Ardan's Secret Feelings

17.2K 945 29
                                    

Bolehkah Ardan mengumpat? Jika boleh dia akan melakukannya sekarang. Bayangkan saja! Dia baru sadar beberapa jam yang lalu, setelah semalaman dia pingsan dan saat dia baru tersadar selama beberapa menit, dia kembali dibuat "tertidur" oleh sang adik.

"Kak, maaf. Aku terpaksa melakukannya," ujar Arsen yang sejak tadi memohon maafnya.

"Diam Arsen!" Ujar Ardan dengan nada yang mulai naik.

Ardan menghela berat. "Kepalaku masih pusing. Jadi, diamlah sebentar," Ardan berujar sembari memijat pelan keningnya.

"Maura mana?" Tanya Ardan.

"Maura pergi ke rumah sakit bersama papi dan Alesha. Mereka mau memastikan apakah kak Arman sudah berbaikan dengan Natasha atau belum,"

"Lalu? Apa mereka sudah memberi kabar?"

Arsen menggeleng kecil. Ardan hanya mengangguk.

"Oh iya, wanita yang kemarin menerobos apartment kalian, papi sisakan untukmu,"

"Hn,"

"Apa yang akan kakak lakukan padanya?"

"Entahlah. Belum terpikir. Mungkin aku akan menghabisinya?"

Arsen menggindikan bahunya sejenak. Dia berdiri dan memilih beranjak ke kulkas mini di sudut ruang tamu.

"Arsen,"

"Hm?"

"Sebaiknya kamu tidur saja sana,"

"Hah?"

"Tidur sebelum kamu ikutan sakit,"

Arsen terkekeh kecil. Ardan melihat adik kembarnya itu menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

"Tahu darimana?" Tanya Arsen.

Ardan hanya menempelkan jari telunjuknya ke dada Arsen.

"Kita itu saudara kembar yang berasal dari satu kantung yang sama dan berasal dari satu sel yang sama. Tolong jangan tanyakan lagi bagaimana aku bisa mengetahuinya, okey?"

"Dalam kedokteran kemungkinan itu memang ada kak, tapi belum tentu setajam kakak,"

"Karena aku anak sulung mungkin. Siaa tahu kalau sejak di dalam perut mami aku sudah menjaga kalian, anak serigala dan anak cheetah yang tidak bisa diam sepertimu,"

"Enak saja menyamakanku dengan cheetah. Memang badanku berbintik apa?"

Ardan terkekeh kecil. Arsen sendiri menatap kakaknya dengan lekat. Dia rindu saat kakaknya seperti ini. Sedekat ini dengan dirinya. Seperti dinding tipis yang selama ini menghalangi mereka sudah hancur.

"Kenapa?"

"Hah?"

Ardan mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Arsen lalu, dia menunjukkan tangannya yang basah itu pada Arsen.

"Kenapa menangis?"

Ardan melihat Arsen sendiri terkejut. Tak urung Ardan menarik adiknya dan memeluknya sembari menepuk punggung sang adik yang justru menbuat Arsen semakin menangis.

"Tetap seperti ini kak. Arsen rindu kakak yang seperti ini," gumam Arsen.

"Kakak yang selalu membuat rumah menjadi lengkap. Arsen sudah kehilangan mami, dan kakak ikut menghilang empat belas tahun lalu,"

Ardan diam saja mendengarkan keluh kesah adiknya. Meski dengan suara yang nyaris berbisik itu, Ardan mendengar semuanya dengan jelas.

"Kakak menghilang bersama dengan sebuah bagian dari rumah ini,"

Ardan ingin tertawa keras saat ini. Entah kenapa, Ardan merasa Arsen tengah menyalahkan kembali. Seperti dia telah melakukan kesalahan karena, dia sudah pergi dari rumah keluarganya. Sementara dalam kilasan ingatannya, rekaman cctv yang diam-diam dia temukan, dan juga penjelasan sang paman pada saat dia diterapi, mengatakan hal yang sebenarnya yang berkebalikan dengan apa yang Arsen coba katakan.

