Ardan sedang memeriksa laporan yang selama ini terbengkalai saat Maura datang dan duduk di sebelahnya.
"Apa kak Arman tidur sejak tadi?" Tanya Maura berbisik.
Ardan mengangguk kecil. Dia menyimpan dokumen di tangannya dan merapikan meja di depannya yang penuh dengan kertas dan map.
"Kenapa kesini?" Tanya Ardan.
"Tadi aku ke tempat papi, mengantar bekal makan siang dan aku pikir sekalian ke tempatmu saja. Tapi, kak Farrel bilang kamu ada disini,"
"Jadi kamu kesini, begitu?"
Maura mengangguk. "Aku bawakan makan siang. Ayo makan dulu!"
Ardan mengangguk dan membuka tempat makanan yang dibawa istrinya. Ardan melihat istrinya menyiapkan bekalnya dengan sangat rapi. Seolah sedang menyiapkan bekal untuk anaknya yang sekolah. Bicara soal anak, Ardan memang menginginkannya. Dia menginginkan kehadiran suara kecil yang memanggilnya ayah atau papa. Tapi, keadaan saat ini belum memungkinkan. Karena itu, dia menahan diri untuk tidak meminta hak-nya pada Maura.
"Ayo makan, Ardan! Kenapa malah melamun?"
Ardan terkejut dan mengangguk. Dia mulai menyuapkan sesendok nasi beserta lauk yang dibuatkan Maura.
"Aku pikir kamu akan membawakan aku udang asam manis seperti pesanan Alesha atau seperti pesanan Arsen," ujar Ardan.
"Tentu tidak. Kamu suka masakan ini, maka aku akan memasaknya untukmu,"
Ardan tersenyum. Ardan sedikit terkejut saat sebuah gambar seperti video berputar di kepalanya. Gambaran akan dirinya ketika kecil bersama dengan ayah, ibu dan dua saudara kembarnya. Ardan tersenyum. Dia baru teringat, ibunya juga dulu seperti Maura. Ibunya setiap hari membuat empat lauk berbeda untuk sang ayah, dua kembarannya, juga dirinya. Meski sang ibu hanya memasak untuk ukuran satu atau dua porsi untuk orang makan, namun tetap saja, Ardan dan semua orang menghargai kerja keras ibunya.
"Kamu seperti mami, Mara," gumam Ardan.
Maura terdiam kaget. Dia tidak menyangka Ardan akan mengatakan hal itu. Tak urung Maura tersenyum dan terkekeh kecil. Maura menatap Ardan yang memakan makanannya dengan lahap dan saat itu suara dehaman kecil membuat Maura menoleh.
"Kak Arman," Maura memanggil.
Maura menghampiri kembaran suaminya itu dan menanyakan kabar dari kembaran suaminya.
"Kau tahu, aku mulai bosan disini,"
Maura mengangguk paham saat mendengar ucapan Arman.
"Kak," Maura memanggil Arman lagi.
"Hm?"
"Mau aku buatkan makan siang untuk besok?" Tawar Maura.
Arman terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu repot, Maura. Asha membawakan makan siang dan makan malam untukku setiap hari. Dan sebentar lagi, dia pasti datang,"
Benar saja. Pintu kamar rawat Arman terbuka dan Natasha datang dengan membawa bungkusan makan siang.
"Kak Ardan, Aura, kalian berkunjung?"
Ardan hanya mengangguk. Maura juga hanya tersenyum. Natasha mengangguk kecil.
"Maaf, hari ini aku terlambat," ujar Natasha.
Arman hanya tersenyum tipis dan mengangguk kecil.
"Tidak apa. By the way, hari ini kamu masak apa?"
"Hari ini? Aku masak makanan kesukaanmu. Lalu, ada kue favoritmu dan juga buah mangga,"
Arman tersenyum senang mendengar menu makan siang serta cemilannya kali ini. Maura melihat Arman cukup senang meski ada sedikit sorot penyesalan dan kesenduan di mata cokelat milik Arman.
"Ardan," Maura berbisik.
"Hm?"
"Kita ke kantin, yuk,"
Ardan yang sudah selesai memakan makan siangnya itu mengangguk. Dia paham maksud istrinya. Selain itu, dia juga tahu kalau adiknya memiliki rasa gengsi yang lumayan tinggi.
