan memang pantas mendapatkan itu setelah apa yang Ardan lakukan," ujar Ardan menyela ucapan ayahnya.
Perkataan Ardan tanpa dia sadari sudah menggores luka di dalam hati Alvaro dan Arsen. Luka yang sebenarnya timbul dari rasa bersalah mereka pada Ardan.
"Sudahlah, lebih baik papi sama Arsen jagain Arman saja. Dan untuk apa yang terjadi sama Arman, Ardan minta maaf," ujar Ardan.
"Kak..." Alvaro memanggil Ardan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...