"Umm... maaf, pak." Suara lembut itu membuat Ardano mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk untuk membaca koran pagi miliknya.
"Ya?"
"Saya pamit. Saya mau kembali ke kontrakan saya."
Ardano menatap gadis itu dengan lekat.
"Saya sudah tidak apa-apa. Lagi pula hanya luka kecil saja. Saya tidak mau merepotkan bapak. Saya permisi pak."
Ardano berdiri dan mengambil kunci mobilnya. Dia berjalan dengan cepat, mengikuti gadis itu.
"Pak?" Gadis itu terkejut saat melihat Ardano menahan pintu lift yang hampir menutup itu.
"Saya antar. Kamu mau pulang kemana? Disini itu jauh kemana-mana."
Gadis itu mengangguk saja. Ardano mengantarkan gadis itu pulang ke kontrakannya. Tidak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Hanya ada keheningan saja. Berikut suara deru mobil dan beberapa klakson di luar mobil.
"Barang-barangmu nanti diantarkan kesana oleh anak buahku."
Gadis itu mengangguk kecil. "Trima kasih."
Hening. Tidak ada pembicaraan. Sekitar hampir dua jam dan mereka sampai di kontrakan gadis itu.
"Terima kasih sudah mengantar. Maaf merepotkan." Ujar gadis itu seraya dia keluar dari mobil Ardano.
Ardano menatap punggung gadis itu dengan tatapan heran. Dia tidak habis pikir dengan gadis itu. Bagaimana bisa dia yang diculik dan diperlakukan semena-mena malah meminta maaf dan berterima kasih? Padahal, letak kesalahannya ada pada Ardano dan anak buahnya.
Ardano menggelengkan kepalanya dan melajukan mobilnya ke gedung kantornya.
"Aneh... dia itu terlalu baik." Gumamnya.
.........
Keesokan harinya, Ardano kembali menjalankan harinya seperti biasa. Meski sedikit ada rasa penasaran terhadap kelakuan Cavalier.
"Kakak..." suara lantang itu membuat Ardano membalikan badannya.
Ardano terkaku saat melihat sosok yang baru kemarin dia antarkan pulang kini berdiri di depannya.
"Kak..." Ardano tersentak saat merasakan tarikan di lengan jasnya.
Ardano menunduk dan menemukan adiknya tengah menatapnya heran dan bergelayut manja disana.
"Alesha... kenapa kesini?"
"Mau memberitahu kakak kalau teman aku sudah ketemu."
"Oh."
"Sini kak, Alesha kenalin sama dia."
Alesha menarik Ardano dan menghampiri gadis yang masih sama-sama terdiam kaget. Alesha berdiri di tengah-tengah mereka dengan senyuman di bibirnya.
"Kak, kenalin ini teman aku. Namanya kak Maura." Ujar Alesha pada Ardano.
"Kak Maura, kenalin ini kakak sulung aku namanya Ardano."
Gadis itu mengulurkan tangannya pada Ardano. Seolah mereka tidak pernah bertemu.
"Ardan." Ujar Ardano sambil menjabat tangan gadis itu.
Lembut dan halus. Itu yang ada di pikiran Ardano saat dia memegang tangan gadis itu.
"Maura. Terima kasih sudah menolong saya kemarin." Ujar Maura.
Maura. Nama it terdengar indah di telinga Ardano. Bahkan dari cara gadis itu mengucapkannya saja, Ardano sudah menyukainya.
"Menolong? Maksud kak Maura apa?" Tanya Alesha saat Maura dan Ardan selesai berkenalan.
"Kakak kamu, menolong aku kemarin, Sha. Makanya, kakak berterima kasih sama kakak kamu."
"Oh..."
Alesha dan Ardano saling menatap sebelum Ardano menarik adiknya keluar bersamanya. Meninggalkan Maura di ruangannya.
"Kenapa kamu bawa dia kesini?"
"Memangnya nggak boleh kak?"
"Bukan gitu. Hanya saja,"
"Hanya saja?"
Ardano diam. Dia tidak bisa mengucapkan apapun.
"Kakak suka sama kak Maura?"
