Kemarahan Ardano (1)

29.8K 1.5K 14
                                    

"Loh kok?" Maura mengerutkan keningnya saat melihat yang menjemputnya bukanlah Ardano tapi, anak buahnya.

Salah satu anak buah Ardano yang memang sudah cukup dia kenal. Pria berbadan tegap dengan wajah yang seperti orang bule bermata cokelat. Untuk bicara dengan pria di depannya ini saja, Maura harus berbicara bahasa inggris.

"Ardan tidak menjemput?" Tanya Maura

"Maaf, nona. Tuan mengirim saya untuk menjemput anda. Tuan meminta saya untuk mengantar anda ke kantornya."

Maura mengangguk kecil. Dia masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan Maura hanya berdiam dan memainkan ponselnya sampai dia berhenti di sebuah gedung bertingkat di kawasan jakarta selatan.

"Kita sudah sampai nona."

"Oh. Ummm... kamu tidak ikut masuk Farrel?"

Pria berpakaian stelan itu menggeleng pelan.

"Ruangan tuan ada di lantai 30, nona. Saya yakin tuan sudah menunggu anda."

"Trima kasih sudah mengantarku Farrel."

Pria itu mengangguk kecil. Maura turun dengan tas selempang yang tersampir di bahunya sementara makalahnya dia bwa di tangannya. Maura berjalan masuk ke dalam. Dia membuka pintu utama kantor itu. Maura berniat langsung masuk ke dalam sana sesuai yang di perintahkan oleh Farrel tadi.

"Mbak! Mbak mau kemana?" Suara teriakan itu membuat Maura berhenti.

Maura membalikan badannya dan menemukan seorang wanita cantik tengah berdiri di depannya. Maura tersenyum kecil.

"Saya mau ke ruangan Ardan."

Perempuan cantik itu menatap Maura dengan kaget. Seolah ada yang salah dengan ucapan Maura. Maura sendiri hanya diam dan mengerutkan keningnya bingung. Merasa perempuan di depannya tidak lagi berujar apapun, Maura melangkahkan kakinya kembali tapi, tangannya malah ditarik oleh wanita itu.

"Ada apa?" Tanya Maura.

"Pak Deo sibuk. Beliau meeting di luar."

"Hah? Meeting di luar? Ibu nggak salah?"

"Nggak! Pak Deo memang sedang meeting di luar!"

"Tapi, Ardan sendiri yang minta saya kesini!"

"Aduh Mbak! Jangan mimpi ketinggian deh!"

Maura membelalakan matanya kaget. Dia cukup terkejut mendengar ucapan wanita di depannya. Terlebih saat ini sedang jam makan siang jadi, semua pegawai sedang berlalu lalang di lobi kantor itu.

"Maaf ya. Ibu..." Maura melirik name tag di dekat kemeja perempuan itu.

"Ibu Kathryn. Saya bukan sedang bermimpi tapi, PAK DEO kalian itu yang mengundang saya kesini!" Ujar Maura dengan penekanan pada nama Ardan.

"Jadi, saya permisi." Ujar Maura sembari berjalan melewati perempuan itu.

Tangan Maura ditarik dan dihempaskan begitu saja hingga Maura terjatuh ke lantai marmer yang ada di lobi. Tidak terima Maura berdiri dan menatap gahar ke arah perempuan itu.

"Masalah ibu apa sih sama saya? Saya kesini karena undangan pak Deo. Beliau sendiri yang mengundang saya! Kenapa ibu yang sewot dan memperlakukan saya seperti ini?!"

"Ya iya lah saya memperlakukan kamu seperti ini. Kamu tidak pantas masuk ke kantor ini. Kalaupun iya itu juga sebagai pembantu atau tukang parkir bukan sebagai tamu pak Deo!"

"Saya mau masuk sebagai apa kek itu urusan saya. Bukan urusan ibu!"

