"Pa..."
Ardan menoleh dan menghentikan jarinya yang sedang menari di atas keyboard laptopnya.
"Ya?"
"Boleh aku minta waktu papa sebentar?"
Ardan tersenyum.
"Tentu saja boleh. Kemarilah,"
Ardan berdiri dari kursinya. Dia berjalan ke arah sofa dan duduk disana bersama dengan anak laki-lakinya.
"Ada apa, nak?" Tanya Ardan setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.
Ardan melihat putranya berdeham kecil.
"Jadi begini pa, sebenarnya, kemarin aku tidak sengaja memecahkan jendela lab komputer dan juga sebuah monitor di dalamnya,"
"Hah?"
"Tapi, aku tidak sengaja, pa. Sungguh!" Ujar Tony dengan cepat sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya membuat huruf "v"
Ardan melihat putranya ketakutan. Mungkin putranya takut dia marah. Padahal, dia tidak semarah itu sebenarnya. Ardan lebih merasa penasaran dibandingkan marah.
"Tony," panggil Ardan.
Putranya terdiam dengan kepala menunduk dan tangan yang saling meremas di atas pangkuannya. Bahkan Ardan bisa melihat sorot kosong di mata putranya yang selegam malam itu. Mata yang sama dengan ibunya.
"Anthony," panggil Ardan sekali lagi.
Ardan melihat putranya terlonjak kaget. Ardan menepuk bahu putranya.
"Kenapa menunduk begitu? Papa hanya mau bertanya padamu,"
Ardan menghela kecil saat putranya masih memilih menunduk.
"Anthony... Kamu datang kesini untuk bercerita, kan? Berceritalah. Papa akan mendengarkan,"
Ardan masih menunggu putranya berujar. Minimal, dia ingin tahu alasan putranya memecahkan kaca dan merusakkan sebuah monitor.
"Aku sedang bermain basket di lapangan. Lalu..."
Ardan menunggu kelanjutan dari ucapan putranya itu.
"Lalu, Dion melemparkan bolanya terlalu keras dan mengarah pada salah satu siswi kelas 9. Aku hanya berpikir untuk menepis bolanya saja. Aku tidak menyadari kalau bola yang aku tepis mengarah ke lab dan berakhir seperti itu,"
"Kamu dihukum?"
Anthony mengangguk.
"Hukuman apa?"
"Membersihkan koridor sekolah selama dua bulan. Lalu, guru kesiswaan... memintaku mengganti semua kerusakan sendirian. Meski Dion dan teman-temanku sudah mengatakan kalau itu salah kami bersama,"
Ardan mengangguk. Dia tidak bisa menyalahkan putranya untuk masalah seperti ini. Terlebih, dia memang tahu maksud Anthony adalah menolong siswi itu.
"Ada hukuman apa lagi?"
"Ha- hah?" Anthony nampak kaget saat sang ayah bertanya demikian.
"Kenapa terkejut? Papa tanya, selain dua hukuman itu hukuman apa lagi yang kamu terima dari gurumu?"
Ardan melihat putranya terdiam cukup lama sebelum menggelengkan kepalanya perlahan dan nampak ragu.
"Tidak ada pa,"
"Ya sudah, nanti papa minta tolong Jim uruskan masalah jendela dan monitor itu. Kamu kerjakan pr dan belajar sana,"
Anthony berdiri. Dia berjalan menjauhi Ardan. Sejujurnya, Ardan melihat sedikit lebam di rahang bawah putranya. Tapi, Anthony tidak mengatakan apapun. Jadi, Ardan tidak mau memaksa putranya kecuali, anak itu yang mengatakan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomantizmCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...