"Hah?"
Kedua orang itu terdiam. Alesha kaget dengan tanggapan kakaknya sementara Ardano kaget karena pertanyaan adiknya. Ardano menggelengkan kepalanya. Dia mengusap puncak kepala Alesha.
"Sudah lah. Kamu nggak pulang? Nanti papi nyariin kamu loh."
"Kak, papi itu sedang keluar kota."
"Kemana?"
"Surabaya. Mau melihat pembangunan rumah sakit disana. Kan, papi lagi menggarap rumah sakit untuk kak Arsen."
"Oh... ya sudah. Nanti malam kakak pulang."
"Seriusan?"
"Hn."
Alesha langsung melompat ke pelukan kakaknya. Dia menelusupkan kepalanya ke leher kakaknya. Ardano hanya bisa pasrah dan menahan badan adiknya agar tidak merosot turun.
"Minta bibi rapikan kamar kakak ya..."
"Siap pak bos!" Ujar Alesha dengan girangnya.
Setelah mendapat kesenangan dari kakaknya, Alesha langsung mengajak Maura pulang. Kedua anak itu sempat berpamitan pada Ardano sebelum mereka beranjak.
"Lihat mi, Alesha mirip sama mami..." gumam Ardano.
Ingatkan Ardano untuk bertanya dengan jelas pada adiknya nanti. Pasalnya, Ardano kini tengah terjebak pada situasi rumit yang dia sendiri kesal sebenarnya. Bayangkan saja, dia kira adiknya akan sendirian di rumah mereka yang lumayan luas itu. Karena itulah, Ardano memutuskan untuk pulang. Siapa sangka? Adiknya membawa seorang teman untuk menemaninya di rumah. Dan orang itu adalah seorang Maura. MAURA. Catat, garis bawahi, beri italic dan tebalkan nama Maura.
Ardano hanya bisa menghela pasrah. Dia tidam menyangka adiknya akan membawa sahabat yang dianggapnya sebagai kakak sendiri.
"Kakak ke kamar dulu. Kalian kalau mau makan malam, makan duluan saja."
Ardano berdiam di kamarnya sambil mengerjakan pekerjaannya yang kebetulan dia bawa pulang. Ardano melirik jam di nakas dan meregangkan badannya yang kaku. Ardano mematikan laptopnya dan turun dari ranjangnya. Dia berjalan keluar dari kamarnya dan segera menuju ke dapur.
"Hm?" Ardano sedikit heran dengan suara di daerah dapur.
Dia mempercepat langkah kakinya dan terkejut saat sosok cantik itu keluar dari dapur dengan gelas di tangannya. Karena kaget, sosok cantik itu terlonjak dan isi dari gelas di tangannya tumpah mengenai tangannya.
"Aw!"
Prang
Ardano langsung saja mendorong sedikit badan sosok itu agar menjauh. Setelahnya dia melangkahkan kakinya kembali ke dalam dapur untuk mengambil tempat sampah kecil dan juga lap. Ardano berjongkok dan memunguti pecahan gelas yang berserakan di lantai ruang makannya.
"Jangan kesini!" Ujar Ardano singkat saat gadis itu hendak mrnghampirinya.
Ardano segera merapikan kekacauan itu dan menyimpan kembali lap juga tempat sampah itu.
"Ikut." Suruh Ardano saat dia kembali.
Gadis itu menurut dan ikut kemana Ardano melangkah. Nyatanya, Ardano membawanya ke ruang tamu.
"Duduk!" Suruhnya lagi.
Gadis itu menurut dan menundukan kepalanya. Ardano kembali ke dapur. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali ke ruang tamu dengan baskom kecil, handuk di bahu dan sebuah kotak obat. Ardano duduk bersila di depan gadis itu. Dia meletakan kotak obat itu di lantai. Tepat di sebelahnya. Dia mengambil tangan sang gadis dan mencelupkan tangan itu ke dalam air di dalam baskom.
"Hati-hatilah sedikit! Untung saja airnya tidak terlalu panas! Kalau itu air mendidih tangan ini sudah melepuh mungkin."
'Baik. Dia sangat baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...