Bukan Ardan yang pergi tapi, mereka yang membuangnya. Dimulai dengan mendiaminya dan menganggap dia tidak ada di rumah ini, sampai dengan dia yang dipindahkan ke apartement sang ibu. Belum lagi, mereka tidak pernah datang sekali pun untuk melihat atau sekedar menanyakan keadaannya. Bahkan Ardan yakin, kalau bukan karena Arsen yang sakit sehingga guru kesiswaan menghubungi Alvaro yang berujung Alvaro tahu bahwa dirinya tidak pernah masuk ke sekolah lagi, saat itu Ardan pasti sudah menyusul ibunya tanpa ada yang mengetahuinya. Mungkin saat mereka menemukan Ardan, Ardan hanya tinggal tulang belulang.

Ardan menutup matanya sejenak dan menghela napasnya. Dia menjauhkan badan Arsen dan tersenyum pada adiknya.

"Aku tidak pernah berubah, Arsen. Aku masih kakakmu dan itu sudah menjadi takdirku di kehidupan ini. Jangan berbicara melantur seperti itu lagi!"

Ardan berdiri dan beranjak dari ruangan itu.

"Ada satu hal yang mungkin berubah bagiku..." ujar Ardan di ujung tangga.

"... tujuan hidupku saat ini. Bukan lagi kalian ataupun tanggung jawab papi atas janjinya pada mami. Tapi, tujuanku untuk saat ini adalah Maura. Alasan kenapa aku masih pulang ke Jakarta kemarin lalu, pulang ke rumah ini dan membantu kalian, itu semua karena Maura. Jadi, berterima kasihlah kalian padanya," Ardan melanjutkan langkah kakinya menaiki tangga di rumah itu dan meninggalkan Arsen yang terpaku oleh ucapan Ardan.

Meski Ardan tidak mengatakannya secara langsung, Ardan yakin Arsen akan mengerti maksudnya. Ardan menyandarkan badannya di dinding dan memejamkan matanya. Tidak. Ardan tidak membenci Ayah dan adik-adiknya. Ardan juga tidak membenci Amanda atau siapapun di dalam keluarga besarnya. Ardan hanya merasa asing dengan mereka semua.

Apapun yang mereka lakukan untuk Ardan setelah Ardan pulih tiga belas tahun lalu hanya membuat Ardan semakin merasa asing dengan mereka semua. Terlebih setelah dia berhasil mendapatkan rekaman cctv yang sudah dihapus sang ayah. Dia semakin yakin jika saat itu, dirinya memang dibuang oleh mereka. Ardan meremas dadanya dengan erat. Sampai detik ini, saat bayangan kenyataan empat belas tahun yang lalu itu melintas di benaknya, jantung Ardan masih terasa nyeri dan dia merasa sesak.

"Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Menjauhkan kalian dariku adalah cara paling baik untuk mengamankan kalian," gumam Ardan.

Ardan sudah bilang, dia tidak marah, tidak membenci, tidak dendam juga tidak merasa sakit hati atas perbuatan keluarganya dulu. Ardan hanya merasa menjauh dari mereka adalah hal terbaik yang bisa Ardan lakukan agar mereka aman. Jadi, menjadi Ardan yang tidak tersentuh dan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan adalah usaha Ardan agar mereka menjauh darinya.

"Hhh..." Ardan menghela kecil. Dia memilih melanjutkan perjalannyan sembari melambaikan tangannya ke arah cctv di sudut dinding.

Ardan berbaring di kamarnya. Matanya menelisik kamar tidurnya dan tangannya langsung mengirimkan pesan pada sang istri.

"Sayang, kalau kamu sedang berada di dekat papi. Minta dia mematikan cctv di kamar kita/aku akan menghancurkannya dg tanganku sendiri. Dan kamu cepatlah pulang. Aku rindu...😘😘

Ardan menunggu sampai beberapa menit dan kamera kecil itu akhirnya padam. Ardan membalikan badannya dan memejamkan matanya dengan erat. Setitik airmata lolos dari kelopak matanya.

'Ardan tidak salah, kan mi? Ini demi mereka. Agar mereka tidak terluka karena Ardan. Ardan tidak melakukan kesalahan, kan mi? Ardan tidak butuh masa lalu Ardan. Cukup dengan Ardan tahu mami sangat menyayangi Ardan dan papi yang dulu juga pernah menyayangi Ardan, Ardan sudah sangat bersyukur. Itu cukup untuk Ardan, agar Ardan bisa berdiri seperti sekarang. Agar Ardan bisa mempertahankan kewarasan Ardan tanpa mengingat luka yang mereka tinggalkan untuk Ardan. Boleh kan Ardan melakukan itu, mi? Mami tidak akan seperti mereka yang membuang Ardan, kan mi?'

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang