"Kenapa memanggilku kesini?"
Ardan yang baru masuk itu hanya diam. Dia duduk di salah satu kursi kosong disana. Ardan meletakan beberapa kertas print out pesan yang Carrel kirimkan pada Maura.
"Dia mulai menjalankan pekerjaannya,"
"Lalu?"
"Begini, aku mau bertanya padamu. Bagaimana cara paling baik untuk mengeluarkan dia dari Jakarta?"
"Mengeluarkan?"
Ardan mengangguk.
"Kau tahu di negara ini kita tidak bisa berbuat sesuka hati kita. Meski aku bisa saja membunuhnya dengan cepat, aku tidak bisa melakukannya. Peraturan disini terlalu mengikat,"
Keannu mengangguk. Dia meminum sedikit air di gelas yang tersuguh di depannya. Tak lama kemudian, Alesha datang dan langsung duduk di sebelah Keannu.
"Kenapa kakak jadi dekat sama Kean?"
"Memangnya tidak boleh?" Tanya Ardan dengan sebelah alisnya yang naik.
"Kak,"
Ardan menghela kecil. "Kami memiliki musuh yang sama, Alesha. Lagi pula kami juga memiliki tujuan yang hampir sama,"
"Apa?"
"Melindungimu. Juga Maura untukku,"
Alesha mengangguk. Keannu sendiri sudah sibuk mengusap punggung tangan Alesha. Ardan menatap pria itu dengan tatapan tajamnya.
"Permisi, tuan," Jim memanggilnya membuat Ardan menoleh ke arah pintu.
"Nona sudah bangun dan mencari anda, tuan," ucapan Jim membuat Ardan mengangguk.
Ardan segera berdiri dan menatap Keannu. Melihat pemuda itu mengangguk kecil, Ardan langsung berjalan keluar dari ruangan itu. Meninggalkan Keannu bersama Alesha disana.
"Awasi Keannu, Jim. Kalau dia melakukan sesuatu yang melewati batas, seret dia keluar!" Ujar Ardan.
"Baik tuan,"
Ardan masuk ke dalam ruangannya dan langsung mendapatkan pelukan erat dari Maura. Ardan tersenyum kecil.
"Sudah bangun?"
"Hn,"
"Bagaimana tidurmu?"
"Lumayan,"
Ardan mengecup puncak kepala Maura dengan lembut. Maura sendiri sibuk menghirup wangi Ardan dalam-dalam.
"Ardan,"
"Hm?"
"Aku takut,"
"Jangan takut, sayang! Aku disini. Di sebelahmu. Aku janji akan melindungimu,"
Maura mengangguk kecil dalam pelukan Ardan. Ardan sendiri memikirkan bagaimana cara mengamankan Maura dari Carrel. Perbuatan kurang ajar Carrel membuat Ardan yakin kalau setelah ini, Carrel akan melakukan hal yang lebih buruk pada Maura.
"Sayang,"
"Ya?"
"Kita ke Sydney besok,"
Maura langsung menjauhkan diri dari Ardan.
"Serius?"
"Hn. Kamu sudah janji untuk menjenguk ayahmu. Keadaanku juga sudah baik-baik saja. Jadi, besok kita berangkat ke Sydney,"
Maura kembali memeluk badan tegap itu. Walau nyatanya tangan Maura tidak bisa saling bertautan.
"Terima kasih,"
"Apapun untukmu, sayang. Asal kamu senang dan bahagia. Sudah cukup untukku,"
Maura menangguk kecil. Ardan duduk di ruangannya bersama dengan Maura. Dia memainkan rambut Maura dan sebelah tangannya memeluk pinggang gadis itu.
"Kamu nggak kerja?" Tanya Maura pada Ardan setelah mereka duduk di sofa yang sama selama dua jam sambil menonton film.
"Tidak. Tidak ada laporan yang harus aku periksa,"
Maura mengangguk. Ardan menggenggam tangan Maura dan membawa tangan itu ke bibirnya untuk dia kecup.
"Malam ini tidur di apartment ku saja ya?"