"Mbak ngaca! Punya kaca nggak? Pak Deo tidak mungkin mengundang mbak yang kayak begini ke kantornya. Mbak nggak selevel sama pak Deo! Kecuali..."

Maura bisa melihat para pegawai yang tengah istirahat itu bergerumul di sekitarnya dan sedang melihat penampilannya yang hanya memakai kemeja dan celana jeans juga sneakers putih.

"Mbak gundiknya pak Deo?" Ujar pegawai itu dengan nada mengejek diiringi tawa dari semua orang disana.

Plak!

Maura menampar perempuan di depannya dengan keras.

"Penampilan aja berkelas mulutnya sampah! Pengemis aja masih lebih sopan dari ibu!" Ujar Maura.

Tidak terima ditampar oleh Maura, perempuan itu menjambak rambut Maura dan melemparkannya ke lantai. Kepala Maura membentur lantai itu dengan cukup keras sampai kepalanya pusing.

"Ekh-hem!" Dehaman itu membuat semua pegawai kaget dan mengkeret ketakutan.

"Saya tidak menggaji kalian untuk bergerumul di depan lobi!"

Para pegawai itu sangat hafal dengan suara tegas yang berada di belakang mereka. Dengan cepat dan refleks mereka menyingkir dan membuka jalan bagi atasan mereka. Deo Ardano Kenneth Dimitra.

"Apa-apaan ini?" Ujar Ardano.

"Maaf pak, perempuan ini menerobos masuk ke kantor kita pak."

Ardano hanya melirik perempuan di sampingnya yang pipinya agak memerah.

"Jim." Ardano memanggil asistannya.

Seperti mengerti apa yang diinginkan boss-nya, Jim langsung berjalan mendahului Ardano dan menghampiri gadis yang masih tersungkur itu. Jim menepuk bahu perempuan itu dengan perlahan.

"Ardan..." suara lirih itu membuat mata Ardan terbelalak.

Ardano langsung mendekat dan berjongkok di sebelah gadis itu. Dia menyuruh Jim menyingkir. Ardano mengangkat bahu gadis itu dan membuat gadis itu menatapnya.

"Maura!" Panggil Ardano kalut.

Dia terkejut melihat kening Maura yang memar juga sedikit darah yang mengalir dari hidung Maura. Ardano menangkup kedua pipi Maura. Dia memeriksa dengan jeli keadaan gadis di depannya.

"Maura... kamu dengar aku? Maura!"

Maura menatap Ardano dengan mata berkaca-kaca. Dia mencengkram lengan jas Ardano dengan kencang.

"Katakan, apa aku ini kamu anggap gundikmu?"

Pertanyaan itu membuat Ardano terkejut dan meradang.

"Siapa yang mengatakan hal itu?"

"Jawab Ardan! Apa aku sangat tidak pantas menginjakan kaki disini? Berdiri di sebelahmu? Apa aku hanya pantas menjadi gundikmu?"

"Tidak Maura. Tidak! Siapa yang mengatakan hal itu? Katakan padaku sayang, siapa yang mengatakannya?"

Maura menggeleng. Ardano mengusap air mata Maura dengan penuh kelembutan. Dia menarik Maura ke dalam dekapannya. Membiarkan Maura menangis di dalam dekapannya. Ardano hanya mengecupi puncak kepala Maura. Jelas saja, seluruh pegawai disana terkejut mendengar Ardano memanggil gadis yang baru saja mereka tertawakan dengan sebutan "sayang".

Ardano menggendong Maura dan berbalik kembali ke dalam kantornya. Sebelum dia meninggalkan lobi dia berpesan pada semua pegawainya.

"Setelah ini kalian semua berkumpul di Aula!"

Ardan membawa masuk Maura ke dalam ruangannya. Dia membaringkan Maura di sofa.

"Jim, batalkan meeting dan kosongkan jadwalku hari ini!"

Jim mengangguk patuh.

"Lalu, cari tahu apa yang terjadi di lobi tadi!"

"Baik tuan."

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang