"Papa..." suara manja itu membuat Ardan menoleh.
Dia mendapati anak gadisnya sudah berdiri di ujung pintu dengan kemeja dan jeans biru tua miliknya. Ardan langsung berdiri dan menyudahi rapat kecilnya. Dia membuka lebar kedua tangannya dan seperti biasa, gadis yang sudah beranjak dewasa itu berlari untuk masuk ke pelukan ayahnya. Sementara para peserta rapat sudah keluar dari ruang rapat itu.
"Bagaimana liburanmu, sayang?"
"Mmm... menyenangkan. Akan tetapi, akan lebih menyenangkan lagi jika papa ikut juga,"
"Maafkan papa. Pekerjaan papa lumayan menyita waktu,"
"It's okey,"
Ardan terkekeh saat anak perempuannya menguselkan wajahnya di dadanya. Ardan mengeratkan pelukannya.
"Pa,"
"Hm?"
"Apa papa pernah merindukan opa?"
"Kakekmu? Tentu papa sering merindukannya,"
"Benarkah?"
"Hn. Papa rindu saat dia menasihati atau sekedar berbincang dengan papa. Papa juga rindu saat dia mengejek paman-pamanmu,"
Ardan menghela kecil.
"Yah, setidaknya dia sudah melihat hampir semua cucu-nya lahir,"
"Opa pasti sedang tertawa disana dengan oma,"
"Sepertinya begitu. Dulu, papa sering kali mendengar dia bergumam pada foto oma untuk menunggunya,"
Ardan terkekeh kecil saat menyadari putrinya tengah menahan tangisannya.
"Jangan menangis, sayang!" Ujar Ardan sambil menepuk puncak kepala putrinya.
"Sudahlah. Lebih baik kamu istirahat di kamar saja," ujar Ardan lagi.
Ardan menggandeng tangan putrinya dan mengajak putrinya ke ruangannya. Dia membiarkan putrinya masuk dan beristirahat di kamar. Ardan memilih menatap ke luar jendela. Dia masih ingat beberapa tahun lalu, saat untuk pertama kalinya ayahnya jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit.
Saat itu Ardan bahkan tidak mempercayai apa yang dia dengar. Siapa pun tidak akan percaya! Seorang Alvaro mengidap penyakit yang lumayan berbahaya ketika dia selalu hidup sehat. Bahkan Ardan masih ingat, saat itu ayahnya hanya tersenyum dan terkekeh kecil. Sang ayah bahkan memilih menghabiskan waktu untuk bermain bersama Ella, Tony, Nia, Albern anak Arman, dan baby Zack anak Arsen yang baru berusia lima bulan saat itu.
Ardan menarik napasnya dalam-dalam. Mengingat tentang ayahnya terkadang membuatnya tidak rela. Walau dia tahu ayahnya sudah cukup tua. Bahkan kedua kakek dan neneknya meninggal akibat sakit tua di usia 65 tahun. Ardan masih dikatakan beruntung bisa bersama sang ayah sampai usia ayahnya nyaris menginjak usia 80 tahun.
"Papi sudah akan berusia 78 kalau papi masih disini," ujar Ardan dengan senyum sendunya.
Kalau boleh jujur, Ardan merasa waktunya dengan sang ayah belum cukup. Setelah 13 tahun menjauhkan diri, Ardan merasa dia belum cukup mendapatkan apa yang dia dan ayahnya inginkan.
"Papi pasti senang sekarang. Papi bertemu dengan mami lagi,"
Ardan tersenyum lembut dan membalikkan badannya. Matanya langsung terarah pada foto keluarga mereka. Ardan duduk di kursi kerjanya. Dia memejamkan mata dan berakhir terlelap disana.
............
"Kak," panggilan itu membuat Ardan mengerjapkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[DS #1] His Possession
RomantizmCerita ini merupakan cerita keluarga Dimitra Series bagian pertama Tampan? Sudah pasti Kaya? Bukan main IQ? Di atas rata-rata Dialah si Tampan nan Arogan yang pertama dari keluarga Dimitra. Putra sulung dari keluarga Dimitra yang kepintarannya di a...