"Aku belum packing, Ardan,"
"Kopermu dan pakaianmu ada di Sydney, sayang,"
Tidak menemukan alasan untuk menolak, Maura menganggukkan kepalanya. Ardan menghembuskan napasnya lega. Setidaknya, malam ini gadisnya berada di dekatnya.
............
"Mau makan malam apa?" Tanya Maura.
"Terserah, yang jelas kita harus membeli bahan makanan,"
Maura terkekeh dan mengangguk. Dia berjalan bersama Ardan keluar dari kantor pria itu ketika jam dinding menunjukan pukul lima sore. Ardan merangkul pinggang Maura ketika mereka memasuki lift yang cukup ramai. Dengan sengaja, Ardan meraih pinggang ramping itu untuk dia peluk dari belakang. Dia menyandarkan kepalanya di puncak kepala Maura.
Maura sedikit berdeham saat pintu terbuka dan memperlihatkan beberapa pegawai yang dia kenal. Pegawai yang pernah menertawainya dulu di lobi.
"P-pak," sapa pegawai itu dengan gugup.
"Hn," jawaban singkat Ardan membuat suasana semakin canggung.
Ardan menarik pinggang Maura lebih dekat lagi. Dia mundur hingga berada di paling belakang lift itu.
"Naik ke atas kakiku saja sayang," bisik Ardan pada Maura.
Maura menggeleng pelan. Tak urung berdesakan di lift seperti sekarang juga sedikit membuatnya kurang nyaman. Ardan tahu, Maura tidak pernah memakai heels. Jadi, dengan santainya Ardan mengangkat pinggang Maura dan membuat kaki gadis itu berada di atas kakinya.
"Ardan!" Sentak Maura dengan berbisik.
Ardan malah meletakan kepalanya di bahu Maura dengan santai.
"Tidak apa-apa. Sungguh," ujar Ardan diiringi kecupan ringan di pipi Maura.
Semua orang di lift itu mendengar suara Ardan yang sangat berbeda dengan saat pria itu berbicara pada mereka. Ardan begitu lembut dan santai saat berbicara dengan Maura. Sedangkan dengan mereka, Ardan sangat tegas, dingin, datar dan tidak terbantahkan.
Begitu lift sampai di lobi, semua orang keluar dari lift itu. Mereka pamit pada Ardan dan segera berjalan dengan cepat.
"Mereka takut padamu, Ardan," ujar Maura setelah mereka keluar dari lift.
"Biarkan saja. Aku tidak peduli,"
Maura terkekeh kecil. Dia hendak melangkah menuju pintu namun, Ardan malah menahan pinggang Maura.
"Kenapa?"
"Disini saja dulu, biar mereka pergi dulu,"
"Kenapa begitu?"
"Disana terlalu ramai. Menyebalkan,"
Maura terbahak mendengar nada ucapan Ardan yang merajuk. Melihat Maura yang tertawa lepas karenanya, membuat sesuatu yang hangat menjalar ke hatinya. Ardan ikut tersenyum. Hal sudah sangat jarang dia lakukan pada semua orang. Maura yang terbahak itu melihat senyuman Ardan yang dia akui mempesona. Bahkan Maura yakin, jika ada yang melihat senyuman itu, mereka akan langsung bertekuk lutut di bawah kaki Ardan dan bersedia dibawa masuk ke dalam kamar Ardan.
"Kenapa?" Tanya Ardan saat Maura berhenti tertawa dan malah menatapnya tanpa berkedip.
"A-hah?"
"Kamu kenapa? Menatap aku tanpa berkedip begitu,"
Maura menggeleng kecil. Dia mendekat ke arah Ardan dan memeluk badan tinggi, besar dan tegap itu dengan erat. Ardan pun melakukan hal yang sama. Sungguh, kalau seseorang melihat mereka dari belakang punggung Ardan, orang itu tidak akan menyadari ada Maura disana.
Badan besar Ardan seperti melingkupi tubuh Maura dengan dirinya sendiri. Membentengi gadis itu dengan semua yang dia punya.
"Ayo pulang! Aku sudah lapar,"
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomansaCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...