"Kak Arman, kak Natasha, aku dan Ardan ke kantin dulu, ya,"
"Kenapa?" Tanya Arman.
"Aku lupa kalau "beruang besar" ini butuh kopi untuk menemaninya bekerja. Jadi, aku akan membawa ke kantin untuk mengisi daya baterainya," ujar Maura setengah bercanda dengan menekankan kata beruang besar.
Arman terkekeh dan mengangguk. "Titip kakak "beruang" ku ya, Maura!" Goda Arman.
Ardan mendengar ucapan adiknya itu dan dia mendengus kesal. Maura menggandeng lengan Ardan dan berjalan di koridor rumah sakit itu dengan perlahan.
"Kenapa mengajakku ke kantin?"
"Aku tidak enak pada kak Arman. Dia pasti tidak nyaman dengan adanya kita disana. Lagi pula tadi, aku melihat sorot matanya mengandung penyesalan dan sedikit sendu. Sama sepertimu dulu,"
"Aku? Dulu?"
Maura mengangguk. "Saat kamu mendengar kabar Arman terluka. Lalu, saat kamu mendengarnya memarahi semua orang,"
Maura melepaskan gandengannya dan berjalan mendahului Ardan sebelum dia berbalik dan menghadap ke arah pria itu.
"Kamu dan Arman sangat mirip. Kalian merasa bersalah dan itu terlihat dari sorot mata kalian, bukan dari raut wajah kalian. Mata kalian tidak bisa berbohong," ujar Maura.
"Tapi, seperti kataku kemarin. Kita semua manusia, wajar jika kita membuat kesalahan. Asal, kita belajar dari kesalahan itu dan tidak mengulanginya lagi. Maka, semua akan baik-baik saja," lanjutnya.
Ardan tersenyum. Dia bersyukur memiliki istri seperti Maura. Ardan memeluk istrinya dengan cukup erat.
"Aku punya kenalan seorang dokter hebat di Belanda. Kenalan, grandpa sih sebenarnya. Tapi, kalau kamu mau, aku bisa minta tolong grandpa menyuruhnya kesini,"
"Untuk membantu Arman itu, kita harus berdiskusi dengan papi dan semua orang. Agar mereka bisa memberitahu Arman dengan baik. Karena, jika aku yang melakukannya, aku hanya akan berkelahi dengannya nanti,"
Maura mengangguk. Mereka kembali berjalan menghabiskan waktu di kantin dan kembali setelah berlama-lama disana. Satu yang Ardan dan Maura herankan, kenapa Natasha duduk di luar dan tidak menemani Arman di dalam?
Ardan dan Maura berjalan mendekati Natasha. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, mereka bisa mendengar Natasha sedikit terisak. Tentu saja kening Ardan mengerut dalam karena hal itu.
"Nat?" Ardan memanggil Natasha.
Natasha sedikit tersentak. Dia menghapus sisa airmatanya dan mengangkat kepalanya untuk menatap pasangan suami istri di sebelahnya.
"Ada apa kak?" Tanya Maura.
Natasha hanya tersenyum. Dia menggeleng kecil.
"Arman sedang marah sepertinya," ujar Natasha. Gadis itu berdeham kecil dan tersenyum lagi pada Maura.
"Aura, maaf merepotkanmu. Tapi, bisakah kamu mengambilkan barang-barangku di dalam?"
Maura mengangguk kecil dan segera masuk ke dalam kamar rawat Arman.
"Apa yang dilakukan anak bodoh itu kali ini?" Tanya Ardan pada Natasha.
Natasha hanya menggeleng dan tersenyum.
"Tidak ada, kak. Mungkin Arman sedang sedikit marah. Dia tidak melakukan apapun,"
Ardan tahu gadis di depannya sedang berbohong. Tapi, Ardan tidak mau memaksa. Dia melihat Maura keluar dengan barang-barang yang tadi dibawa Natasha. Natasha mengambil barang-barang itu dan segera beranjak dari sana.
"Kenapa dengan Arman?"
"Sepertinya mereka berkelahi. Tadi kak Arman sempat membentakku karena dia kira aku kak Natasha,"
Ardan yakin sesuatu sudah terjadi di dalam. Ardan hanya perlu menunggu waktu untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Anak serigala itu merepotkan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomanceCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...