Already At The Limits

17.5K 939 12
                                    

"Astaga!"

Pekikan itu membuat Alesha dan Arsen langsung berlari menuju ke ruang tamu. Sementara di ruang tamu, Maura tengah menahan badan Ardan dan mendudukan suaminya itu di kursi terdekat.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Maura khawatir.

Sejak semalam Maura memang sudah melihat wajah suaminya sedikit pucat. Namun apalah daya Maura? Ardan yang sangat tegas dan arrogant itu menolak untuk mengatakan kalau dirinya mulai sakit.

"Aku tidak apa-apa," ujar Ardan.

See? Dia tidak mengaku kalau dirinya sudah mulai lelah. Bahkan reaksi badannya lebih jujur dari dirinya sendiri. Maura melihat Arsen datang jadi, Maura meninggalkan Ardan di ruang tamu sementara dirinya mengambilkan minuman hangat untuk Ardan.

"Kak, istirahat sana! Biar masalah Natasha dan kak Arman, Arsen yang mengurus,"

Ardan menggeleng kecil. "Aku tidak apa-apa,"

"Itu kata kakak. Kata badan kakak mereka sudah lelah,"

Ardan yang bersihkeras itu bangkit dari posisinya dan berjalan menuju pintu. Tepat saat dia membuka pintu saat itu sang ayah baru saja kembali. Dari jarak yang sangat dekat itu, Alvaro bisa melihat wajah pucat Ardan dengan sangat jelas. Tangan Alvaro terangkat dengan sendirinya untuk memeriksa suhu tubuh putra sulungnya itu.

"Tidur kak! Kamu tidak usah kemana-mana hari ini!" Ujar Alvaro dengan cepat.

Ardan merengut kesal. Dia tidak mau diatur seperti ini. Tapi, sorot mata sang ayah membuatnya mengalah. Ardan berbalik dan berjalan menuju ke sofa. Dia membaringkan badan disana dan memejamkan matanya.

"Tidur di kamar kakak! Kenapa malah tidur di sofa?" Ujar Arsen gemas.

Maura sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia membantu Ardan bangun dan meminum teh hangat yang dia buat. Setelah meminum teh itu beberapa teguk, Ardan kembali membaringkan diri disana.

"Kak!"

"Berisik, Sen. Ini juga mau tidur!" Ujar Ardan menggerutu.

"Tidur tuh di kamar,"

"Tidak sanggup naik ke atas,"

Maura dan Alesha hanya bisa terkekeh kecil mendengar jawaban Ardan yang pada akhirnya berkata jujur. Alvaro dan Arsen hanya bisa menggeleng sembari mendesah berat. Maura memilih naik ke atas dan mengambil selimut di lemari pakaiannya. Dia turun dan menyelimuti Ardan disana. Sepatu milik Ardan bahkan sudah terlepas saat Maura kembali.

"Jangan terlalu memaksakan diri, Ardan! Kamu manusia bukan robot," ucap Maura nyaris berbisik saat dia menyelimuti suaminya itu.

Maura duduk di lantai tepat di sebelah sofa dimana suaminya terbaring. Dengan jarak wajah yang sangat dekat, Maura bisa melihat jelas gurat lelah di wajah suaminya. Wajah yang selalu tegas it kini tengah terpejam dengan sedikit rona merah akibat demam yang menderanya. Maura mengusap kening suaminya saat kening itu berkerut.

"Cepat sembuh, Ardan," bisik Maura.

...............

Ardan mengerjapkan matanya perlahan. Dia mengusap matanya yang sedikit perih. Ardan bangun dan duduk di sofa itu sebelum dia bangkit berdiri. Tangan Ardan membawa selimut yang tadi menutupi badannya. Ardan berjalan menuju ke lantai dua dimana kamarnya berada.

Sesampainya di kamarnya, dia langsung membaringkan badannya di atas kasur. Ardan memilih melanjutkan tidurnya yang memang berantakan sejak beberapa minggu yang lalu. Baru saja Ardan hendak terlelap pulas, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Ardan langsung membuka matanya dan mengangkat panggilan itu.

"Ya?"

"Hm..."

"Jadi, dengan kata lain kau berhasil menemukannya?"

"Baiklah. Kirimkan ke Jakarta secepatnya,"

"Akan aku kirim alamatnya nanti. Saat barangnya sampai, aku akan membayarmu,"

"Hn. Terima kasih,"

Ardan membatalkan niatnya untuk tidur. Dia akhirnya bangkit dan membersihkan badannya. Ardan sempat mengirim pesan pada Jim untuk menjemputnya. Selesai mandi dan bersiap, Ardan keluar dan segera masuk ke dalam mobilnya.

"Ke rumah sakit, Jim,"

Jim mengangguk. Ardan memejamkan matanya dan kembali terlelap di dalam mobil. Jim memang sudah diberitahu oleh Alvaro kalau tuannya ini sedang tidak sehat. Jadi, Jim menurunkan suhu pendingin udara di dalam mobil dan membiarkan tuannya beristirahat dengan tenang.

Empat puluh lima menit membelah jalanan di Jakarta, mereka sampai di rumah sakit. Jim menoleh dan membangunkan Ardan.

"Tuan," panggil Jim.

Ardan mengernyit dan membuka matanya. Dia mengusap matanya. Sebelum membuka matanya.

"Sudah sampai?"

Jim mengangguk. Ardan turun dan segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Dia segera berjalan menuju kamar adiknya. Keningnya berkerut saat tidak menemukan siapa pun di ruangan itu. Akhirnya, Ardan memilih duduk di sofa dan kembali terlelap dalam waktu singkat.

"-dan..."

"Ardan..."

"Ardan..."

Ardan mengerang kecil sebelum membuka matanya. Dia menemukan sosok ayahnya tengah berdiri di depannya. Mata Ardan melirik ke arah ranjang dan menemukan Arman sudah duduk disana dengan Arsen berdiri di sebelah anak itu. Maura juga ada disana.

"Kapan kalian kembali?" Tanya Ardan.

"Baru saja. Kapan kamu datang?" Tanya Alvaro.

"Entahlah. Saat aku sampai kalian tidak ada. Jadi, aku duduk disini dan memejamkan mataku sejenak dan berujung ketiduran disini,"

"Kenapa kesini?"

Kening Ardan berkerut sejenak sebelum dia mengingat alasan dia datang.

"Sudah ketemu. Temanku sudah menemukan donor yang cocok dengan saudara Natasha. Dia akan kesini dengan donor itu. Mungkin besok dia sampai,"

"Kalau begitu, aku akan jadwalkan operasinya di rumah sakit ini lusa," ujar Arsen.

Ardan mengangguk. Dia menatap adik kembarnya dan tersenyum kecil.

"It's okey. Semua akan baik-baik saja. Natasha tidak akan apa-apa dan kamu jangan lupa minta maaf padanya!" Ujar Ardan.

Arman mengangguk kecil. Ardan melepaskan sepatunya dan malah membaringkan badannya di sofa. Dia memejamkan matanya dan kembali terlelap dengan cepat.

"Kakak sudah tidur lagi?" Tanya Arman.

"Hn. Dia kurang tidur belakangan ini. Dia sangat lelah sekali. Tubuhnya sudah mencapai batas maksimal,"

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang